Parigi begitu lama menjadi penghasil kopra. Kopra dari kota kecil ini melanglang hingga Surabaya, Jawa Timur. Itu ketika Pelabuhan Parigi masih beroperasi sebagai pelabuhan penumpang dan niaga. 

Saya menjalani masa taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama di kota ini. Di antara tahun 1980 – 1990. Kenangan saya pada Kopra begitu melekat. Mulai dari berebut menumpang gerobak sapi pengangkut kelapa hingga sekadar menonton Potapa, para-para pengering kopra yang apinya menyala indah di malam hari. Ingatan saya pun menjelajah dari menonton keahlian Toposunggi, para penyunggi kelapa sampai rebutan Tombong atau Kentos, embrio tunas kelapa yang sungguh enak itu.

Kakek saya kala itu punya beberapa lahan kebun kelapa. Ia punya kebun di Pohobintu, daerah pesawahan di bawah Kelurahan Maesa sekarang. Ia juga punya sepetak kecil kelapa di Sambote, lahan keci di seberang aliran Sungai Toraranga di Kelurahan Masigi. Bila tiba masa memanen, berebutan naik gerobak sapi pengangkut kelapa sungguh menyenangkan. Rasanya seperti naik mobil yang di masa itu cuma beberapa orang yang punya.

Dari lahan kebun yang dipanen, kelapa di bawah ke belakang rumah kakek saya di Kelurahan Masigi. Oh iya, nama kakek saya; Ismail Saribu. Namanya unik. Orangnya murah senyum. Termasuk lelaki yang ganteng di masanya. Hidungnya mancung seperti orang Arab. Kulitnya putih. Tingginya 175 centimeter di atas rata-rata orang Indonesia. Ia juga seorang peniaga yang ulet. Macam-macam usahanya. Berdagang kopra adalah salah satunya.

Singkat kisahnya, setelah dikumpulkan kemudian disunggi. Itu proses melepaskan sabut dari buah kelapa. Toposunggi atau orang yang menyunggi kelapa menancapkan buah kelapa pada alat sunggi semacam tombak besar lalu menggerakan dari atas ke bawah. Itu dilakukan sampai seluruh sabut tercerabut dari batok kelapa. 

Proses kedua sebelum batok kelapa disusun di Potapa adalah membelah buah kelapa menjadi dua bagian. Nah inilah saat-saat menggemberikan, mengasyikan dan penuh kenangan itu. Kami, para anak-anak akan berebutan tombong kelapa yang enak itu. Ada yang mendapat tombong besar tapi paling enak bila mendapat yang kecil. Tombong besar cenderung berair dan dagingnya sudah seperti karet busa sedang yang kecil masih padat dan lebih manis. 

Selanjutnya adalah menonton kelapa yang masih dengan batoknya tadi disusun di Potapa. Di bawah Potapa sabut sudah dinyalakan untuk mengasapi kelapa sampai menjadi kopra. Berkubik-kubik sabut ditambah dengan batok kelapa kering menjadi bahan bakarnya. Luas potapa tergantung kebutuhan. Biasanya proses pengasapan berlangsung seharian atau semalaman atau sampai kelapa mengering menjadi kopra. Selanjutnya adalah mencungkil kelapa yang sudah menjadi kopra tadi dari batoknya. Kemudian dikarungkan dan ditimbang.

Kala itu harga Kopra sungguh menjanjikan. Era 1980-an hingga 1990-an adalah era keemasan bagi petani kelapa dan pedagang kopra. Sebanyak 100 kilogram kopra lebih  dari Rp1 jutaan rupiah. Pernah pula pada 2000-an harga kopra membaik sampai Rp12 ribu per kilogram. Namun sekarang tinggal sekitar Rp3 ribuan. Bahkan ada yang lebih rendah dari itu.

Wangi aroma kopra tak lagi menggoda. Sekarang batang kelapa dijual hingga ke Jepang untuk kebutuhan furnitur. 

Sulawesi Tengah, utamanya Parigi Moutong, Poso, Tojo Unauna, Banggai dan Donggala dikenal sebagai daerah penghasil kopra. Sayang, kemudian komoditas ini kalah dari Sawit. Padahal dalam sejumlah penelitian lanjutan, minyak goreng dari kelapa tidak kalah sehat dari minyak nabati lainnya. ***