Selama menjadi Bupati Parigi Moutong dua periode, lalu Gubernur Sulawesi Tengah dua periode, Longki Djanggola dikenal aktif berkunjung ke 12 kabupaten di Sulawesi Tengah. Kota Palu tentu tak lagi masuk hitungan, sebab ia pemukim asli.

Selama menjadi pejabat lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, ia selalu pula mendampingi Gubernur turun ke daerah. Ia menjadi pejabat sejak Gubernur Azis Lamadjido, HB Paliudju hingga Aminuddin Ponulele.

Kala dia menjadi Gubernur, tentu lebih intens lagi. Apalagi saat kampanye periode pertama ia mencalonkan diri menjadi Gubernur, nyaris semua daerah ia kunjungi.

Jejak langkahnya membekas di wilayah seluas lebih dari 61 ribu kilometer persegi ini.

Ketika saya mengikutinya dalam sejumlah perjalanan, saya selalu mencatat kebiasaannya menyinggahi mushalah atau masjid bila tiba waktunya shalat. Dari 4.715 mushalah, masjid besar maupun masjid kecil di 12 kabupaten dan 1 kota di Sulawesi Tengah, saya menaksir separuh atau lebih sudah disinggahinya.

Kebiasaan saya menumpang mobil patroli Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang menjadi pembuka iringan rombongan Longki membuat saya hapal pada hal itu.

“Waktu shalat Magrib, mobil patwal menepi cari masjid terdekat. Kita shalat di situ,” suara di perangkat radio komunikasi.

Suara itu milik ajudan. Sebagai Gubernur, ia punya tiga orang ajudan aktif yang bertugas bergiliran.

Sejumlah ajudan setia mendampinginya selama itu. Mereka adalah Asrafil, anggota Satuan Polisi Pamong Praja, Haris Basemu, anggota Kepolisian RI dan Fahmi Djanggola, aparatur sipil negara luaran Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri.

Sebelumnya ada Noldy Sualang, anggota Satuan Brigade Mobil Polda Sulteng. Ada pula Isman Tantu, ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulteng.

Mereka hafal benar kebiasaan Longki saat dalam perjalanan. Menyinggahi masjid-masjid besar maupun kecil juga mushalah sudah menjadi tradisi. Jadi, ia selalu berusaha untuk tak pernah melewatkan shalat lima waktunya.

“Kita jamak ya. Karena sedang dalam perjalanan dan belum tentu di depan kita ada masjid di saat waktu shalat tiba,” ujar Longki.

Lalu siapa yang menjadi Imamnya? Bila di antara jamaah tak ada Ustadz atau pemuka agama, maka Longki-lah yang memimpin shalat.

Langkah dari masjid ke masjid inilah yang mungkin membuat Longki terpilih dua periode sebagai Bupati dan Gubernur.

Dalam perjalanannya menyinggahi masjid itulah kerap ia mendengarkan curahan hati atau sumbang saran dari masyarakat atas banyak hal. Giliran akhir dari dialog tak resmi itu adalah permintaan sumbangan pembangunan atau rehabilitasi masjid yang biasanya langsung ditalanginya.

Bila kecil jumlahnya, ia akan menggunakan uang pribadinya dan bila besar, ia menyarankan pengurus masjid untuk membuat proposal yang ditujukkan pada dirinya. Maka dengan begitu persoalan-persoalan di masyarakat dapat diselesaikan dengan jalan mudah dan cepat.

Teladan itu, saya kira sesuatu yang harus ditiru. Oleh sesiapapun. ***