Di sebuah tempat di sudut Kota Poso pada 2009. Di sebuah rumah sederhana dengan penerangan seadanya.
“Tak boleh tidak kita harus membentuk asykari, laskar terlatih di sini. Ada sahabat-sahabat kita dari Moro dan Afghanistan yang siap melatih. Kita akan serahi mujahid di sini untuk memimpin asykari itu. Saya akan meminta restu Ustad Hamdan Rahim untuk itu, kalian persiapkan segala sesuatu,” tekan Ustadz Yasin kepada Abu Tholut dan Santoso yang menemaninya makan malam.
Ustad Yasin kemudian menjelaskan pelbagai hal untuk mempersiapkan pembentukan laskar itu.
Senjata yang mereka akan gunakan dipasok dari pejuang Moro di Philipina Selatan. Diselundupkan melalui laut melewati Kepulauan Sangihe lalu ke Bitung dan ke Parigi, Sulawesi Tengah.
“Jalur laut cenderung aman. Kita pun bisa menyembunyikan senjata di bawah jaring-jaring. Senjata AK-47 cenderung lebih tahan. Ada banyak pulau-pulau sepi di sekitar Bitung untuk menurunkan senjata dan membersihkannya di sana. Sisanya kita beli di sini,” kata lelaki berpenampilan lembut itu.
Abu Tholut dan Santoso tinggal mengiyakan. Santoso pun kemudian diberitahu bahwa dia akan menjadi Amir Asykari itu kelak.
Seperti biasanya, Santoso cenderung diam. Lelaki itu lebih banyak diam menyimak. Ia tak meledak-ledak. Tapi ada garis-garis dendam di wajahnya. Keluarganya memang banyak terbunuh pada kerusuhan Poso 2000 – 2001.
Bila sehari-hari Ustad Yasin berjualan minyak tanah dan kerap pula mengantarkan roti buatan istrinya ke kios-kios kecil, begitu pula adanya Santoso. Ia tetap bertukang dan menjajakan barang-barang kelontong. Ia memakai gerobak yang ditarik oleh sepeda motor Honda GL yang kerap mogok.
Santoso alias Abu Wardah kemudian menjadi orang yang paling diburu oleh aparat Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia selama kurun waktu 2011-2016. Ia didaulat oleh kelompoknya
menjadi pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur yang kemudian berafiliasi ke ISIS–Islamic State of Iraq and Syria.
Rudy Sufahriadi, Jenderal Polisi yang pernah memimpin Kepolisian Resor Poso dan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah sebelum pindah ke Jawa Barat pada beberapa kesempatan pada media mengatakan: “Santoso itu tidak kuat. ia cuma beruntung saja.”
***
Sepotong cerita awal tentang Santoso didapatkan Ahmad dari Andi Baso Thahir, salah seorang yang benar-benar mengenal sosok Santoso sejak amuk sosial mengharubiru Poso pada 1998-2000 silam.
“Santoso itu baik. Orangnya cenderung pendiam. Tidak pernah kelihatan marah. Tapi ia keras hati. Suatu waktu ketika ia mulai mencoba pelatihan asykari, saya meminta dia menghentikanya. Dia menuruti. Namun di kemudian hari dia ternyata kembali melatih anak-anak untuk bertempur,” sebut Ateng–sapaan akrab Andi Baso Thahir.
Ustadz Adnan Arsal, tokoh agama, pimpinan Pondok Pesantren Amanah di Kelurahan Gebangredjo, Poso kepada Ahmad bilang ia mengenal Santoso dengan baik.
“Bila kami memberi tauziah, nasehat-nasehat agama, ia lebih banyak mendengarkan. Lebih banyak diam. Jarang menanggapi. Anaknya cenderung diam. Tapi kemudian hari ia menjadi momok yang mesti diburu oleh ribuan aparat, itu juga menjadi pertanyaan saya,” aku Adnan.
“Santoso dulu anak buah saya. Saya tahu kemampuannya. Saya tahu siapa dia,” imbuh Hasanuddin, anak mantu Ustadz Adnan yang sesama bekas petempur di Poso. Hasanuddin baru sudah bebas dari bui karena didakwah terlibat dalam aksi terorisme di Poso.
Dari penelusuran Ahmad, jejak Santoso bermula dari Gunung Biru, Tamanjeka, Poso Pesisir Utara, Poso. Di lahan seluas lebih dari 34 ribu hektare itu ia melakukan tadrib, latihan militer untuk memperkuat asykarinya.
