Panggilannya Sandy. Nama lengkapnya Mohammad Husandy. Baru menginjak 15 tahun usianya. Ia masih duduk di bangku Kelas Dua Sekolah Menengah Pertama Alkhairaat. Masih sangat belia. Tapi ia sudah paham jalani hidup. Untuk makan orang harus bekerja. Jadilah ia penambal ban sepeda motor.

Kali pertama, ia belajar pada ayahnya. Mulai membantu ayahnya sejak usia 8 tahun. Saat itu, ia masih Kelas Dua Sekolah Dasar. Sekarang ia sudah mahir. Tak perlu bantuan ayahnya.

Ayahnya sekarang memilih menetap di Topoyo, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Menjaga kebun keluarga. Sedang Sandy ditemani ibunya. Sandy anak satu-satunya di keluarga ini.

Bila anak-anak lain memanfaatkan waktu bermain usai jam sekolah, Sandy memilih menjaga bengkelnya. Bengkelnya berdiri di depan rumahnya di jalan masuk Perumahan Kelapa Gading, Kalukubula, Sigi.

Bila ia mengaku mulai belajar menambal ban sejak 8 tahun, artinya sudah tujuh tahun ia menggeluti usahanya.

“Dulu saya lihat-lihat, bapak saya. Saya belajarlah bagaimana membuka ban motor dan menambalnya. Pertama kali susah, sekarang tidak lagi,” kata dia pada Minggu, 5 Juli 2020 petang.

Sandy adalah bagian dari anak-anak yang harus bekerja menghidupi dirinya sendiri dan keluarga. Meski beban macam itu belumlah menjadi tanggung jawab mereka.

Saya beruntung bertemu dia. Mendengar kisahhya seperti membaca buku baru tentang kehidupan. Dia pun sudah mempraktikan strategi pemasaran yang jitu. Saat saya ingin menambal sepeda motor saya yang bocor, ia menawarkan ban dalam yang baru. Saya menerimanya. Apalagi memang, ban dalam sepeda motor saya itu sudah aus.

Ia pun ramah. Garis wajahnya penuh percaya diri. Senyumnya selalu tersungging saat diajak bicara. Untuk harga ban dalam dan jasanya memasang, saya membayarnya Rp45 ribu. Ia cekatan.

Usai memasang ban, saya mengajaknya bercakap-cakap. Tentang keseharian dan keluarganya. Sebelumnya, saya sudah mengenalkan diri sebagai wartawan.

Adzan magrib yang lamat-lamat dibawa angin menyudahi perbincangan kami. Saya pun mengambil sepeda motor saya, menyalakannya lalu mengangkat jempol untuknya. Ia tersenyum, meski saya tak menyebutkan apa maksud jempolan saya untuknya. Sempat terlintas di pikiran saya, seperti kesamaan namanya, semoga ia bernasib seperti Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha kesohor itu. ***