Ahli sejarah Diponegoro asal Inggris, Peter Carey mengungkapkan kisah penyerahan Kanjeng Kiai Cokro, Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro yang disebut pula Tongkat Cakra.
Peter Carey menyampaikan itu pada pameran seni rupa ”Aku Diponegoro” di Galeri Nasional Indonesia Jakarta, Kamis (5/2/2015) silam.
”Penyerahannya dirahasiakan sesuai permintaan keluarga yang menyimpan pusaka tongkat Diponegoro tersebut di Belanda,” kata dia.
Menurut dia, Kanjeng Kiai Cokro tersebut diperoleh Pangeran Diponegoro dari warga pada sekitar tahun 1815.
Kanjeng Kiai Cokro digunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta.
Itu terjadi sebelum Diponegoro mengobarkan perang terhadap Hindia Belanda pada 1825-1830.
Selama 181 tahun tongkat tersebut sebelumnya disimpan salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud (1833-1834).
Kemudian Michiel Baud mewakili keluarga besar keturunan JC Baud menyerahkan Kanjeng Kiai Cokro, Tongkat Pusaka Diponegoro kepada pemerintah Indonesia.
JC Baud menerima tongkat ziarah Diponegoro, yang juga disebut tongkat Kanjeng Kiai Cokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo.
Notoprojo adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Notoprojo dikenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda.
Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dipersembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834.
Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda.
Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro itu hingga akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada Kamis (5/2/2015).
Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Diponegoro, terutama dari simbol cakra di ujung atas tongkat sepanjang 153 sentimeter itu.
Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.
”Sesuai mitologi Jawa, tongkat tersebut dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau Erucakra,” kata Peter.
Diponegoro kemudian menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Perang juga dianggap sebagai pemulihan keseimbangan masyarakat.
”Panji pertempuran Diponegoro menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang,” kata Peter.
Panjang Tongkat Pusaka ini 1,4 meter. Kiai Cokro bergagang besi serta ukiran besi berbentuk cakra setengah lingkaran di pucuknya. Sebuah dokumen di Arsip Nasional Belanda bertanggal 4 Desember 1834 berupa nota penyerahan pusaka dari Residen Yogyakarta Frans Gerardus Valck menyebutkan, tongkat itu mulanya milik penguasa Kesultanan Demak pada abad ke-16.
“Saat terjadi gejolak di Demak, tongkat itu jatuh ke tangan seorang wong cilik dan turun-temurun diwariskan sampai akhirnya 10 tahun sebelum Perang Jawa, tongkat itu dipersembahkan oleh seorang rakyat Jawa biasa kepada Pangeran Diponegoro,” demikian bunyi keterangan dalam nota tersebut. ***