Jejak awal Santoso bisa pula ditelusuri dari Tokorondo lalu Tambarana dan Masani di Poso Pesisir. Namun saat itu Santoso masihlah anggota majelis yang tekun mendengarkan tauziah, petuah-petuah agama. Tidak ada tanda-tanda ia akan melakukan amaliyah, praktik pengamalan jihad dengan cara penuh kekerasan.
***
Terorisme di Poso tak bisa pula dilepas dari rangkaian amuk sosial selama kurun waktu 1998-2000. Puluhan ribu orang meregang nyawa. Ratusan ribu rumah dan pemukiman luluh lantak. Ratusan ribu pengungsi terpaksa tinggal di barak-barak dan menyelamatkan diri di wilayah Sulawesi Tengah bahkan ke Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Pranata ekonomi dan sosial juga budaya benar-benar hancur lebur. Tak mudah mengembalikan kepercayaan khalayak ramai untuk kembali menata hidup mereka di Poso, di tanah kelahiran mereka sendiri.
Apalagi sejak saat itu serangkaian aksi teror terus terjadi. Ada banyak kelompok. Ada banyak pula korbannya. Penembakan, peledakan bom dan penculikan di Poso dan Palu mewarnai pemberitaan media pasca ditekennya perjanjian Malino pada 2003. Pelakunya dengan mudah dikenal dan kemudian ditangkap aparat keamanan. Tapi seperti sel yang terus membelah, kelompok penebar ini terus berkembang.
Jamaah Islamiyah kemudian disebut-sebut menjadi salah satu wadah yang mengumpulkan mereka. “Mereka disatukan oleh kesamaan nasib. Keluarga mereka dibantai. Anak-anak terpisah dari ayah dan ibunya. Itu membuat mereka bertekad membalaskan dendamnya. Negara lambat menanganinya,” ungkap Adnan pada Ahmad dalam pelbagai kesempatan berbincang dengannya.
Lalu Kepolisian tidak mau ambil risiko lagi. Pada 11 dan 22 Januari 2007, ribuan aparat Kepolisian menghancurkan basis Jamaah Islamiyah di Poso. Ribuan Polisi menyerang basis jaringan kelompok sipil bersenjata yang berafiliasi kepada JI di kelurahan Gebangrejo, Kecamatan Poso Kota.
Sebanyak 60 orang ditangkap. Lalu sebanyak 15 orang yang diduga anggota kelompok sipil bersenjata itu tewas ditembak Polisi dan 2 polisi pun menjadi korban dalam operasi itu.
Polisi mengklaim selama kurun waktu 2005-2007, upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan mampu menghancurkan jejaring terorisme di Poso. Polisi menyebut selama 2008-2009 kelompok ini praktis lumpuh.
***
Setelah menjadi sel diam selama beberapa waktu, pada 2009 muncul gagasan Ustadz Yasin, Abu Tholut dan Santoso membentuk Qoidah Aminah di Poso. Langkah awalnya adalah adalah tadrib, pelatihan tempur untuk membentuk asykari, laskar militer.
Asykari itu adalah cikalbakal kelompok Mujahiddin Indonesia Timur. Jamaah Ansharuttauhid di bawah Ustadz Yasin menjadi penyokong kelompok ini. Kemudian adapula sisa-sisa kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa alias Daeng Koro. Santoso pun langsung ditunjuk sebagai amir, pemimpinnya.
Kelompok sipil bersenjata yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah inilah yang kemudian melanjutkan cita cita mendirikan Negara Islam yang merupakan kelanjutan dari cita-cita kelompok lintas Tanzim Aceh yang gagal pada 2010 karena dihancurkan oleh Polisi. Mereka berniat menjadikan Poso sebagai Qoidah Aminah, daerah persiapan pembentukan Negara Islam Indonesia.
Lalu pada Januari 2011, JAT pun membangun cabangnya di Poso. Ustadz Yasin diangkat sebagai Amir dan Santoso ditetapkan sebagai pimpinan asykari JAT wilayah Poso. Sejak saat itu, Santoso-lah yang bertanggungjawab untuk serangkaian tadrib asykari ini.
Pesertanya, adalah mujahidin lokal serta para mujahidin luar Poso yang rata rata adalah para pelarian kasus terorisme di Jantho Aceh 2010, kasus bom Universitas Bung Karno 2010, dan sejumlah kasus lain.
Sayangnya, mereka tak memiliki peralatan tempur yang memadai. Mereka cuma punya sebanyak 3 pucuk senjata. Kas asykari pun
kosong melompong. Sejak saat itu, aksi-aksi fa’i, pencarian dana pun dilakukan. Untuk melengkapi senjata, sasaran paling mudah kelompok ini adalah para Polisi yang bertugas di lapangan.
