“Fad…Fad…Ayo kita lihat ada api menyala-nyala di ujung sawah. Gagah sekali,” kataku mengajak adik perempuan keduaku.

Kami pun, seperti juga orang lain berlarian ke arah persawahan di Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong. Kami menyaksikan indahnya cendawan api di ujung persawahan. Bunga apinya yang memerah meletup-letup. Kontras dengan persawahan yang hijau. Belakangan kami baru tahu bahwa itu adalah letusan Gunung Colo di Pulau Unauna, Kabupaten Tojo Unauna. Kami menyaksikan cendawan api itu pada sore hingga jelang magrib.

Esoknya, sejumlah wilayah berdekatan dengan letusan gunung ini, gelap gulita tertutup abu. Saya masih ingat seharian kami berada dalam kegelapan, sementara saat itu listrik dari PLN Parigi pun padam.

Ya, Gunung Colo, gunung berapi setinggi 486,9 meter di atas permukaan laut itu meletus pada 23 Agustus 1983. Erupsi terjadi erupsi yang cukup besar di mana awan panas (pyroclastic flow) dari gunungapi telah menghancurkan sebagian besar Pulau Unauna.

Menurut para geolog, gunung ini sungguh unik dan istimewa. Sebab letaknya di Sulawesi Tengah, ia berbeda jalur gunungapi di Indonesia yang menerus dari pulau Sumatra, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur lalu ke utara yaitu Sulawesi Utara. Ia berdiri sendiri.

Saya teringat kisah letusan gunung berapi ini lantaran Senin, 26 Juli 2021, pukul 20:09:07 Waktu Indonesia Tengah kita dikejutkan dengan guncangan gempa bumi yang cukup lama. Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika merilis gempa bumi berkedalaman 10 kilometer ini terjadi di 59 kilometer Timur Laut Tojo Unauna. Seketika warga Ampana dan sekitarnya mengungsi ke dataran tinggi, lantaran permukiman mereka memang terletak di bibir laut Teluk Tomini.

Lalu saya teringat John Aria Katili dan Ubirto. Dua lelaki ini tentu tak saling kenal. Tapi mereka disatukan oleh tanah harapan nan subur menghijau bernama Pulau Unauna.

Siapa John Katili? Lelaki inilah yang membuktikan teori geologinya pada dunia, sehingga meski letusannya begitu dahsyat, Gunung Colo tak memakan korban jiwa.

Puncak dahsyatnya letusan ketika pulau itu pecah dan dihancurkan oleh “nuee ardente”. Abu dan semburan awan setinggi 15.000 meter mencapai Pulau Laut, sebuah pulau yang terletak 900 km jauhnya di sebelah tenggara Kalimantan.

Abu menutupi 90 persen sisa pulau Una-una setebal 2-6 meter. Semua rumah, tanaman, hewan, ikan karang dan ikan-ikan dekat pantai musnah. Kecuali sepanjang jalur sempit di bagian timur pulau.

Penduduk yang berjumlah 7.000 jiwa dapat diungsikan dari Pulau Una-una.

“Suatu prestasi yang mengagumkan,” tulis Anthony J. Whitten, Muslimini Mustapa dan Gregory S. Henderson dalam buku Ekologi Sulawesi seperti mengutip laman darilaut.id

Buku setebal 860-an halaman itu diterbitkan Gadjah Mada University Press 1987 tersebut. Prakatanya ditulis Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim.

Sejarah Geologi Sulawesi sebagai bab pembuka yang menjelaskan latar belakang fisik, biologi dan manusia. Terkait dengan letusan gunungapi Colo berada di halaman 7 – 9.

Prestasi mengagumkan yang ditulis Whitten, dkk, tersebut karena tidak ada korban jiwa ketika Gunungapi Colo meletus. Penduduk berhasil diungsikan tepat pada waktunya.

Perintah untuk segera melakukan evakuasi terhadap penduduk datang dari ahli geologi Profesor John Ario Katili. Saat Gunung Colo sudah mulai batuk dan tremor, warga di pulau itu segera dievakuasi sesuai arahannya.

Ketika itu, J.A. Katili masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan.

Gunungapi Colo tercatat yang menimbulkan kerusakan paling besar di Sulawesi. Sepanjang pengetahuan, gunungapi ini hanya sekali meletus sebelumnya, yaitu pada tahun 1898.

Letusan ini, seperti diuraikan Whitten dkk (1987), memuntahkan abu sebanyak 2,2 km3 yang menutup areal seluas 303.000 km2.

Jaraknya hampir mencapai batas antara Serawak dan Kalimantan Timur sejauh 800 km.

Sebelum terjadi letusan dahsyat, dalam beberapa hari sesudah tanggal 14 juli 1983, sejumlah besar gempabumi sampai 100 kali sehari mengguncang Una-una.

