Bagi penggemar film-film aksi yang menyoroti keberadaan Yakuza, sindikasi kriminal yang tersohor di Jepang, pasti akrab dengan kata ‘gaijin’. Itu adalah penyebutan yang konotatif atas orang asing yang datang ke Jepang. Dia bisa saja orang Jepang namun tak murni berdarah Jepang atau orang asing yang menjadi Jepang karena menikah.
Di kalangan Tiongkok ada penyebutan Guiqiao. Ini adalah penyebutan atas orang berdarah Tiongkok namun tak lahir di Dataran Tiongkok. Mereka bisa saja lahir di Amerika, Indonesia atau di belahan dunia mana saja.
Bermula pada musim panas 1949, menjelang berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, orang Tiongkok di perantauan kembali ke tanah leluhurnya. Mulanya ratusan jiwa kemudian berkembang menjadi lebih besar. Tumbuh kembangnya Kota Beijing memantik minat para Guiqiao untuk kembali.
Tercatat pada 3 Oktober 1950, untuk pertama kalinya beridiri organisasi orang-orang guijiao dan kerabatnya di tingkat provinsi. Mereka menamai diri; ‘Asosiasi Kekerabatan Orang-orang Guijiao Beijing’.
Pada masa antara 1950-1960-an, salah satu tugas utama asosiasi ini adalah membantu pemerintah menyambut dan menempatkan para guiqiao untuk ikut berpartisipasi membangun sosialisme di tanah leluhur.
Di Indonesia, Bangsa Tionghoa mulai berdatangan pada abad ke-7 M. Misi perluasan wilayah pada awalnya, kemudian niaga. Termasuk misi penyebaran agama. Permukiman Tionghoa tersebar merata hampir di seluruh wilayah Nusantara. Pergolakan politik di Dataran Tiongkok turut pula mempengaruhi suku bangsa ini di Indonesia. Perdagangan candu, opium dan barang niaga lain mewarnai perniagaan Bangsa Tionghoa kala itu.
Sampai kemudian munculnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1959 yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia membuat mereka tersingkir.
Itu mengakibatkan pula eksodus besar-besaran orang Tionghoa (belum berkewarganegaraan Indonesia) dan keturunan Tionghoa kembali ke Tiongkok. Meskipun tetap ada yang tinggal di Indonesia.
Untuk diketahui Suku Bangsa Tionghoa masuk dalam daftar 20 terbesar penduduk Indonesia. Berdasarkan data Sensus penduduk 2010, jumlah warga keturunan Tionghoa di Indonesia mencapai 2,83 juta jiwa atau sekitar 1,2 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 236,73 juta jiwa.
Kisah ini diantarkan kepada saya oleh Lee Feng Pippa, seorang relawan kemanusiaan Tionghoa yang pernah ke Palu saat bencana dahsyat gempabumi, tsunami dan likuifaksi meluluhlantakan Kota ini.
Ia bilang, “meski tubuhnya secara fisik menetap di Dataran Tiongkok, namun hatinya masih tertinggal di Indonesia.”
Itulah yang membuat para Guiqiao, aktif berkontribusi selama pandemi Covid-19. Sumbangan masker, alat pelindung diri dan juga uang tunai mengalir dari mereka ke Indonesia. Adalah Asosiasi Guiqiao Indoensia Cabang Xiamen, salah satu yang aktif berkontribusi. Xiamen adalah kota utama di pesisir tenggara RRT berhadapan dengan Selat Taiwan.
Lee bilang, Guiqiao tidak hanya mencintai Tiongkok, mereka juga mencintai tempat kelahiran mereka, Indonesia. Di usia tuanya, mereka masih ingat dengan jelas lagu-lagu Indonesia masa kecil mereka. Mereka pun masih bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Mereka masih juga terbiasa memasak makanan Indonesia dan masih ingat musik dan tarian Gamelan Indonesia.
Ia mengisahkan, setiap kali ada saja Guiqiao asal Indonesia menyanyikan ‘Ayo Mama’, dan ‘Bengawan Solo membangkitkan ingatan mereka di Indonesia.
Suatu ketika pada 2004, Konsul Jenderal Indonesia di Guangzhou, Hamdani Didfai mengunjungi Perkebunan Hoakiau. Dia kagum sat disambut oleh Guiqiao yang mengenakan kostum tradisional Indonesia sembari menari dan menyanyi.
Ia terkejut pula, setelah puluhan tahun meninggalkan Indonesia, mereka masih dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan lancar. Bahkan mereka pun masih menyantap Gado-gado, Rendang, Sate, dan lain-lain.
Para Guiqiao tentu tak melupakan kisah duka mereka meninggalkan Indonesia. “Namun mereka menganggap itu sebagai bagian dari perjalanan kehidupan,” tutur Lee.
Kepada anak-anak mereka, kisah tentang tanah kelahirannya; Indonesia tetap menjadi hal yang menarik untuk diceritakan.
“Rata-rata, mereka berniat untuk kembali mengunjungi Indonesia menengok saudara-saudara mereka yang masih memilih tinggal di Indonesia dan berganti nama maupun kewarganegaraan,” sebut Lee.
Mantan Konsul Jenderal Konsulat Indonesia di Guangzhou, Ratu Silvy Gayatri sangat memuji kontribusi khusus yang dibuat oleh Guiqiao untuk persahabatan Tiongkok-Indonesia. Ia percaya bahwa pertukaran budaya semacam ini merupakan elemen penting dalam pengembangan hubungan bilateral.
“Saat ini, hubungan antara Indonesia dan Tiongkok berada pada tahap paling bersahabat, dan Guiqiao asal Indonesia telah memainkan peran yang baik sebagai jembatan dan ikatan dalam mempromosikan pertukaran budaya, ekonomi, sosial dan persahabatan antara Indonesia dan Tiongkok,” sebut dia.
“Saya memimpikan Guiqiao asal Indonesia akan makin memperkuat jalinan persahabatan dan persaudaraan dengan saudara-saudara mereka di Indonesia. Agar generasi yang lahir sesudahnya bisa akrab menari bersama di bawah alunan irama Gamelan,” harap sahabat saya itu. ***