Saat saya masih duduk di bangku kelas 3, Sekolah Menengah Pertama di Parigi, saya membantunya mengetikkan sebagian skripsinya. Saban malam, di atas meja makan di rumah keluarga di Kelurahan Masigi, Parigi, kami mengisi malam dengan bunyi tak tik tuk dan drrrrrr….suara roll spasi mesin ketik bermerek Brother.
Nenek saya yang adalah ibunya, Maani, kamarnya berbatas dinding dengan ruang makan itu. Namun sebab kecintaannya, tak pernah merasa terganggu. Bahkan usai itu, saya dan dia, sama-sama tidur memeluk perempuan kesayangan kami itu. Kami selalu tidur seranjang bila dia pulang kampung. Nah, itu baru beliau merasa terganggu karena kami berebutan memeluknya erat-erat. Saat itu ia sudah hampir merampungkan kuliahnya di jurusan Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Palu.
Isi skripsinya tergolong progresif. Isinya membahas soal bagaimana menyesuaikan ritual pengobatan animis Balia dengan syariat islam. Semua mahfum bahwa ritual balia lekat dengan kepercayaan animis. Ia tak mau mempertentangkan soal itu. Ia ingin Balia beradaptasi dengan syariat. Ia ingin Balia tetap diselenggarakan dengan modifikasi sesuai ajaran Islam.
Saya tak mengikuti lagi bagaimana kelanjutan tesa-nya itu. Yang jelas ia lulus dengan predikat terbaik. Ia berhak menyandang gelar Doktorandus, sebuah gelar yang istimewa di tahun 1990-an.
Seusai kuliah, ia kemudian mengajar di Alkhairaat Parigi tempat ia menuntut ilmu di bawah asuhan KH. Mohammad Shaleh Zainal Abidin Damar, guru dan orang tua keduanya.
Setelahnya ia pamit mengikuti testing Calon Pegawai Negeri Sipil. Ia kemudian diterima di Kementerian Agama. Lalu mengajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 di Jalan Gatot Subroto, Palu sampai ia menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.
Terakhir, ia mendapat kepercayaan menjadi Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Palu yang dulu adalah Sekolah Teknik Negeri.
Ia termasuk Pegawai yang inovatif. Ia perencana dan eksekutor yang baik. Di tangannya sekolah yang tak dilirik itu maju dan punya banyak kegiatan bermanfaat.
Dalam pergaulan sehari-hari, ia sangat luwes. Semua orang dikawaninya. Pergaulannya luas. Ia pandai benar bergaul. Semua orang tua dicintai dan dihormatinya. Sebagai pendakwah, ia memiliki semua syaratnya. Isi ceramahnya pun selalu menarik didengarkan. Retorikanya indah disimak. Ia punya kebiasaan akan menggendong dan memeluk sesiapa saja orang tua yang ditemuinya di jalan saat ia berpapasan. Ia dekat dengan semua orang tua di tanah lahirnya.
Setelah menunaikan haji dan menyelesaikan magisternya, ia menulis namanya: Drs. H. Nasrun Ismail, M.Si. Ia adalah adik ketiga almarhumah ibu saya, Fauziah Ismail. Ia berpulang hari ini, Kamis, 5 Agustus 2021 menyusul bapaknya yang mendahuluinya, Selasa, 3 Agustus 2021 kemarin.
Mendiang lahir di Masigi, Parigi, 11 Februari 1959. Ia merasakan bagaimana mereka harus mengungsi ke Kebun Kopi karena pasukan PRRI/Permesta pimpinan Herman Nicolas Ventje Sumual, merangsek masuk ke wilayah Parigi dan terlibat clash dengan Tentara Indonesia.
Sesuai rencana keluarganya, dia akan dimakamkan di samping bapaknya yang dikuburkan Rabu, 4 Agustus 2021 kemarin di sebuah areal kebun yang kami namai sambote yang berarti tempat di seberang.
Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Insya Allah, paman kami, Drs. H. Nasrun Ismail, M.Si husnul khatimah dan ditempatkan di surga-Nya sesuai amalannya semasa hidup. Untuk adik-adikku, utamanya anak kandungnya Sitti Mutmainah Anggriani diberi ketabahan hati. Alfatihah. Kami benar-benar kehilanganmu. ***