Kahar Muzakkar muncul sebagai sosok karismatik, seorang eks tentara yang kecewa dengan kebijakan pusat yang dianggap tidak adil bagi wilayah-wilayah luar Jawa. Ia lalu mengibarkan panji Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), memperjuangkan pembentukan negara Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Prolog
Pada 1950-an, Indonesia masih bergolak dalam upaya mengukuhkan kemerdekaan. Di Sulawesi Selatan, suara ketidakpuasan muncul di antara kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan dalam pembangunan nasional yang baru dirintis. Di antara mereka, Kahar Muzakkar muncul sebagai sosok karismatik, seorang eks tentara yang kecewa dengan kebijakan pusat yang dianggap tidak adil bagi wilayah-wilayah luar Jawa. Berangkat dari ketidakpuasan ini, ia mengibarkan panji Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), memperjuangkan pembentukan negara Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Kahar dan pasukannya memilih jalur gerilya, berlindung di hutan-hutan Sulawesi Selatan, khususnya di sekitar Luwu, Palopo, dan pegunungan Sulawesi Tengah. Selama lebih dari satu dekade, mereka menjalankan operasi militer melawan pasukan yang dikirim oleh pemerintah pusat. Perlawanan ini berlangsung sengit, dengan serangan demi serangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, mengoyak kedamaian di tanah Bugis dan mengorbankan ribuan nyawa.
Namun, pada akhirnya, di bawah tekanan kuat militer Indonesia, kekuatan Kahar Muzakkar mulai melemah. Perburuan terhadapnya berlangsung selama bertahun-tahun hingga pada 3 Februari 1965, di tengah belantara yang sunyi, pasukan pemerintah akhirnya berhasil mengepung dan menembak mati Kahar Muzakkar. Tubuhnya jatuh terkulai di atas tanah yang selama ini menjadi saksi perjuangannya, menutup babak berdarah dari pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Berlatar catatan sejarah itu, tersebutlah Muhammad Hafidz dan Ahmad Al Ghifary, dua ustadz yang saban waktu berdakwah di sebuah surau kampung di tepian markas Laskar DI/TII. Mereka bukanlah anggota laskar, tapi mereka merasakan semangat yang sama. Kisah ini hanyalah fiksi belaka hanya saja berlatar sejarah. Inilah fragmen biasa yang dituturkan sebagai pengingat sejarah, bukan untuk menerbitkan luka hati.
Di tanah Luwu yang permai, di antara gunung-gunung yang gagah berdiri dan sungai-sungai jernih yang seakan berkelindan menganyam seluruh harapan, berkumandang kisah yang tak kunjung terjawab. Kisah tentang mereka yang pernah berjuang, tetapi lenyap tanpa jejak. Di bawah rembulan pucat yang redup sinarnya, bayang-bayang para pemberani dari laskar DI/TII Kahar Muzakar bergerak lirih, menyatu dengan kehampaan yang melingkupi, sementara riak-riak air sungai seolah menyanyikan elegi bagi mereka yang tak pulang.
Adalah Ustaz Muhammad Hafidz dan Ahmad Al Ghifary, dua pemuda yang telah menyematkan cita dan harap bagi negeri yang mereka cintai. Keduanya bukanlah anggota laskar bersenjata, namun, dari balik mimbar kecil, mereka menyuarakan gagasan yang menyulut semangat banyak orang. Mereka hanya hendak membawa cahaya pemahaman yang lebih luas tentang keadilan dan kebebasan. Namun, pada masa itu, bahkan kata-kata yang sederhana pun dapat dianggap bara yang mengancam ketenangan pemerintah.
Fragmen 1: Saat Badai Menghampiri
Suatu malam yang pekat, ketika hujan baru saja reda, Hafidz duduk di pelataran masjid, menatap jauh ke langit, seakan ingin menangkap isyarat dari bintang gemintang. Di sebelahnya, Al Ghifary berdiri diam, mencemaskan tanda-tanda alam yang tak pernah berhenti datang.
“Hafidz,” suara Al Ghifary terdengar berbisik dalam kesunyian, “apakah kita melakukan dosa dengan berani bicara tentang ketidakadilan ini? Barangkali ini bukan masanya…”
Hafidz tersenyum samar, menghela napas panjang yang terasa seperti rintihan jiwa yang lelah.
