Pulau Sulawesi dilambangkan sebagai laba-laba yang berbaring di air dengan juntaian semenanjungnya yang dianggap seperti kakinya. Bentuk Pulau ini terkadang juga diperanggapkan sebagai pria tanpa kepala, yang lengannya adalah semenanjung utara dan timur laut, sedangkan kakinya dibentuk oleh kedua semenanjung selatan. Sedangkan bagian tengah Pulau Sulawesi terdiri dari sejumlah pegunungan yang sejajar satu sama lain yang disebut Pegunungan Verbeek. Begitulah Albertus Christiaan Kruyt dan Nicolaas Adriani menggambarkan Pulau Sulawesi dalam De Bare'e-sprekende Torajas van Midden Celebes, Volume I yang terbit di Batavia pada 1912.
Dan kita bisa menyebut Sulawesi Tengah yang dulu disebut Midden Celebes atau Central Celebes, sebagai jantungnya Sulawesi. Pulau yang biasa pula kita lihat seperti huruf ‘K' ini, pun telah menarik hati para peneliti asing sejak masa lampau. Sebutlah di antaranya, Kruyt dan Adriani dari Belanda dan Walter Kaudern dari Swedia.
Sulawesi Tengah adalah provinsi terbesar di Sulawesi. Luas daratannya saja mencapai 61,841 kilo meter persegi dan wilayah laut 189,480 kilometer persegi. Terletak dibagian barat Kepulauan Maluku dan bagian selatan Filipina. Secara administratif terbagi dalam 12 kabupaten dan 1 kota yakni Kabupaten Donggala, Sigi, Parigi Moutong, Poso, Tojo Unauna, Morowali, Morowali Utara, Banggai, Banggai Kepulauan, Banggai Laut, Tolitoli, Buol, dan Kota Palu.
Kota Palu dipilih sebagai Ibu Kota Provinsi di jantung Sulawesi ini. Pada 2 Oktober 1957, saat Bung Karno, Presiden RI Pertama berkunjung, ia menyebutkan; “Dari atas udara Kota Palu berkilau bak mutiara”. Dari situlah muncul ungkapan Mutiara di Khatulistiwa.
Pada Juni 2021, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah penduduknya sebanyak 3,03 juta jiwa.
Karena letaknya yang strategis, pelabuhan–pelabuhannya menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Portugis dan Spanyol lebih dari 500 tahun yang lampau. Pada Januari 1580, pengeliling dunia Sir Francis Drake dengan kapalnya The Golden Hind pernah singgah di salah satu pulau kecil di pantai timur provinsi ini selama sebulan. Meskipun tidak ada catatan sejarah, bukti persinggahan pelaut-pelaut Portugal dan Spanyol, namun di negeri ini masih dapat dilihat peninggalan mereka seperti pada bentuk pakaian, begitupun pada jenis senjata yang digunakan masyarakatnya.
Setelah dikuasai oleh Belanda pada 1905, Sulawesi Tengah dibagi menjadi beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan raja-raja yang memiliki kewenagan penuh. Pemerintahan Belanda membagi wilayah ini menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat yang dikenal dengan Kabupaten Donggala dan Buol Tolitoli yang berada dibawah kekuasaan gubernur yang berkedudukan di Makasar, Sulawesi Selatan.
Di bagian tengah yang membujur di kawasan timur laut yakni sebagian Donggala dan bagian selatan Poso berada di bawah pengawasan Residen yang berkedudukan di Manado, Sulawesi utara. Sedang bagian timur Sulawesi Tengah terdiri atas Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan berada di bawah kendali Buton, Sulawesi Tenggara.
Pada tahun 1919, raja-raja yang masih berkuasa di bawah pemerintahan Belanda menanda-tangani suatu perjanjian yang disebut Korte Verklaring atau plakat pendek. Perjanjian ini menjadikan seluruh daerah Sulawesi Tengah berada di bawah kekuasaan Residen Sulawesi Utara.
