Bagi Suku Dani, suku asli di pegunungan tengah Papua, tradisi bakar batu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka. Dalam tradisi asalnya, daging yang dimasak dengan bakar batu adalah daging babi. Namun karena saat ini, separuh anak-anak suku telah memeluk agama Islam, dagingnya diganti dengan daging ayam. Seperti apa tradisi bakar batu, warga muslim Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem, Distrik Walesi, Wamena, Jayawijaya, Papua ini? Saya beruntung sebab pada 24 Juli 2013 silam, di saat Ramadhan saya berkesempatan mengikuti prosesi bakar batu ini. Saya membagikan kembali kisahnya pada Anda semua.

Untuk mempersiapkan acara bakar batu ini, tentu saja, pasar tradisional setempat menjadi tujuan pertama para mama, sebutan ibu bagi warga setempat.Sayur-mayur berupa pakis, kangkung, sawi daun, juga umbidan daun pihere banyak tersedia di sana. Pihere adalah sebutan warga pegunungan tengah Papua untuk ketela rambat.

Pihere adalah makanan pokok warga setempat. Biasanya, juga ditambah dengan umbi keladi.

Saat semua uba rampe tradisi ini sudah dirasa cukup, proses awal bakar batu pun dimulai. Sebelum semua bahan-bahan makanan itu dibakar di atas batu, terlebih dahulu batu-batu cadas sebesar sekepal atau dua kepal orang dewasa dibakar hingga menjadi sangat panas dan membara.

Dalam tradisi awal warga pegunungan tengah Papua. Biasanya yang dibakar adalah daging babi namun karena mereka kini sudah memeluk agama Islam maka diganti dengan daging ayam. Nantinya, uap dari batu-batu yang sangat panas dan membara lalu disungkup daun ilalang inilah yang membuat sayur mayor, umbi-umbian dan daging ayam menjadi matang.

Seperti tradisi masyarakat suku lainnya di Indonesia, tradisi bakar batu ini dilakukan secara gotong royong. Para lelaki dan perempuan terlibat aktif di dalamnya. Namun para perempuanlah yang terlibat penuh hingga berakhirnya acara bakar batu ini. Lelaki mendapat peran menyiapkan kayu bakar dan perempuan yang mengawal proses tradisi ini hingga akhir.
Setelah dirasa batu sudah mulai membara, para mama sudah mulai mengambil dan menaruh batu-batu panas itu di atas tumpukan ilalang dan rerumputan lainnya. Lalu menutupnya lagi selapis demi selapis. Di antara lapisan itulah beragam sayur-mayur dan umbi-umbian diletakan, sampai menjadi matang.

Sesekali, tumpukan batu panas, rerumputan dan sayur mayur itu disiram air agar merangsang uap panas untuk membuat bahan-bahan makanan tadi tanak. Setelah itu, batu panas kembali diletakan dan ditimbun dengan ilalang dan rerumputan lain. Nah, ditumpukan paling ataslah daging ayam diletakan. Lalu kemudian ditutupi ilalang lagi dan tindih dengan batu panas.

Yang menarik, selama menunggu sayur mayur, umbi-umbian tanak dan daging ayamnya matang, para mama biasanya menganyam noken, kantong serba guna, khas warga pegunungan tengah Papua.

Menurut Abu Hanifah Asso, anak lelaki dari kepala suku Tahuluk Asso yang selama ini berperan mewakili bapaknya memimpin acara-acara tradisi seperti ini, meski sudah memeluk agama Islam, tradisi asli mereka tak mungkin ditinggalkan.

“Warga Suku Dani, khususnya yang bermukim di Walesi terkenal akan jiwa sosialnya yang tinggi, tradisi semacam ini memelihara jiwa sosial itu, dan juga memelihara tradisi ini sendiri. Meski kami sudah Islam, tradisi ini tetap kami lanjutkan, yang kami lakukan adalah menyesuaikan diri dengan beberapa hal terkait hukum halal haram dalam Islam,” ujar Abu Hanifah.

Jadi menurutnya, ini adalah memelihara tradisi tapi tetap menjaga akidah. Dan bagi Abu Hanifah, itu adalah harga mati ketika mereka sudah memeluk Islam. Dan warga lainnya, sungguh menghormati keyakinan mereka itu.

Nah, setelah empat sampai lima jam kemudian, saat dirasakan bahan-bahan makanan tadi sudah tanak dan matang, tumpukan ini pun dibongkar, selapis demi selapis. Dann…makanan yang pasti enak ini tinggal menunggu disantap saat waktu berbuka puasa tiba. ***