“Dosa tak mungkin jika yang kita perjuangkan adalah kebenaran, Ghifary. Tanah ini telah lama kita serahkan pada tangan yang asing dari kita. Mereka tahu tanah ini kaya, namun apa yang mereka beri kembali selain janji yang tak pernah sampai?”
“Namun, kita hanyalah debu di tengah lautan mereka, Hafidz. Apa daya kita untuk mengubah?”
“Aku tak ingin mengubah. Aku hanya ingin suaraku terdengar. Supaya kelak anak cucu kita tahu, bahwa dulu di sini pernah ada dua manusia yang tak ingin tunduk dalam diam. Biarlah sejarah yang mengadili.”
Belum sempat dialog mereka mencapai ujungnya, tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap langkah yang teratur, suara kecipak terdengar dari tapak sepatu tentara yang menyentuh tanah becek. Belum sempat mereka saling mengingatkan, sejumlah prajurit berseragam telah mengurung mereka, wajah mereka tak tampak ramah.
“Ustaz Muhammad Hafidz dan Ahmad Al Ghifary?” salah seorang prajurit menyapa dengan nada rendah, tak ada salam, hanya isyarat perintah.
Hafidz mengangguk, meskipun hatinya bergetar. “Benar. Kami. Ada apa kiranya?”
“Kalian berdua diminta ikut. Ada beberapa hal yang hendak ditanyakan.” Suara itu terasa memerintah tanpa ada ruang untuk menolak.
Tanpa banyak tanya, Hafidz dan Al Ghifary dibawa. Sepanjang jalan, mereka tak berbicara, masing-masing tenggelam dalam kegelisahan yang tak terucapkan. Namun, di dalam hati mereka terbesit, ini mungkin akhir dari perjuangan mereka. Namun, bila ini jalannya, mereka tak hendak mundur. Keduanya tetap menjaga wajah yang teduh, menghindari tatapan curiga yang penuh kebencian dari para prajurit.
Fragmen 2: Menanti dalam Kehampaan
Sementara itu, Halimah, istri Hafidz, dan Zahra, istri Al Ghifary, melewati hari demi hari dengan rasa cemas yang terus menggerogoti hati. Hingga suatu malam, ketika Halimah tertidur lelap dalam tangisnya, sebuah mimpi datang, membawa pesan yang sukar dijelaskan.
Dalam mimpi itu, Hafidz berdiri di tepi sungai yang sunyi. Ia tampak tenang, mengenakan jubah putih yang berkilau lembut di bawah cahaya rembulan.
“Halimah,” katanya lembut, “lepaskan aku. Jangan lagi kau cari.”
Air mata Halimah mengalir, bahkan dalam mimpi itu ia merasa sedih yang sangat dalam. “Bagaimana mungkin aku bisa ikhlas, Hafidz? Aku tak tahu di mana engkau, aku tak tahu bagaimana kepergianmu.”
Hafidz menggelengkan kepala, senyumnya tetap teduh. “Doa yang kau kirimkan setiap malam cukup bagi kami. Kami telah pergi ke tempat yang lebih damai. Ingatlah, cinta itu tak perlu pusara untuk abadi.”
Pagi itu, Halimah terbangun dengan dada yang masih berat, namun dalam hati ia menyadari, ia harus mengikhlaskan suaminya. Zahra pun mendapat mimpi yang serupa beberapa hari kemudian; Ghifary, dengan mata yang teduh, berpesan serupa, agar ia merelakan apa yang telah hilang.
Fragmen 3: Antara Doa dan Ketabahan
Beberapa waktu setelah itu, Zahra dan Halimah berbicara dalam hening di teras rumah, dengan tangan yang saling menggenggam, menguatkan di tengah ketiadaan kepastian.
“Aku bermimpi, Zahra, ia datang padaku,” kata Halimah dengan suara bergetar. “Ia meminta agar aku tak mencarinya lagi.”
Zahra mengangguk, wajahnya diliputi air mata yang terus-menerus ia hapus. “Begitu juga aku, Halimah. Apakah ini cara mereka berpamitan? Tanpa kata, tanpa raga, hanya bayang-bayang yang mengisi kekosongan kita?”
“Barangkali ini ujian bagi kita, Zahra. Cinta yang tak butuh tempat untuk tetap hidup.”
