Pada kuartal kedua 2019 lalu, saya mendapat fellow dari Temasek Foundation dalam program Asia Journalist Fellowship. Program ini menginang di Institute of Policy Studies. Institut ini adalah bagian dari Lee Kuan Yew School of Public Policy. Sedang LKYSPP adalah lembaga pendidikan kesohor milik National University of Singapore.
Selama tiga bulan saya belajar di salah satu perguruan tinggi terbaik kedua di Asia itu. Selama ini pula, saya menjelajahi sudut demi sudut kota yang juga dikenal sebagai Red Little Dot ini.
Saya tak mampu menyembunyikan kekaguman saya pada kemajuan negara kota ini. Pada kali pertama kunjungan saya di pengujung 2007, Kota ini tak ubahnya seperti Jakarta, ibukota negara kita.
Kota ini betapa kecil. Tiada gunung yang tinggi, tanpa pantai alami seperti kita, tanpa danau yang luas membiru, tanpa sungai besar yang deras membela kota dan tanpa ruang yang cukup untuk membangun, tapi berhasil menarik 18,5 juta pengunjung pada 2018. Orang Singapura sendiri dikejutkan oleh jumlah itu dan terus meningkat hingga kini.
Bahkan kota dengan luas wilayah 722.5 kilometer per segi dengan jumlah populasi 5,638,700 orang ini tak punya sumber daya mineral apapun, tapi punya pendapatan per kapita $65,627.
Itu statistik sebelum Coronavirus Disease 2019 nyaris melumpuhkan “Negera Melayu” yang kini menjadi “Negara Internasional” itu. Dan itu kemungkinan besar akan kembali bangkit setelah momok Covid-19 ini usai.
Tapi saya tak hendak bicara bagaimana kemajuan mereka dan bagaimana mereka bangkit kembali. Saya cuma ingin menuliskan catatan bahwa apa yang dicapai Singapura hari ini bisa pula kita tiru.
Mari kita simak catatan saya ini. Pulau Sulawesi dengan penduduk 18,455,058 orang dan mendiami lahan seluas 180,680.7 meter per segi mestinya harus lebih besar daripada itu pendapatan per kapitanya. Kita pun mesti bisa menarik pengunjung berkali lipat untuk datang mengagumi keelokan wilayah kita.
Provinsi Sulawesi Selatan yang paling maju menurut statistik membukukan pendapatan per kapita pada 2017 sebesar Rp43,68 juta. Sedang kita di Sulawesi Tengah sebesar Rp45,25 juta per tahun 2018.
Kita punya segalanya. Punya laut dengan panoramanya yang indah memukau untuk menjadi unggulan destinasi wisata. Juga laut yang kaya dengan ikan-ikan bernilai tinggi. Kita punya danau luas membentang membiru. Punya sungai panjang berliku. Punya hutan dengan beragam flora dan fauna yang mempesona dan mencengangkan. Punya bahan tambang yang berlimpah di perut buminya.
Kita bisa. Pasti bisa. Membangun Sulawesi yang lebih maju dan kaya. Atau bila kita tak mau berpikir terlalu besar, kita berpikir membangun Sulawesi Tengah.
Pasca Gubernur Longki Djanggola yang telah meletakan dasar-dasar kuat bagi pembangunan Sulawesi Tengah, kita butuh pemimpin yang mampu berpikir dan bekerja melampaui harapan orang banyak. Progresif dan visioner. Melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Gubernur Longki.
Sebagai jurnalis yang kerap disebut dekat dengan Gubernur Longki, saya melihat sosoknya sebagai birokrat yang pro investasi namun tak pernah melupakan aspek hukum, sosial kemasyarakatan dan lingkungan hidup. Kita akan sulit menemukan birokrat yang berpikir taktis dan strategik seperti itu.
Saya ingat ketika ia mendukung investasi PT Citra Palu Minerals, anak perusahaan Bumi Resource di Poboya, sejak awal ia memberi amaran; Masyarakat setempat jangan diabaikan. Perusahaan harus memberi kemanfaatan kepada masyarakat dan lingkungannya.
Lalu ketika banyak izin usaha pertambangan tumpang tindih dan tak memberi kemanfaatan bagi masyarakat setempat, ia pun mengambil tindakan tegas; Mencabut izin perusahaan-perusahaan tambang itu.
Tidak lama lagi Pemilihan Gubernur Sulteng akan dihelat. Sejumlah orang sudah ancang-ancang. Masyarakat pun sudah mulai mematut-matut; Kemana pilihan akan dijatuhkan.
Yang jelas, saya bersepakat pada Gubernur Longki. Dua pekan lalu, usai Shalat Jumat, di akhir pertemuannya dengan tetamu, saya bertanya soal figur Gubernur yang akan didukungnya.
Dia bilang; “Saya mau Gubernur Sulawesi Tengah mendatang berusia lebih muda dari saya. Sebagai wilayah yang nantinya akan menjadi salah satu daerah penyanggah Ibukota Baru RI, kita butuh pemimpin muda yang energik, tangguh dan dapat memahami perubahan masa,”
“Tentunya ia harus memiliki kemampuan leadership yang mumpuni. Ia juga harus paham tata kelola administrasi pemerintahan dan pembangunan,” imbuh tokoh yang pada 11 November mendatang akan berusia 68 tahun itu.
Siapa sosok yang diingini Longki? Saya kira semua orang mahfum adanya. ***