Catat saja aksi mereka; pada 25 Mei 2011, Aryanto Haluta dan beberapa orang lainnya, menembak mati dua anggota Polri dan melukai seorang anggota Polri yang sedang berjaga di pos Bank Central Asia di Jalan Emmy Saelan Palu. Mereka berhasil merampas dua pucuk senjata api laras panjang jenis V2.
Kemampuan senjata ini lebih baik daripada pendahulunya SS-1 yang banyak dipakai anggota Polisi. Tapi aksi ini mudah tercium aparat. Aryanto Haluta dan Rafli alias Furqon ditangkap Polisi. Fauzan alias Charles dan Dayat alias Faruq yang juga terlibat dalam aksi itu tewas ditembak Polisi. Tentu saja penangkapan ini melemahkan kelompok Santoso. Apalagi kemudian Polisi menangkap Ustadz Yasin dan Papa Enal yang menjadi wakil ketua JAT Wilayah Poso.
Sejak saat itu, Santoso mulai merencanakan pelarian dan persembunyiannya. “Kadang dia hilang seminggu terus balik lagi. Setelah itu menghilang lagi. Kalau ditanya, dia cuma diam,” tutur Suwarni, istri Santoso kepada Ahmad, dalam sebuah pertemuan sebelum perempuan pemendam rindu itu mangkat karena deraan diabetes.
Santoso kemudian ditetapkan namanya masuk dalam daftar pencarian orang. Sejak saat itu, Santoso menghilang dari rumah. Komunikasi dengan istrinya dilakukan lewat telepon selular.
Gunung Biru, Tamanjeka dipilih sebagai tempat persembunyian kelompok ini. Santoso pun menghubungi Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa alias Daeng Koro di Makassar. Ia meminta pecatan angggota Korps Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat itu bergabung dengan dirinya dalam persembunyian.
Ia pun menugaskan Imron dan Bahrunnaim untuk menghubungi petempur-petempur dari luar Sulawesi Tengah agar bergabung dengan kelompoknya di Poso. Para lulusan Akademi Militer Afghanistan pun diundang.
Gayung pun bersambut. Zipo alias Ibenk asal Bima yang terlibat kasus bom UBK pada Juli 2011 menyatakan bergabung dengan kelompok Santoso. Tapi lagi-lagi kelompok ini tersandung pada ketiadaan dana operasi sampai kemudian Rizki dan Cahya di
Surabaya, Jawa Timur yang bersimpati pada kelompok ini meretas situs investasi online Speedline. Mereka berhasil membobol kas perusahaan investasi ini lebih dari Rp7 miliar ketika itu.
Pada awal 2012 mereka pun mulai melakukan perekrutan calon peserta pelatihan dari pelbagai wilayah di luar Poso meliputi Medan, Sumatera Utara, Bima, Nusa Tenggara Barat dan Solo, Jawa Tengah.
Sejak saat itu, sel-sel kelompok sipil bersenjata dari sejumlah daerah pun menyatakan dukungannya pada MIT. Beberapa di antaranya adalah mantan pengikut Noordin Moh Top dibawah Badri Hartono yang menamai diri Alqaeda Indonesia. Lalu kelompok Beji, Depok di bawah Abu Thoriq, kelompok Pamulang di bawah pimpinan Kodrat, adapula kelompok Mujahidin Indonesia Barat di bawah kendali Abu Roban, pelarian kasus Jantho Aceh. Belakangan sejumlah kelompok Bima dan Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan sokongan mereka pada Santoso.
Asykari pimpinan Santoso ini pun akhirnya merasa diri kuat. Pada 2012 itu pula dengan menjadikan daerah Gunung Biru, Tamanjeka sebagai basis mereka, Santoso pun diangkat sebagai amir Mujahiddin Indonesia Timur. Asykari diserahkan kendalinya apda Daeng Koro pecatan Kopassus yang juga alumini Akademi Militer Moro, Philipina Selatan. Latihan-latihan asykari pun makin digiatkan.
Akhirnya Polisi memakai strategi baru untuk melumpuhkan kelompok ini. Pada 2012 Polisi berhasil menangkap pentolan-pentolan kelompok penyokong MIT di Poso. Polisi bergerak cepat menangkap kelompok Badri dan Farhan Solo, Jawa Tengah. Lalu penangkapan Cahya dan kawan-kawannya di Bandung, Jawa Barat. Diteruskan dengan penangkapan kelompok Kodrat di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten menangkan kelompok Beji di Depok, Jawa Barat. Abu Roban yang mendaulat diri sebagai pimpinan Mujahiddin Indonesia Barat pun diringkus Polisi. Sejumlah kelompok teroris di Bima, NTB dan Makassar, Sulsel pun diobrakabrik Polisi.