Fragmen 4: Cahaya yang Redup dalam Penantian
Hari-hari terus berlalu seperti arus sungai yang mengalir tanpa henti. Halimah dan Zahra, meski telah mendapat pesan lewat mimpi, tetap menyimpan secercah harap, berandai bahwa suatu hari kelak Hafidz dan Al Ghifary akan kembali dengan senyum dan tangan terbuka. Mereka terus menanti di rumah yang sunyi, membesarkan anak-anak dengan cinta yang bercampur luka yang belum terselesaikan.
Setiap senja, Zahra duduk di teras sambil menatap jalur setapak yang membelah hutan, berharap akan ada sosok yang muncul dari kejauhan. Anaknya, seorang bocah kecil bernama Syarif, sering bertanya dengan wajah polos, “Ibu, kapan ayah pulang?”
Zahra hanya tersenyum pahit, mengelus kepala Syarif, “Ayah sedang dalam perjalanan jauh, sayang. Kita berdoa saja, semoga ia selamat dan sehat di mana pun ia berada.”
Senja demi senja, doa mereka terus membumbung ke langit, menyatu dengan angin yang berhembus membawa aroma hutan dan kenangan tentang Hafidz dan Al Ghifary. Hingga akhirnya, setelah sekian lama, kerinduan berubah menjadi ketabahan, dan mereka mulai merelakan dengan perlahan.
Namun, tak hanya Halimah dan Zahra yang merasakan kehilangan, penduduk desa pun merasa ada kekosongan. Ketiadaan Hafidz dan Al Ghifary menyisakan sunyi di setiap pengajian dan diskusi-diskusi yang dulu kerap dipenuhi tawa, kecerdasan, serta semangat dari kedua pemuda itu. Meski demikian, nama mereka mulai bergema sebagai legenda, menjadi bagian dari sejarah di hati mereka yang mengenang.
Fragmen 5: Kenangan yang Tetap Hidup
Suatu ketika, seorang penduduk desa yang tua, Pak Idrus, bertemu dengan Halimah di tepi sungai. Mata lelaki tua itu menyiratkan kesedihan dan rindu yang tak kunjung pudar.
“Halimah,” Pak Idrus memulai dengan suara bergetar, “kau tahu bahwa Hafidz dan Al Ghifary adalah cahaya bagi desa ini. Kita semua merasakan ketiadaan mereka.”
Halimah mengangguk, menundukkan wajahnya yang dipenuhi rasa rindu. “Mereka adalah bintang yang tak pernah lelah menerangi,” jawabnya perlahan.
Pak Idrus memandangi Halimah dengan tatapan yang lembut, penuh kasih seorang bapak kepada anaknya. “Halimah, meski mereka tak lagi di sisi kita, ajaran dan perjuangan mereka tetap hidup dalam diri kita semua. Mereka mengajarkan bahwa kata-kata dan pemikiran yang benar akan tetap hidup meski raga telah hilang.”
Halimah tersenyum samar, menguatkan hatinya, “Maka biarlah setiap doa yang kulantunkan menjadi jembatan antara kami yang tinggal dan mereka yang telah pergi.”
Di hari-hari berikutnya, Halimah dan Zahra mulai menerima kenyataan bahwa cinta sejati tak perlu disertai dengan kehadiran fisik. Mereka menemukan kebahagiaan dalam mendidik anak-anak, mengajari mereka segala kebaikan yang pernah dicontohkan oleh ayah mereka, Hafidz dan Al Ghifary. Bagi mereka, kedua suami mereka tak pernah benar-benar hilang; mereka hadir dalam setiap doa, dalam setiap ajaran, dan dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Fragmen 6: Pesan untuk Generasi Selanjutnya
Bertahun-tahun berlalu, anak-anak Hafidz dan Al Ghifary tumbuh menjadi pemuda dan pemudi yang bijaksana. Mereka sering kali duduk bersama Halimah dan Zahra, mendengar cerita-cerita tentang keberanian, tentang prinsip, dan tentang pengorbanan yang dilakukan ayah mereka. Setiap kisah itu, meskipun sering diselingi air mata, selalu berakhir dengan senyum penuh bangga.
