Di Lembantongoa, Ahmad Alghifary menetap di rumah seorang transmigran asal Purwekerto, Jawa Tengah. Mayoritas penduduk Lembantongoa merupakan warga bersuku Da’a, Kulawi, Bugis dan lainnya yang bermukim di sana pada 1982. Awalnya mereka berjumlah 250 kepala keluarga dari empat desa, di Kecamatan Kulawi yang ketika itu masih menjadi wilayah Kabupaten Donggala.

Pada 2011, pemerintah kembali menempatkan 300 kepala keluarga pemukim dari Jawa Tengah dan Jawa Barat ditambah transmigran lokal bersuku Da’a.

Kala itu, mereka menaman kakao karena meledaknya harga komoditas itu di pasaran. Belakangan pohon dan buahnya diserang hama hingga mengurangi produksi dan memaksa penduduk bertanam kopi.

Kemunculan kelompok Ali Kalora di kebun kopi mereka menjadi momok. Seminggu lamanya mereka tak berani berkebun. Beruntung sesudahnya 30 orang personil Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah ditempatkan di sana. Mereka adalah bagian dari Satuan Tugas Operasi Tinombala.

***

Jumat, 27 November 2020 pagi hari, Yasa, tak menyangka itu adalah hari terakhirnya menghirup segarnya udara Lebonu, Lembantongoa, Sigi, Sulawesi Tengah. Yasa, Pinu, Naka dan Pedi meregang nyawa di pagi yang indah itu. Pelakunya diduga kuat adalah Kelompok Mujahiddin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora membunuh dan membakar rumah tinggal mereka.

Sejumlah warga yang menyaksikan aksi pembunuhan tersebut dicekam ketakutan. Saat itu ada warga berlari ke arah hutan menyelamatkan diri. Ada pula yang turun ke kampung besar di Lembantongoa.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Abdul Rakhman Baso menyatakan kelompok Ali Kalora bertanggungjawab atas serangan ini.

Mereka memang berkali-kali menebar teror di perbatasan Parigi Moutong dan Poso, lalu Sigi, Sulawesi Tengah. Sejumlah warga sipil dan anggota Kepolisian menjadi korbannya.

Sepeninggal Santoso alias Abu Wardah, lalu tewasnya Daeng Koro dan ditangkapnya Basri alias Bagong kelompok ini dipimpin Ali Ahmad alias Ali Kalora. Kelompok sipil bersenjata ini pernah menyatakan pengakuan pada Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pimpinan Abubakar Albaghdadi.

Tak banyak data soal sosok bernama asli Ali Ahmad ini. Setelah Santoso alias Abu Wardah mangkat pada 18 Juli 2016, lalu Daeng Koro tewas ditembak, ia didaulat menggantikan posisi Amir Mujahiddin Indonesia Timur didampingi Basri. Setelah Basri yang diduga mata-mata Polisi ditangkap, praktis ia adalah anggota paling senior dalam kelompok ini. Dialah yang kemudian menjadi target utama Satuan Tugas Operasi Tinombala.

Ali diketahui lahir di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso. Ia memiliki seorang istri bernama Tini Susanti Kaduku. Di kelompoknya Tini disapa Ummi Farel. Sedangkan penambahan nama Kalora di belakang nama Ali berasal dari Desa Kalora tempatnya dilahirkan. Nama itu diperkenalkan polisi lalu digunakan secara umum dalam pemberitaan media massa.

Ada informasi lain menyebutkan bahwa Ali lahir di Ambon, Maluku lalu ke Poso dan menetap di Desa Kalora. Kemungkinan besar dia menjadi bagian dari Laskar Jihad Ahlusunnah Waljamaah yang masuk ke Poso pada 2000. Setelah Laskar Jihad dipulangkan pasca Deklarasi Malino pada 2002, dia memilih menetap di Poso.

Dari pelbagai keterangan, Ali diketahui benar-benar mengenal daerah di mana dia bersembunyi sepanjang Gunung Biru, Tamanjeka, Lembah Napu, Kabupaten Poso hingga ke Salubanga, Sausu, Kabupaten Parigi Moutong juga Manggalapi di Sigi. Meski demikian, Ali dianggap memiliki kemampuan di bawah Santoso.

***

Pagi yang sudah terik, 2 Desember 2020, Ahmad Alghifary menyempatkan diri menelpon kakak perempuannya yang kini menetap di Bogor. Mengikuti suaminya di sana. Ia baru saja selesai membuat laporan terbaru perihal kemunculan Ali Kalora di Lembantongoa.

