Jauh di Lembah Baliem, di pedalaman Pegunungan Tengah, Kabupaten Jayawijaya, Papua, suasana Ramadhan sedikit berbeda. Tidak gegap gempita, tapi cukup terasa kesyahduannya. Kumandang adzan, juga lantunan ayat-ayat suci Alquran melayang jauh ke angkasa. Beberapa hari, sejak Senin, 21 – 24 Juli 2013, bersama anak-anak Suku Dani, suku asli Papua yang telah memeluk Islam dalam suasana Ramadhan, sungguh sebuah pengalaman mengesankan. Inilah sekelumit kisahnya.
Untuk menuju Distrik Walesi, di pedalaman Pegunungan Tengah Papua, kita bisa menumpang pesawat milik dua maskapai penerbangan yang melayani rute Jayapura-Wamena. Ada Walesi Air Service dan Trigana Air. Selebihnya adalah pesawat cargo yang dimiliki swasta dan milik TNI Angkatan Udara. Tidak ada jalan darat yang bisa ditempuh. Setibanya di sana dilanjutkan dengan jalan darat, kurang lebih 10 kilometer ke arah selatan Kota Wamena, Ibukota Kabupaten Jayawijaya.
Panorama memukau Lembah Baliem tersaji sepanjang perjalanan. Ingin rasanya cepat sampai ke Distrik Walesi, tempat bermukim anak-anak Suku Dani yang telah memeluk Islam. Penasaran juga rasanya ingin merasakan kesyahduan Ramadhan di tengah anak-anak suku asli Papua itu.
Rasa penasaran itu pun terobati. Saat Magrib tiba, jamaah masjid Al-aqsha memang dipenuhi oleh anak-anak Suku Dani yang telah memeluk agama Islam ini. Tiga shaf jamaahnya. Beberapa di antaranya adalah orang dewasa. Mereka adalah para guru yang berasal dari Madura, Jawa Timur. Ada ustadz Mohammad Habibie dan Samuddin Alhakim dari Darul Ulum Banyu Anyar, Pamekasan, Madura, juga Yashuddin Ilyas yang tamat dari Ma’had Albirr, di Jalan Alaudin, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka telaten mengajari anak-anak Suku Dani ini mengaji dan mengenal Islam.
“Saya di sini sejak tigabelas Juni lalu. Dan Insya Allah tigabelas Juni tahun depan selesai masa penugasan saya di sini. Apakah saya akan menambah waktu di sini atau tidak, nantilah dilihat. Saya senang mengabdi di sini,” aku Ustadz Samuddin.
Proses pengajaran Islam kepada anak-anak ini, ketika Madrasah Ibtidaiyah, Merasugun Asso di Distrik Walesi libur, praktis dilaksanakan di Masjid. Merasugun Asso, adalah nama mendiang Kepala Suku Dani yang pertama kali memeluk Islam sekitar 1970-an.
Di masjid inilah, ketika subuh tiba, suasana menjadi makin ramai sebab usai shalat subuh, anak-anak mesti belajar mengaji. Para ustadz membimbing mereka satu per satu.
Para orang tua Suku Dani yang juga telah memeluk islam tentu saja terbantu dengan hadirnya para ustadz dari luar daerah sejak tahun 1970-an. Seperti Salasa Kuban, misalnya, yang mengaku sebelumnya mengikuti agama orang tuanya lalu memeluk Islam.
“Kita dulu anak-anak tidak tahu apa itu Islam. Sekitar tahun 1977, sudah masuk Islam di Wamena yang dibawa oleh para pendatang, bukan orang Papua. Sekitar tahun-tahun itulah baru orang tua kami mengenal islam. Lalu kami pun ikut masuk Islam,” tutur Salasa.
Saat ini, selain para ustadz yang telaten membimbing mereka di Pesantren Istiqamah yang berada dalam satu lingkungan dengan Masjid Alaqsha, anak-anak ini juga belajar dari para guru sekolah Madrasah Merasugun tadi. Jadi anak-anak ini tidak jauh-jauh lagi ke seolah negeri di Wamena. Ada sekitar 12 orang guru yang mengajar mereka di sekolah dinniyah itu. Mereka berasal dari Madura dan Sulawesi Selatan. Anwar Mas’ud, lelaki asal Bone, Sulawesi Selatan ini salah satunya. Ia sudah menjadi pimpinan sekolah di lingkungan pesantren ini sejak 2007
“Alhamdulillah pendidikan di Walesi ini makin berkembang, karena dulunya pada 2002, saat kali pertama saya ke sini, gurunya cuma dua tiga orang. Mulai 2007 sudah 12 orang dan sekarang tersisa 10 orang,” sebut Anwar yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kementerian Agama setempat
Nah, seperti anak-anak sepantaran mereka, bermain adalah menu sehari-hari. Meski sudah tentu arena bermainnya yang berbeda. Bagi anak-anak suku asli yang berdiam di Lembah Baliem, Distrik Walesi, Jayawijaya, di pegunungan tengah Papua ini alam luas terbentang adalah arena bermain mereka. Ada sungai yang mengalir jernih. Juga ada bebukitan yang hijau menghampar.
Sungai besar yang mengalir di belakang Pondok mereka, jadi arena bermain saban petang kala menunggu waktu berbuka puasa. Ada Syarif dan Mohammad yang menjadi pentolannya.
Biasanya mereka berbuka dengan air putih dan sepotong kue. Atau bila ada persediaan, mereka berbuka dengan susu putih. Setelah itu mereka kemudian shalat Magrib dan kembali lagi ke ruang makan untuk menyantap makanan berbuka puasa. Menunya sederhana, kadang kala hanya sayur dicampur dengan ikan kaleng atau mie instan. Begitu pula saat sahur tiba. Meski demikian, kenikmatan Ramadhan tetap begitu terasa. Ada Kasim Asso, sang koki, yang rajin menyiapkan makanan bagi anak-anak ini.
“Saya yang memasak setiap hari untuk anak-anak ini. Enak,” kata Kasim dengan lafal yang tidak terlalu jelas karena dia cadel.
***
Warga muslim di Distrik Walesi begitu beruntung. Selain toleransi yang begitu dijaga oleh warga setempat, perhatian pemerintah tidak pernah pula kurang untuk mereka. Ini juga adalah bagian dari model pemeliharaan kerukunan antarumat beragama yang diterapkan Pemerintah di Wamena.
“Kerukunan antarumat Beragama di sini tidak perlu diragukan. Kami punya forum kerukunan antarumat beragama atau FKUB yang setiap waktu selalu langsung bertemu membicarakan hal-hal terkait masalah umat. Di sini pula kami biasa bekerjasama dalam perayaan hari-hari besar melibatkan semua agama. Jadi yang ada adalah semangat saling menjaga dan saling mendukung. Itulah resep sederhana kami,” kata Yohannes, yang pada 2013 menjabat sebagai Sekretaria Daerah Kabupaten Jayawijaya.
Kini, warga muslim Suku Dani di pegunungan tengah Papua terus berbenah agar kumandang adzan, juga lantunan ayat-ayat alquran akan terus terdengar.***
(Ini adalah catatan saya saat mendapat penugasan peliputan di Lembah Baliem, Papua pada 2013. Sengaja saya tuliskan kembali sekadar berbagi kisah kepada khalayak sekalian)