Masa kanak-kanak adalah masa penuh kenangan. Pukul 07.00 – 12.00 dari Senin – Sabtu, waktu di mana kita berkumpul di kelas dan tanah lapang sekolah. Penuh canda tawa. Riang gembira adanya. Mungkin juga ringisan, sebab hukuman memalukan. Berdiri dengan satu kaki di depan kelas. Itu biasanya sampai satu mata pelajaran selesai.

Pukul 12.00 – 14.00 kembali ke rumah. Makan, lalu tidur siang. Pukul 14.00 setelahnya mencari cara untuk bisa keluar rumah. Ke sungai. Mandi-mandi sepuasnya. Mencari buah kelapa kering yang jatuh. Melempari buah mangga ranum di kebun orang sekampung. Lalu mungkin dikejar pemiliknya. Kemudian pulang rumah dengan mata yang kemerahan karena lama berendam di sungai.

Tentu saja diomeli ibu. Tapi setelahnya kita diberi sepiring pisang goreng dan secangkir teh panas. Loh kok bisa?! Iya. Bisa. Kemarahannya hanya sekejap. Kecintaannya sepanjang hayat. Almarhumah ibu saya, Fauziah Ismail penuh kecintaan kepada anak-anaknya. Kami berempat. Saya tertua dengan tiga adik perempuan.

Nah, soal pisang goreng ‘tai kambing’ itu ada kisahnya sendiri. Enaknya bukan main. Resep pisang goreng ibu saya itu unik. Pisang sepatu yang sudah kelewat matang dicacah, dilaburi tepung beras. Lalu ditambah dengan sebutir telur dan juga bawang putih yang dicacah. Bila adonan tepungnya masih menggumpal, bolehlah ditambah air.

Api untuk menggoreng tak boleh terlalu tinggi. Apinya diatur kecil sampai sedang. Agar semua matang merata. Bila sudah menguning emas barulah diangkat.

Mengapa sampai dinamai tai kambing? Itu karena pisang matang yang dicacah tadi terlihat seperti butiran tai kambing ketika sudah dicampur adonan. Tapi tentu saja, rasanya tak seperti tai kambing – yang mungkin -pahit itu.

Ini bisalah jadi salah satu penganan wajib hadir di meja kita. Mengawali pagi atau mengantar senja pulang dengan pisang goreng ‘tai kambing’ berteman secangkir teh panas tentu akan istimewa. ***