Saat saya ke Papua, Ramadhan 2013 silam, saya bertemu dengan dua orang Papua yang bangga bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh Pak Harto.
Kata dia, di zaman Pak Harto orang Papua diberi beasiswa oleh Pemerintah Pusat untuk bisa sekolah di Jakarta dan Jawa.
Saat Pak Harto turun, beasiswa mereka putus dan mereka kembali ke Papua. Mereka kembali hidup di distrik-distrik di pedalaman Papua. Ada yg sempat selesai pulang menjadi guru. Yang tdk selesai ya kembali berkebun atau menganggur.
Pendekatan Pak Harto luar biasa. Ia memanusiakan orang Papua. Meski ada pula yang tak puas. Sebab timpangnya pembangunan. Kekayaan alam Papua dikeruk tapi tak serta merta itu membuat Orang Papua sejahtera. Ini bukan cuma kesalahan Pemerintah Pusat tapi juga pihak Asing yang menguasai pengerukan kekayaan alam Papua seperti Freeport, meski Pemerintah berusaha melakukan divestasi yang tak jelas ujungnya di mana.
Terus terang saya sempat berpikir bahwa Papua sengaja dibiarkan terbelakang agar mereka “bisa dibodohi” oleh orang-orang yg lebih pintar dari mereka. Tapi entahlah.
Yang jelas Papua itu begitu indah. Papua itu seperti sepotong tanah surga yang diturunkan Tuhan di bumi.
Saat itu saya menjelajahi Jayapura, Abepura dan Sentani. Naik ke Angkasa, up town Jayapura.
Lalu saya ke Wamena, Saya tinggal beberapa hari di Lembah Baliem, di pedalaman Pegunungan Tengah, Kabupaten Jayawijaya, tepatnya di Distrik Walesi.
Saya meminjam rumah dinas Guru di Pesantren Alistiqamah. Itu rumah Ustadz Anwar Pattawari. Dia berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Ia mengajar anak-anak Suku Dani yang sudah memeluk Islam. Mereka mengikuti jejak mendiang Merasugun Asso, Kepala Suku Dani yang masuk Islam sekira 1970-an.
Saya sempat bertemu Abu Hanifah Asso, putra mendiang Kepala Suku yang lantunan bacaan Alqurannya sungguh merdu. Kami selalu shalat berjamaah di Masjid Alaqsa di dalam kompleks Pesantren itu.
Jadi sebenarnya, orang Papua sudah lama jadi saudara kita. Rambut boleh keriting seperti Aborigin, kulit boleh hitam seperti orang Afrika, tapi Papua adalah Indonesia. Papua adalah kita. Atau biarkan Papua menentukan hak hidup mereka sendiri.*