Yogyakarta, 19 Desember 1961, matahari pagi baru naik sepenggalah, tapi Alun-alun Yogyakarta telah sesak dengan tumpah ruahnya masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, anggota militer, polisi dan para pejabat. Di atas podium di tengah Alun-alun, Si Bung – sapaan khas Presiden Pertama RI Soekarno – berpidato menyala-nyala.   

Didengar ribuan pasang telinga dan dilihat ribuan pasang mata, Si Bung berpidato menyerukan untuk mengibarkan di wilayah Irian Barat – sekarang . Ia mendeklarasikan apa yang dinamakannya – Tiga Komando Rakyat. 

Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang (1999:322) menggambarkan situasi ketika Bung Karno berpidato pada 19 Desember 1961 itu dengan kalimat, “Rapat raksasa ini dikunjungi ratusan ribu rakyat dari daerah Yogyakarta dan luar daerah Yogyakarta, sehingga Alun-Alun Utara di Yogyakarta menjadi lautan manusia.” 

Pagi hari itu Si Bung menyampaikan tujuan Trikora untuk menggagalkan pembentukan negara boneka oleh belanda di Papua Barat. Ia juga menegaskan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di Irian Barat serta digelar mobilisasi umum untuk mengambil kembali Irian Barat dari kuasa Belanda. 

Tanpa tedeng aling-aling, ia menyerukan; 1. Gagalkan pembentukan negara Papua, 2. Kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat, dan 3. Bersiap untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Mengutip Tirto.id, 2021, masalah Papua Barat ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda. 

Usai KMB, masih terdapat satu persoalan penting yang belum disepakati, yakni mengenai status Papua Barat. Baik Indonesia maupun Belanda merasa lebih berkuasa atas wilayah di bagian timur Kepulauan Nusantara itu. Lantaran tidak dicapai titik temu, saat itu diputuskan bahwa masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam waktu setahun ke depan. Namun, hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi. 

Belanda ternyata ingin menjadikan Papua Barat sebagai negara boneka. Terungkap kemudian pada Februari 1961, Belanda mulai membentuk parlemen. Lalu, pada 19 Oktober 1961, dibentuk Komite Nasional Papua. Kekuatan militer Papua juga turut dibangun. 

Departemen Penerangan RI merilis buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang di dalamnya terdapat bukti bahwa Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960. 

Melihat hal ini, Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia tidak tinggal diam. Pada 6 Maret 1961, dibentuk Korps Tentara Kora-1. Sebagai panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto. Nama kesatuan ini beberapa kali mengalami perubahan, dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) hingga menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). 

Pada 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan). Menurut buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1979), tiga hari setelah itu dilaksanakan sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. 

Barulah pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengutarakan maksud Trikora melalui pidatonya yang diserukan di Yogyakarta. Setelahnya, ia kemudian membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto – kelak Presiden ke-2 RI -diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk merebut Irian Barat dari pendudukan Belanda.

Berdasar mandat itu, Soeharto kemudian menjalankan sejumlah strategi. Operasi pertama adalah infiltrasi sampai akhir 1962 dengan memasukkan 10 kompi di ke sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.

Tahap kedua Operasi ini dimulai awal 1963 dengan memulai eksploitasi berupa serangan-serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.

Kemudian tahap konsolidasi pada awal 1964 dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.

Salah satu catatan historis yang fenomenal dalam Operasi Mandala adalah Pertempuran Laut Aru pada 15 Januari 1962. Saat itu, KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli di Laut Aru. Pada malam hari sekitar pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan tiga kapal itu, terdapat dua kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, di mana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika tiga KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut.

Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, tetapi tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, tetapi kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan. Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, “Kobarkan semangat pertempuran”.

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.

Amerika Serikat memberi saran agar Indonesia mengedepankan jalan diplomasi untuk mengambil-alih Papua Barat dari Belanda. Amerika Serikat bersedia menjadi “penengah” dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. 

Atas desakan ini, Indonesia dan Belanda bertemu kembali di satu meja pada 15 Agustus 1962. Delegasi RI dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah. 

Richard Cauvel dalam Constructing Papuan Nationalism (2005:30) menuliskan inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963.

Selama proses pengalihan, wilayah Papua Barat akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA. 

Hingga akhirnya, 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Berikutnya, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB. Sejak saat itu Merah Putih berkibar di Papua hingga hari ini. ***