Pada 18 Juli 1983 terjadi semburan air tanah yang besar. Air yang terperangkap di bawah gunung api yang panas, diubah menjadi uap bertekanan tinggi dan meledak menembus bahan tadi.

Kondisi ini, membangkitkan semburan uap dan reruntuhan batuan setinggi 500 meter. Letusan magma pertama terjadi pada pagi hari, tanggal 23 Juli 1983.

Menyemburkan jambul abu dan bahan lain setinggi 1000 meter ke udara.

Pada 23 Juli 1983, J.A. Katili mengadakan penerbangan pengintaian di atas Pulau Una-una. Puncak letusan terjadi hanya beberapa jam setelah penerbangan tersebut. Letusan dahsyatnya terjadi pada pukul 16.23 WITA.

John Ario Katili lahir di Gorontalo, 9 Juni 1929. Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1961 ini pernah menjadi Deputi Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 1969-1974, Dirjen Pertambangan Umum, 1973-1984, Dirjen Geologi & Sumberdaya Mineral 1984-1989.

Selanjutnya, Wakil Ketua MPR/DPR 1992-1997, Duta Besar untuk Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan dan Mongolia 1999-2003.

Dicatat oleh Lokadata.id, saat duduk di bangku sekolah dasar Belanda, Christelijke School, dia ikut ayahnya yang dipindahtugaskan ke Poso sebagai surveyor pekerjaan umum untuk pembangunan infrastruktur Hindia Belanda.

Masih di sekolah dasar, kelas 5, John mulai membaca majalah politik Nationale Commentaren punya Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, Gubernur Selebes pertama tahun 1945.

Tomohon di Sulawesi Utara, 30 kilometer dari Manado, adalah rumah ketiganya saat Jepang sudah menancap kuku di Nusantara. John bersekolah di Chugakko yang setingkat smp dengan pendidikan a la militer.

Sekolah itu mempertemukannya dengan Galib Lasahido, yang di kemudian hari menjabat sebagai gubernur ke-7 Sulawesi Tengah (1981-1986). Galib adalah ayah dari Tahmidy Lasahido, mantan akademisi Universitas Tadulako dan pemilik Radio Nebula FM.

Johnlah yang menyatakan kesamaan antara Sesar San Andreas di California, Amerika Serikat, dengan Sesar Palukoro yang membelah dari utara sejak Selat Makassar, Lembah Kaili, dan hingga ke Teluk Bone. Seperti yang kita ingat, pada 28 September 2018, gerakan hebat sesar ini memicu gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Jumat sore yang kelabu itu.

Pada 19 Juni 2008, tokoh geologi dan sarjana Indonesia pertama Indonesia ini wafat. Kisah letusan Gunung Colo, Pulau Una-una, di jantung Teluk Tomini ini, telah memberi catatan mengagumkan tentang praktik mitigasi bencana dan kehebatan John, Putra Gorontalo yang besar di Pulau Unauna ini.

Lalu siapa Ubirto? Unik namanya. Lapeni, ayahnya adalah salah seorang pengungsi dari Pulau Unauna. Meninggal di Dolago, Kecamatan Parigi Selatan. Keluarganya adalah tetangga yang hanya bersebelahan halaman rumah dengan kami. Ia memberi nama anaknya Ubirto. Itu akronim dari Una-una, Biromaru dan Torue. Saat mengungsi dari Unauna, setelah beberapa waktu di Padang Uloyo, tempat penampungan pengungsi, ia memilih berpindah ke Biromaru, lalu ke Torue dan terakhir menetap di Dolago.

Semasa hidup, ia bercerita pada saya soal nama anak keduanya itu. Dia bilang itu menjadi pengingatnya akan bencana dahsyat ini. Ia memang akrab dengan siapa saja, apalagi kami memang tetangga. Nama anak pertamanya Teti. Ia memang asli Unauna. Sekarang Ubirto menetap di Watunonju, Sigi. Sebagian keluarganya sampai sekarang sudah menjadi pemukim tetap di Biromaru. Kami akrab, bahkan sudah seperti keluarga dengan mereka. Cucu-cucunya pun dekat dengan kami. Saat kuliah di Universitas Tadulako, Nur Wasiat, seorang cucu perempuannya tinggal bersama dengan saya dan adik saya di Palu.

Nah, soal mitigasi bencana, baiknya kita memang perlu belajar lagi pada catatan-catatan John Aria Katili. Bila alam sudah memberi tanda, saatnya kita membaca dengan cermat. Utamanya bagi mereka yang bekerja di bidang itu. Kita perlu John Aria Katili baru yang mengembangkan ilmunya dengan penuh gairah dan kecintaan sampai pada tahap praktiknya.

Meski Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyatakan gempa bumi Tojo Unauna tidak terkait dengan aktivitas Gunung Colo, agaknya kita harus tetap waspada. ***