Pada Selasa, 25 Juli 2000 setelah melalui negosiasi yang alot, , dan , yang ditengarai sebagai pimpinan ‘' akhirnya menyerahkan diri kepada Komandan Batalyon II Operasi Cinta Damai, Kapten Inf. Agus Firman Yuswono dan Kapten Czi. Aldi Rinaldy. Mereka kemudian diserahkan kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.

Kepolisian lalu mengumumkan bahwa tiga tersangka dari kelompok ninja telah ditahan dan dibawa ke Palu. Dua minggu kemudian tiga orang yang diduga sebagai provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan pada 23 Mei 2000.

Untuk diketahui, Fabianus Tibo lahir di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur pada 5 Mei 1945. Tibo yang berpendidikan kelas 2 Sekolah Rakyat sehari-harinya bekerja sebagai petani.

Kala berumur 17 tahun, Tibo merantau ke Sulawesi Tengah dan berusaha membangun kehidupan dan rumah tangga di desa Beteleme. Menikah dengan wanita setempat, dan dikaruniai 3 orang anak. Di samping menunjang kehidupan keluarganya sebagai seorang petani sederhana, Tibo juga bekerja sampingan sebagai pengrajin topi dan rotan. Semuanya itu dilakukannya dengan tangan yang memiliki jari-jari yang tidak lengkap. Ia tidak memiliki ibu jari (jempol) tangan kanannya, padahal segala sesuatu dikerjakan dengan tangan kanan sebagai tumpuan utama.

Adapun Dominggus da Silva lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur tanggal 17 Agustus 1967. Setamat STM ia merantau ke Sulawesi Tengah pada tahun 1987. Mendengar ada banyak transmigran asal Flores di Beteleme, Dominggus berusaha mengadu nasib ke Dusun Jamur Jaya. Sehari-hari Dominggus, yang sampai akhir hayatnya membujang, bekerja sebagai sopir angkutan umum jurusan Beteleme – Jamur Jaya.

Sementara, Marinus Riwu lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 27 Juli 1957. Tahun 1987 lelaki yang hanya bersekolah sampai kelas 2 Sekolah Dasar itu bersama istri dan anak-anaknya bertransmigrasi ke Sulawei Tengah, persisnya ke Dusun Molores Kecamatan Lembo yang berjarak sekitar 250 Km dari Kota Poso. Untuk menghidupi keluarganya Marinus sehari-hari bekerja sebagai petani.

Ketiganya menjalani proses persidangan yang cukup lama dan penuh drama. Setiap sidang diikuti oleh demonstrasi warga Poso. Mereka meminta Tibo dkk divonis mati. Pada satu waktu, Pengadilan Negeri Palu diserang massa dan hampir saja Tibo cedera di dalam sel penitipan sebelum persidangan.

Tibo dkk akhirnya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Palu pada Kamis, 5 April 2001. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah pada 17 Mei 2001. 

Mahkamah Agung membenarkan putusan hakim Pengadilan Negeri Palu, yang menyatakan Tibo cs bersalah atas sangkaan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Moengko Baru. Majelis Pengadilan Negeri Palu, yang dipimpin hakim Sudarmo, meyakini sejumlah saksi yang mengaku melihat ketiganya memimpin dalam penyerangan itu. 

Hukuman diperberat karena Tibo, 61 tahun, pernah dihukum empat tahun dalam kasus pembunuhan seorang transmigran asal Bali, pada 1994.

Tibo kemudian 3 kali mengajukan grasi kepada presiden dan 2 kali peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dan semuanya ditolak. 

Meski divonis pada 2001, Tibo dkk baru dieksekusi tembak mati pada Jumat, 22 September 2006.

Sayangnya, sepanjang pengadilan Tibo, dkk berlangsung hingga vonisnya, peristiwa demi peristiwa berdarah terus terjadi di Poso. Api memang sudah terlanjur menyala kala itu. ***

Disklaim: Operasi penindakan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) sudah usai. Tak ada lagi pengerahan personel polisi dan tentara yang masif. Rangkaian tulisan ini adalah bagian dari bukuPoso di Balik Operasi Madago Raya. Catatan ini tak dimaksudkan untuk membuka luka lama amuk sosial di Poso, tapi sekadar menjadi referensi historik. (Penulis)