Pada 1906, 11 lelaki dan 7 wanita Bali berlabuh di dermaga Pelabuhan Parigi. Mereka berasal dari Pulau , Kepulauan Maluku. Di Pulau Banda ada tempat pengasingan selama kurun waktu 1896-1898. Di antaranya ada orang buangan politik karena menentang penjajahan .

Mereka berasal dari Singaraja, Ibu Kota Kerajaan Buleleng yang dikuasai Belanda sejak 1848. Para pelanggar hukum adat menyusul kemudian bergabung sebagai orang buangan di Banda.

Orang-orang Bali itu kemudian ditempatkan di wilayah yang kini kita kenal sebagai Kelurahan Mertasari, Kecamatan Parigi, kurang lebih 1 kilometer arah selatan Pelabuhan Parigi yang sohor sejak zaman Portugis. Saat itu Mertasari masihlah lahan kosong yang luas. Penduduk Suku Kaili Tara setempat menamainya Tana Boa.

Orang Bali di Parigi mulai mengenalkan padi sawah dengan irigasi yang kemudian menggunakan tradisi Subak seperti di Bali. Masyarakat setempat yang lebih banyak menanam padi ladang mulai mengikuti cara Orang Bali bersawah.

Di masa kedatangan itu hingga 1970-an, Orang Bali terkosentrasi di wilayah-wilayah terdekat Parigi hingga Maleali lalu kemudian menyebar ke Utara pada 1974.

Kehidupan awal Orang Bali di wilayah Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah diketahui melalui sebuah foto bertarikh 1937. Foto ini menjadi salah satu koleksi digital dari Perpustakaan Universitas Leiden.

Perpustakaan Universitas ini merupakan bagian dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde KITLV – Royal Institute for the Linguistics, Geography and Ethnology. Lembaga resmi milik Kerajaan Belanda ini mengfokuskan kajiannya pada Asia Tenggara dan Karibia.

Foto ini diambil oleh Anton Abraham Cense (25 september 1901 – 8 december 1977) dalam perjalanan melintasi Sulawesi Tengah hingga ke Toraja, Sulawesi Selatan. Cense adalah seorang pejabat tinggi Belanda saat itu.

Dari catatan Muriel Charras, 1997 dalam Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata perpindahan Orang Bali ke wilayah Parigi Moutong diperkirakan makin massif pada 1969–63 tahun setelah kedatangan pertama orang Bali di Parigi.

Perpindahan itu, salah satunya dipicu kabar tentang keberhasilan para transmigran asal Bali yang sudah berada di Sulawesi Tengah. Dari RRI dan media cetak yang sudah terbit di massa itu, keberhasilan Orang Bali di Sulawesi dikabarkan bahkan mengalahkan daerah-daerah transmigran lain di Indonesia seperti Sumatra dan Kalimantan yang lebih dulu menerima transmigran.

Dilaporkan salah satu daerah yang sangat menarik perhatian kala itu adalah Balinggi, di Parigi Moutong yang berada di wilayah selatan Parigi Moutong. Olehnya, tak perlu heran bila bertandang ke wilayah itu kita bisa melihat rumah-rumah berarsiktektur Bali, bangunan-bangunan Pura yang megah dengan ornamen Bali dan sanggah atau merajan penuh sesaji di depan rumah, di sisi-sisi jalan, di antara simpang jalan, pasar, sawah dan kebun. Pada saat memasuki daerah ini kita menangkap kesan awal terlihat seperti berada di Pulau Bali.

Selain karena itu, perpindahan ini juga pernah terjadi karena pemindahan paksa ke Batavia sebagai budak di masa Kolonial Belanda, pengasingan politik, pembuangan karena melanggar hukum adat terutama dalam hal perkawinan antar kasta dan korban bencana alam meletusnya Gunung Agung pada 1963.

Sebelumnya pada 28 Februari 1962, sebanyak 52 kepala keluarga atau 243 jiwa orang Bali didatangkan ke Desa Nambaru, Kecamatan Parigi Selatan dalam program transmigrasi umum yang pertama kali di Sulawesi Tengah.

Kemudian pada 1967, Pemerintahan Orde Baru menempatkan transmigran asal Bali di Desa Astina, Kecamatan Parigi Torue.

Nah, dimulai dari 18 orang-orang Bali pertama yang tiba di Parigi Moutong, kini mereka telah tersebar dari perbatasan Molosipat di arah Utara dan Maleali di arah Selatan.

Konsep hidup Orang Bali yang dituntut harus menyesuaikan diri dengan tempat, waktu dan keadaan – Desa, Kala, dan Patra – membuat mereka dapat hidup membaur dan berdampingan rukun dengan masyarakat setempat. ***