Satuan Tugas Operasi Madago Raya menyebutkan senjata kelompok Mujahiddin Indonesia Timur yang kini dipimpin Ali Kalora tinggal tiga pucuk. Mereka hanya memiliki sepucuk M-16 dan dua senjata laras pendek. Benarkah?

Sebenarnya dari mana senjata-senjata milik kelompok sipil itu berasal? Bila menelusuri awalnya, maka jawabannya harus dimulai sejak 1998 – 2000 saat kerusuhan komunal meletup di Poso. Pasca Deklarasi Malino yang diteken pada 20 Desember 2001, warga Poso yang sepakat berdamai menyerahkan ribuan senjata api rakitan dan sebagiannya organik beserta amunisinya untuk dimusnahkan. Termasuk pula bom rakitan. Ada pula hasil temuan operasi Kepolisian dan TNI Angkatan Darat.

Sepanjang 2002 hingga 2007, jutaan senjata api, amunisi dan bahan peledak disita dan ada pula diserahkan warga kepada aparat berwenang. Senjata api yang diserahkan tak cuma rakitan tapi juga organik.

Pada 2007, saat dua batalyon aparat keamanan yang terdiri dari semua satuan di Kepolisian menyerang basis mujahiddin Poso di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, tidak kurang 25 pucuk senjata api organik dan sekitar 3.000 butir amunisi serta lebih dari 400 detonator bom berhasil ditemukan.

Alat-alat tempur yang semestinya hanya dimiliki oleh Kepolisian dan TNI itu didapatkan dari tangan warga sipil di Poso. Bahkan saat itu, Polisi menemukan senjata MK 3 buatan Rusia. Senjata ini dikalangan sipil bersenjata dikenal sebagai senjata rantang, karena tempat pelurunya yang bulat menyerupai rantang. Senjata ini seperti yang dipakai Silvester Stalone dalam film-film Rambonya.

Jadi betapa bisa dibayangkan banyaknya senpi, amunisi dan handak illegal beredar di wilayah yang diharubiru oleh kekerasan demi kekerasan itu sejak 1998.

Dari mana sesungguhnya senjata-senjata itu datang? Syamsir Siregar, saat masih menjadi Kepala Badan Intelijen Negara, memastikan sebagian senapan tempur milik para buronan kerusuhan Poso dipastikan merupakan senjata organik Polri.

Senjata tersebut berpindah tangan ketika gudang Brimob di Tantui, Ambon dibobol pencuri pada 2001. Saat itu hampir 800 pucuk senapan serbu milik Polri dicuri. Diduga selain dipakai oleh kelompok bersenjata di Ambon, sebagiannya juga dibawa ke Poso. Peredaran senpi itu diduga dilakukan anggota milisi laskar jihad Ahlussunnah Waljamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib yang memang aktif di Poso dan Ambon.

Jika awal-awal konflik 1998 – 2000, senjata api rakitan semisal dum-dum atau paporo masih memainkan peranan, maka pada fase-fase selanjutnya penggunaan senjata api makin berkualitas. Kelompok bersenjata di Poso biasanya menggunakan senjata laras panjang M-16, SKS, US Carabine dan senjata laras pendek jenis revolver S&W, juga FN.

Adanya senjata-senjata tua Di Poso, Sulawesi Tengah, ditengarai adalah sisa-sisa dari 1950-an saat pemberontakan PRRI-Permesta bergejolak. Lalu masuk lagi berbarengan dengan kedatangan laskar jihad Ahlussunnah Waljamaah pada 2001. Sebelumnya di kelompok milisi Kristen di Tentena senjata-senjata organik dan rakitan juga sudah dipunyai.

Selain seperti yang disampaikan Syamsir Siregar, ada pula senjata dan amunisi yang didapat dari jualbeli. Dari Pengadilan Negeri Palu pada 2001, seorang Polisi berpangkat Brigadir Satu Polisi IW divonis karena menyuplai amunisi bagi salah satu kelompok bertikai di Poso.

Pada 2000-2003, tawar menawar amunisi dan senjata di Poso masih bisa kita jumpai. Ada yang menjual amunisi caliber 5,56 milimeter seharga Rp 5000 – Rp 7500 per butirnya. Ada pula yang menawarkan senjata SS-1 dengan harga Rp 8 juta per pucuk.