Rangkaian operasi Kepolisian itu membuat MIT Poso bereaksi. Pada 8 Oktober 2012, kelompok Santoso menculik dan membunuh dua anggota Polres Poso. Senjatanya dirampas pula. Lalu Pos Polisi di depan SMAKER Poso di ujung Jembatan Poso dibom. Beberapa polisi terluka terkena serpihan bom.
Polisi tentu tidak tinggal diam. Ustad Yasin ditangkap. Lalu Zipo ditembak mati dalam sebuah penyergapan. Beberapa orang anggota asykari ditangkap di Kalora, Poso Pesisir Utara.
Rupanya aksi Polisi ini kembali mengundang reaksi kelompok Santoso. Pada 22 Januari 2012, mereka menyergap iringan sepeda motor patroli Brimob di Desa Kalora. Sebanyak empat orang anggota Brimob tewas. Sepucuk SS-1 dibawa kabur kelompok ini.
Kemudian, pada 4 Januari 2013, Polisi menembak mati Kholid dan Abu Uswah, salah seorang pelaku penculikan dan pembunuhan anggota Polres Poso di Tamanjeka. Pada 5 Januari 2013 Polri mengendus rencana aksi teror yang akan dilakukan oleh anak buah Santoso di Dompu Bima. Beberapa anak buah Santoso rupanya menyeberang ke Bima. Dalam sebuah operasi, Polisi menembak mati lima terduga teroris. Tiga orang asal Bima, seorang dari Poso dan seorang lagi asal Makassar.
Dari laporan intelijen diketahui, kelompok ini menggelar tadrib berpindah-pindah. Mereka membuat basis pertahanan sepanjang Poso Pesisir sampai Parigi. Setelah mereka mendaulat diri sebagai bagian dari ISIS, dukungan dari jejaring terorisme internasional pun terus berdatangan. Apalagi sebelumnya, senjata-senjata yang mereka punya memang berasal dari Moro, Philipina Selatan.
Sejak saat itu, operasi intensif untuk perburuan Santoso dilakukan. Pada 26 Januari 2015, Polisi menggelar Operasi dengan sandi Camar Maleo yang melibatkan Polda Sulteng, Densus 88 Anti Teror Polri dan Satuan Brimob Resimen Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sejumlah operasi intelijen digelar. Penggalangan dan pemantapan peran masyarakat untuk aksi kontra provokasi digalakkan di Poso. Patroli hutan juga dilakukan hingga sweeping di jalur logistik kelompok ini.
Selama operasi dari 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015, sebanyak 13 terduga teroris ditangkap dan menjalani proses hukum. Lalu tiga orang tewas ditembak.
Pada Jumat, 3 April 2015, Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa alias Daeng Koro dan Imam alias Farid tewas ditembak Polisi dalam penyergapan di Dusun Sakina Jaya, Desa Pelawa Baru, Kabupaten Parigi Moutong.
Mereka diduga akan beraksi pada 19 September 2015 saat puncak penyelenggaran Sail Tomini yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo di wilayah itu. Saat itu, Polisi mengumpulkan sejumlah barang bukti berupa dua pucuk senjata laras panjang M16, sepucuk pucuk revolver dan sepucuk senjata api rakitan laras panjang, beberapa buah bom dan ratusan butir peluru.
Kali ini Santoso terpukul. Sosok kuat di sampingnya tewas di tangan Polisi. Meski masih ada Basri alias Bagong dan Ali Kalora yang menjadi pimpinan Asykarinya.
Dan Operasi Camar Maleo pun terus berjalan. Kepolisian melanjutkan operasi Camar Maleo II yang dimulai pada 27 April 2015 hingga Camar Maleo IV yang berakhir pada Desember 2015. Selama Operasi Camar Maleo II, Polisi berhasil menyergap kelompok Santoso di Desa Gayatri, Kecamatan Poso Pesisir Utara dan berhasil menewaskan dua tersangka teroris atas nama Eno dan Aziz. Polisi juga mengamankan dua pucuk senjata api jenis M16 serta ratusan butir peluru dan bom.
***
Pada akhir Desember 2014, tiga warga Lembah Napu dilaporkan diculik oleh kelompok sipil bersenjata. Mereka adalah Gara Taudu, Harun Tomimbi dan Viktor Tolaba. Mereka diculik saat menyadap damar di hutan Desa Tamadue, Lore Timur. Lalu pada Minggu, 28 Desember 2014, Gara Taudu alias Jemmy ditemukan telah tewas dengan luka tembak di dada dan kepala. Jejak Santoso mulai tercium di lembah megalit ini.