Setelah Perang Dunia II, Provinsi Sulawesi Tengah dibagi menjadi beberapa bagian dan sub-bagian. Barulah pada tanggal 13 April 1964, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki pemerintahaan sendiri. Tanggal 13 April diperingati sebagai lahirnya Provinsi ini.
Sulawesi Tengah didiami lebih dari 12 suku, yakni, Etnis Kaili di Kabupaten Donggala, Kota Palu, dan sebagian di Kabupaten Parigi Moutong, Etnis Kulawi di Kabupaten Donggala, Etnis Lore di Kabupaten Poso, Etnis Pamona di Kabupaten Poso, Etnis Mori di Kabupaten Morowali, Etnis Bungku di Kabupaten Morowali, Etnis Saluan di Kabupaten Banggai, Etnis Balantak di Kabupaten Banggai, Etnis Banggai di Kabupaten Banggai, Etnis Buol di Kabupaten Buol dan Etnis Toli toli di Kabupaten Toli toli.
Terdapat beberapa suku yang hidup di daerah pegunungan, antara lain Suku Da'a di Kabupaten Sigi dan Donggala, Suku Wana di Kabupaten Morowali, Suku Sea-Sea di Kabupaten Banggai dan Suku Daya di Kabupaten Buol dan Toli toli.
Selain penduduk asli ada pula etnis lain dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Bugis dan Makassar yang sejak lama menetap dan membaur dengan masyarakat setempat.
Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar beragama Islam dengan persentase 78,94 persen, agama Kristen 16,28 persen, pemeluk agama Hindu 3,63 persen, dan Budha 0,14 persen, serta aliran kepercayaan sebanyak 0,11 persen.
Penyebar agama Islam di Sulawesi Tengah adalah Abdullah Raqile yang lebih dikenal dengan Dato Karamah, seorang Ulama dari Sumatra Barat. Sementara, Kristen pertama kali disebarkan oleh Albertus Christiaan Kruyt dan Nicolaas Adriani, dua teolog dan etnograf dari Belanda di wilayah Kabupaten Poso dan bagian selatan Kabupaten Donggala. Adapun agama Hindu dibawa para transmigran asal Bali dan agama Budha dibawa oleh para pedagang Tionghoa.
Daerah ini kaya akan budaya yang diwariskan secara turun menurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dipraktikan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Karena banyaknya kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasannnya. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti terlihat dalam dekorasi upacara perkawinan. Sementara, Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu.
Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi oleh Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja.
Didiami oleh beragam suku, dilaporkan kerap terjadi perang antarsuku terjadi di wilayah Sulawesi Tengah pada masa lampau. Namun, posisi wilayahnya yang berada di tengah Kepulauan Nusantara membuatnya lebih terbuka dan mudah menerima apapun dan sesiapapun. Pengaruh baik dan buruknya peradaban maupun faham dari luar, termasuk radikalisme, dan terorisme juga ikut masuk. Interaksi antara pemukim dan pendatang terjadi lebih intens dan massif, mengingat wilayah ini adalah area transit dengan beragam kepentingan, mulai dari sosial dan ekonomi, hingga ideologi dan politik.
Amuk sosial di Poso yang terjadi pada kurun waktu 1998 – 2000 setidaknya memperlihatkan hal itu. Apalagi bukan kebetulan, wilayah ini berada tepat di jantung Sulawesi Tengah. Dalam berbagai diskursus disebutkan bahwa hal ini terkait kesenjangan sosial dan ekonomi serta kepentingan politik. Poso, kabupaten tertua di Sulawesi Tengah ini, diamuk kerusuhan masif dan melibatkan empati komunal, bukan hanya dari orang di Sulawesi Tengah, namun dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan luar negeri.
Sejak 1998 hingga 2001 amuk sosial terjadi di Poso. Kemudian bertumbuh menjadi radikalisme dan terorisme sampai di pengujung 2022.
Kini Mutiara di Khatulistiwa ini terus berbenah. Tiada lagi waktu untuk saling bertikai. ***