Suatu malam, saat bulan penuh menggantung di langit, Zahra memanggil anak-anaknya dan anak-anak Halimah untuk berkumpul di sekitar api unggun di halaman. Di tengah gelap yang hanya diterangi sinar bulan, Zahra berkata dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
“Anak-anak, ayah kalian mungkin tak pernah pulang, tapi itu bukan berarti mereka pergi meninggalkan kita tanpa sebab. Mereka memberi kita lebih dari yang bisa kalian bayangkan. Mereka memberikan kita cerita, nilai-nilai, dan semangat untuk berbuat baik, bahkan di tengah ketidakpastian.”
Syarif, yang kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan bijak, bertanya dengan mata berkaca-kaca, “Ibu, apakah ayah pernah menyesal pergi meninggalkan kita?”
Zahra tersenyum lembut, memegang tangan Syarif, “Tidak, nak. Ayahmu percaya pada jalan yang ia pilih, dan ia tahu bahwa kebenaran adalah lebih dari sekadar perbuatan. Itu adalah keyakinan, dan keyakinan itu sekarang kita warisi.”
Fragmen 7: Abadi dalam Kenangan
Halimah dan Zahra tak pernah menemukan pusara Hafidz dan Al Ghifary, tak pernah tahu di mana mereka disemayamkan, atau bagaimana akhir hidup mereka. Namun mereka yakin, cinta dan pengorbanan dua sosok itu tak akan pernah sia-sia. Setiap kali malam datang dan bintang-bintang mulai bertaburan di langit Luwu, mereka merasa bahwa kedua suami mereka mengawasi dengan senyum penuh damai.
Di desa itu, nama Hafidz dan Al Ghifary terus hidup, menjadi legenda tentang keberanian, tentang cinta tanpa syarat, dan tentang perjuangan untuk kebenaran. Hingga kini, cerita mereka diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu desa, mengajarkan bahwa meskipun kehidupan terkadang kejam, namun keteguhan hati akan selalu memenangkan kehormatan, dan cinta sejati tak pernah mengenal batas waktu.
Di dalam hati orang-orang yang mengenang, Hafidz dan Al Ghifary hidup selamanya, tak pernah pergi, hanya berdiam di sudut yang tak terlihat, menyertai mereka dalam setiap langkah.
Epilog
Tahun-tahun terus berlari seperti air sungai yang tak henti mengalir. Desa di tepi Luwu itu perlahan berubah, tetapi bayang Hafidz dan Al Ghifary tetap hadir dalam setiap cerita yang didongengkan saat malam, setiap doa yang dilantunkan oleh Halimah dan Zahra, dan setiap pesan yang mereka sampaikan pada anak-cucu.
Anak-anak Halimah dan Zahra kini telah tumbuh dewasa. Mereka meniti jalan yang berliku, membawa warisan ajaran dan pengorbanan ayah mereka. Di setiap langkahnya, mereka tetap mengenang dua sosok yang bagi mereka adalah pahlawan, meski tak berpakaian kebesaran atau memegang senjata. Bagi mereka, Hafidz dan Al Ghifary adalah dua pemuda berjiwa besar yang berani memperjuangkan kebenaran di zaman yang sulit.
Suatu ketika, Zahra dan Halimah duduk di beranda, memandang ke arah langit yang berselimut bintang. Angin malam berhembus lembut, membawa suara alam yang seakan turut menemani mereka dalam kesendirian yang telah menjadi teman lama.
“Kau tahu, Zahra,” Halimah memulai, “setiap kali aku menutup mata, aku masih melihat senyumnya. Rasanya Hafidz tak pernah benar-benar meninggalkanku. Bahkan ketika aku terbangun, aku merasa ia masih ada, memberiku kekuatan untuk menjalani hari.”
Zahra tersenyum, menggenggam tangan Halimah erat. “Aku merasakan hal yang sama, Halimah. Meski Ghifary tak lagi di sini, namun cintanya tetap hidup. Seperti yang ia katakan dulu, cinta sejati tak pernah memerlukan pusara untuk abadi. Itu selalu hadir, dalam hati kita.”
Dua perempuan itu tersenyum di tengah malam, merasakan kehangatan yang muncul dari kenangan yang tersimpan. Dalam diam, mereka sepakat bahwa cinta dan pengorbanan yang tulus tak akan pernah sirna. Cinta keduanya tanpa pusara. Tak pernah pupus. Tak pernah mati. ***