Sejak saat itu, Polisi kemudian menempatkan ratusan aparat di wilayah dengan padang savanah nan indah ini. Operasi demi operasi digelar. Januari 2015 dimulailah Operasi Tinombala 2016. Perburuan Santoso digiatkan.
Perburuan dialihkan ke Lembah Napu. Dipastikan kelompok ini sudah meninggalkan Gunung Biru, meski beberapa kali mereka muncul di wilayah pesisir Poso. Kali ini operasi melibatkan semua jajaran. Polisi dan TNI menggelar operasi bersama. Semua pasukan elit TNI dari semua angkatan dan Kepolisian dilibatkan. Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis juga dilibatkan penuh. Tapi Santoso seperti hantu yang mudah hilang dan lenyap. Padahal sejumlah anggota kelompoknya telah ditembak mati.
“Sepanjang Operasi Tinombala 2016, sudah 10 orang terduga teroris yang tewas dan dua orang kita tangkap. Dan kita akan terus menggelar operasi ini sampai seluruh kelompok Santoso kita lumpuhkan,” tandas Rudy Sufahriadi yang pada saat itu bertanggungjawab pada Operasi ini.
“Tinggal tunggu waktu saja, Santoso akan ditangkap dan kelompok ini dilumpuhkan. Dulu mereka beraksi di kota, sekarang di hutan-hutan. Tentu strategi kami berbeda lagi,” kata Tito Karnavian, Jenderal Polisi yang saat itu menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris RI dalam kunjungannya di Pos Komando Taktis Operasi Tinombala 2016, di Desa Watutau, Kecamatan Lore Piore, Poso, Minggu, 3 April 2016.
Mudahkah Santoso tertangkap, lalu kelompoknya dilumpuhkan dalam waktu dekat? Menurut Ateng, ‘Santoso pandai navigasi darat dan mampu mengecoh aparat dalam pelariannya. “Ia paham navigasi dan pandai mengecoh jejak. Ia juga paham wilayah itu.”
Untuk diketahui, Lembah Napu luasnya lebih sekira 2 ribu kilometer persegi. Terdiri dari Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah, Lore Timur dan Lore Piore. Jaraknya dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah tidak kurang dari 168 kilometer.
Ada dua jalur untuk menuju Lembah Napu yakni dari Kota Palu dan Kota Poso, Ibukota Kabupaten Poso sejauh lebih dari 200 kilometer. Bila dari Palu melewati jalur hutan belantara di Taman Nasional Lore Lindu, sedang dari Poso melewati perkampungan warga, hutan sekunder dan padang savanah.
***
“Kita makin terdesak. Jangan lengah. Selalu waspada. Tingkatkan latihan. Bumi Allah ini luas. Allah sudah menyediakan makanan berlimpah untuk kita di sini. Istri-istri kita panggil semua untuk berjihad. Jangan lemah, karena perjuangan kita pasti diridhai Allah Subhana Wata’ala,” demikian petuah Santoso usai Magrib yang dingin di belantara Lembah Napu.
Anggota kelompoknya yang tak kurang dari 29 orang mengaminkan petuah Amir Mujahiddin Indonesia Timur itu. Mereka takzim sebab
melihat bagaimana gigih dan piawainya Santoso. Berkali-kali mereka disergap, berkali-kali pula mereka lolos dan selamat.
Untuk bahan makanan, mereka tak susah. Bila ada waktu mereka akan menuju perkampungan. Mereka meminta beras secukupnya, minyak goreng, garam dan lainnya.
Yang bertanggungjawab atas tersedianya makanan sudah ditentukan. Tapi kerap mereka kehabisan, karena terdesak penyekatan yang dilakukan sejumlah personil pasukan elit TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Raider dan Detasemen Jalamangkara harus diakui kelompok Santoso adalah lawan tanding sebanding dengan mereka.
Satu ketika mereka sudah benar-benar terkepung oleh kesatuan pasukan elit itu, tapi hingga pengepungan berakhir tak ada letusan senjata. Mereka mundur.
“Allah membantu kita.” Cuma itu yang dikatakan Santoso, sebab ia sendiri sudah yakin bahwa kali ini mereka akan tertangkap hidup-hidup atau mati dalam pertempuran.
Setelahnya mereka semua berdiam diri. Aroma alami humus dan lumut penyelimut batang pohon yang segar di Lembah Megalit itu mereka cium laiknya aroma kematian.
Kisah selanjutnya: Bara Api di Timur Celebes: Operasi Senyap di Lembah Sunyi