Pada zaman dahulu kala, di daerah yang sekarang dikenal sebagai Bacukiki di , Sulawesi Selatan hiduplah seorang raja yang bijaksana bersama rakyatnya yang hidup damai dan sejahtera. Wilayah ini dikenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah serta keindahan alamnya yang memukau karena letaknya di dataran tinggi. Raja yang sangat dicintai rakyatnya itu disapa oleh masyarakat setempat sebagai Puang Mattaya.

Suatu hari, seorang pengembara asing tiba di kerajaan tersebut. Pengembara ini dikenal dengan nama Lantara. Ia adalah seorang pria tanpan namun misterius yang memiliki ilmu gaib dan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mempelajari adat dan tradisi lokal. Ia mendengar tentang kekayaan dan keindahan Bacukiki dan memutuskan untuk mengunjunginya.

Saat tiba di Bacukiki, Lantara tertarik dengan sebuah batu besar yang berada di tengah hutan. Batu tersebut terlihat biasa saja, tetapi saat malam tiba, batu itu mengeluarkan suara kikik yang menyerupai tawa kecil. Penduduk setempat percaya bahwa batu itu dihuni oleh roh penunggu yang baik hati dan selalu menjaga mereka dari bahaya.

Lantara, dengan rasa penasarannya yang tinggi, memutuskan untuk mendekati batu itu dan mencoba berkomunikasi dengan roh penunggu. Ia melakukan berbagai ritual dan membaca berbagai mantra untuk memanggil roh tersebut. Setelah beberapa saat, roh penunggu batu muncul dan menampakkan diri sebagai seorang wanita cantik jelita. Ia mengenalkan diri sebagai Dewi Wulung.

Sang Dewi menjelaskan bahwa batu itu merupakan simbol perlindungan bagi penduduk setempat. Setiap kali ada bahaya yang mendekat, suara kikik dari batu itu akan terdengar sebagai peringatan bagi mereka. Itu adalah tanda dirinya agar penduduk setempat bisa bersiap diri. Ia sangat menghargai ketulusan hati penduduk setempat yang selalu merawat dan menjaga alam sekitar termasuk menjaga tempat berdiamnya.

Dewi Wulung berkata, bila ada orang-orang yang hendak mengusik kedamaian di Bacukiki, ia akan menakuti mereka dengan berbagai cara. Kerap pula ia mendatangkan kabut hitam yang menghalangi pandangan mereka, sampai kemudian mereka meninggalkan wilayah itu.

Lantara, yang terpesona oleh kecantikan dan kekuatan Dewi Wulung, meminta izin untuk tinggal lebih lama di Bacukiki dan mempelajari lebih lanjut tentang adat dan kepercayaan setempat. Sang Dewi pun mengizinkannya dengan syarat bahwa Lantara harus berjanji untuk tidak merusak atau mengganggu kedamaian alam di Bacukiki. Sang Pengembara itu diminta pula untuk meminta izin kepada Puang Mattaya, penguasa Bacukiki.

Lantara menyetujui syarat tersebut dan selama tinggal di Bacukiki, ia banyak belajar tentang nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, dan penghormatan terhadap alam. Ia menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada ilmu gaib yang dimilikinya, tetapi juga pada hubungan harmonis antara manusia dan alam.

“Saya akan menjaga kepercayaan Dewi dan akan meminta izin pula pada Puang Mattaya,” katanya yakin.

Dari Dewi Wulung, Lantara mendapat cerita bahwa dulunya Sang Dewi masih tinggal di kayangan. Ia turun ke bumi karena melihat alam yang indah dirusak oleh manusia-manusia serakah. Ia tak mau melihat hutan dan alam yang indah di Bacukiki makin rusak karena banyaknya pencari logam mulia dan pemburu hewan liar.

“Ananda boleh turun ke bumi, tapi tak bisa hidup seperti manusia biasa. Ananda bisa hidup di dalam batu agar tetap terhubung dengan kami di kayangan,” begitu pesan ayahnya Dewa Batari Langi' padanya saat berpamitan.

Dewi Wulung pun menyanggupi. Sejak turun ke bumi dipilihnya batu di tengah ladang penduduk untuk berdiam. Hanya ruhnya yang bisa berkelana kian kemari mengawasi orang-orang serakah yang menebang pohon dan menggali gunung untuk mencari logam mulia.

Syahdan, setelah Dewi Wulung berdiam di Bacukiki, penduduk setempat Kembali bisa berladang dan bertani dengan damai. Tidak lagi kuatir pada orang-orang yang datang merusak hutan dan menggali gunung-gunung mereka. Bacukiki menjadi permukiman yang Makmur dan sejahtera. Masyarakatnya pun hidup damai berdampingan.

Lalu, setelah berpuluh purnama, Lantara meninggalkan Bacukiki dengan hati yang penuh rasa syukur dan ilmu yang dalam tentang kehidupan. Ia berjanji akan menyebarkan kebaikan dan kebijaksanaan yang diperolehnya dari Bacukiki ke tempat lain yang ia kunjungi. Ia banyak diberi petuah oleh Dewi Wulung dan Puang Mattaya untuk tak pernah bosan menebarkan kebaikan. Puang Mattaya memberinya banyak bekal uang perak untuk kebutuhannya sepanjang perjalanan.

Demikianlah Batu Berkikik di Bacukiki. Ia menjadi simbol penting bagi masyarakat Parepare. Batu itu mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan selalu hidup dalam harmoni. Hingga kini, Bacukiki atau batu berkikik itu masih dapat kita lihat bila kita berkunjung ke wilayah Kelurahan Wattang Bacukiki di arah barat Kota Parepare. ***

Disklaim: Kisah ini adalah mitos belaka. Dituliskan kembali untuk menjadi bacaan yang menghibur. Adapun mengenai nama wilayah dan keberadaan batu berkikik benar adanya. Kisah ini diolah dengan AI/Kecerdasan Buatan Chat GPT-4o. Sementara gambar ilustrasi diolah pula dengan AI/Kecerdasan Buatan.