Tak banyak cerita yang bisa dibagi pada kakaknya. Ahmad cuma mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja. Ahmad yang memilih membujang hingga usia ke-45 tahunnya tak punya tempat berbagi kisah selain pada Azizah, kakaknya.

Bila ditanya oleh Azizah, ia hanya bilang akan menikah setelah ia memilih menetap di suatu kota di mana gunung, lembah dan laut bisa disapa dalam sekali langkah.

Keluarga terdekatnya tinggallah kakaknya itu. Seruni meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Ibunya, Marsinah sudah lebih dulu berpulang. Ketika itu Ahmad sempat pulang mengantar kepergian perempuan lembut hati itu ke peristirahatan terakhirnya, sekaligus menyelesaikan kuliahnya yang tertunda lama.

Setelah selesai, ia lalu tetap memilih bekerja di media, meski ia lulusan terbaik perguruan tinggi ternama di Indonesia. Dunia itu terlalu menggodanya. Ia hijrah ke Jakarta hingga 2009.

Waktu-waktu berikutnya adalah hari-hari sibuk baginya. Ia membuat laporan ke media tempatnya bekerja dan sesekali ditugaskan ke Poso untuk melihat dari dekat dan melaporkan perkembangan situasi yang terjadi di Poso dan sekitarnya.

Babakan hidupnya di Poso, Pamona dan sejumlah wilayah bergolak di Poso adalah babakan kisah-kisah manis di hidupnya.

Itu pula saat Wilianita Rantelangi, seorang perempuan suku asli Pamona menggoda hatinya. Berpendidikan. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Sarjana Agroteknologi. Aktifitasnya mengajari perempuan-perempuan korban konflik mengusahakan budidaya pelbagai tanaman sayuran dan buah di pekarangan mereka. Ia juga mengajari mereka beternak unggas seperti ayam dan bebek.  

“Itu selain bisa memenuhi kebutuhan pangan dan gizi mereka, juga bernilai ekonomi karena bisa dijual ke pasar-pasar rakyat yang ada di sekitar wilayah mereka,” kata Wilianita padanya.

Perempuan Pamona itu sungguh gigih. Darinya Ahmad bisa membangun kontak-kontak di kalangan pemuka Kristen. Awalnya lelaki itu sulit membangun jaringan karena latar belakangnya yang seorang Muslim lalu bersuku Bugis dan Gorontalo. Perempun Pamona itu yang membantu meyakinkan pada para pemuka itu bahwa Ahmad pun punya tanggung jawab sosial dengan membuat laporan-laporan mendamaikan dari Tanah Poso.

Wilianita kelahiran Tentena, kota kecil di Dataran Pamona. Jaraknya sekira 65 kilometer dari Kota Poso, Ibukota Kabupaten Poso.

Seperti eloknya Danau Poso, seelok itu pula Wilianita. Keelokannya meneduhkan hati. Ahmad Alghifary pun jatuh hati.

Di tepian danau itu tempat mereka bercengkrama sekali dua. Memadu kasih seperti pasangan anak remaja meski keduanya tak remaja lagi.

Pada titik-titik tertentu mereka selalu tersadar masih banyak kerja besar di depan mata mereka.

“Poso memang mulai berbenah pasca konflik, tapi tinggalan pasca konflik banyak menyisakan masalah. Itulah yang menjadi tugas kita,” kata Wilianita.

Ahmad paham apa yang disampaikan perempuan itu. Ia mahfum pada banyak soal, mulai dari soal keperdataan atau kepemilikan tanah, perempuan-perempuan muda yang hamil pasca pasukan bantuan dari luar daerah pulang juga soal bagaimana para perempuan yang suaminya menjadi korban konflik harus bertahan hidup.

Wilianita dengan Kelompok Kerja Perempuan Eks Konflik Poso yang dibangunnya bekerja untuk itu. Ada banyak kelompok yang bekerja ketika itu. Masing-masing mereka terfokus pada wilayah dan isu berbeda. Mereka bahu membahu membangun kembali damai di Poso. Mereka bekerja tak kenal lelah dan terus menerus.

Di saat-saat itu pula kisah cinta Ahmad Alghifary dan Wilianita Rantelangi terus bertumbuh. Memabukkan. Menghela hati makin jauh ke relung danau asmara. Hatinya benar-benar luruh di Tanah Pamona. Ia terperangkap dalam kerling penuh pesona perempuan Pamona. 

Kisah selanjutnya: Bara Api di Timur Celebes: Aroma Kematian di Lembah Megalit