Bos Tesla Inc Elon Musk menjadi pembicara di forum B20 Summit di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
Namun, pendiri SpaceX dan pemilik Twitter itu hanya hadir secara virtual.
Elon tampil dalam sesi Summit 1-on-1 Conversation on Navigating Future Disruption of Global Technological Innovation pada pukul 11.00 WITA atau 10.00 WIB.
Moderator dalam sesi diskusi itu oalah Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia Anindya Bakrie.
Direktur Utama PT Bakrie & Brothers Tbk itu mengawali diskusi tersebut dengan mengucapkan terima kasih kepada Elon yang bersedia mengenakan batik Bomba dari Sulawesi Tengah.
“Kami mengirimkan itu sejauh 15 ribu kilometer melinatsi Bumi,” ujar Anindya yang mengenakan batik serupa dengan yang dipakai Elon.
Anindya menjelaskan batik bomba berkelir hijau untuk Elon Musk itu berasal dari sebuah desa kecil di Sulawesi tengah. Menurut Anindya, daerah tersebut kaya akan nikel.
“Anda mungkin ingin berkunjung ke sana,” kata Anindya.
Putra pengusaha Aburizal Bakrie alias Ical itu menjelaskan desa tersebut punya ambisi untuk menciptakan kawasan industri net zero dengan energi ramah lingkungan.
“Itulah mengapa batik Bomba yang dipakai Elon Musk begitu spesial. Saya harap Anda menyukainya,” tutur Anindya.
“Itu hebat,” sahut Elon.
“It means Brother Elon,” kata Anindya.
Cerita Batik Bomba
Buya Bomba atau Buya Sabe yang kerap disebut juga Batik Bomba merupakan tradisi tenun yang sudah hidup seiring sejarah tenun di Sulawesi Tengah.
Wani dan Donggala Kodi, Kabonga Kecil, Kabonga Besar pada masanya pernah menjadi sentra kerajinan Buya Bomba. Seorang komponis kenamaan Sulawesi Tengah, Hasan Bahasyuan bahkan mengabadikan Buya Bomba dalam salah satu lagunya.
Syuaib Djafar, mantan Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Tengah menjelaskan soal filosofi batik bomba.
“Buya sabe atau buya bomba punya makna mendalam bagi masyarakat Sulawesi Tengah. Ini melekat dengan tradisi suku asli di Sulawesi Tengah, yakni Suku Kaili. Sarung bomba hadir dalam busana resmi semua acara keadatan dan umum. Motifnya pun diinspirasi oleh alam lingkungan di mana suku ini berdiam, mulai dari motif bunga, hewan dan lain-lain,” papar Syuaib Djafar.
Saat ini, motif Buya Bomba kian beragam. Mulai dari sambulugana, rumah adat (souraja), tai ganja, motif burung maleo, motif bunga merayap, motif resplang, motif ventilasi, hingga motif ukiran rumah adat Kaili.
Kain warna kuning, merah, orange, hijau terang sering digunakan dan juga menjadi ciri khas Batik Bomba Sulteng.
Pada hari-hari besar di Palu, Batik Bomba Sulteng menjadi pakaian wajib yang harus digunakan.
Sayangnya kini, pasokan bahan baku yang kurang dan pemasarannya, membuat produksi tenun Buya Bomba Sulteng kian menurun. Serbuan tenun serupa dari Cirebon, Jawa Barat dan Pekalongan di Jawa Tengah membuat para perajin tenun Buya Bomba seperti hidup enggan mati tak mau. ***