Ini kisah tentang Aslima di Huntara Talise. Kisah tentang penyintas yang sudah empat tahun ini hidup dengan segala keterbatasan. Makan seadanya. Uang pun tak punya. Mereka hanya berharap dari bantuan sosial yang disediakan pemerintah.
Hari ini, 28 September, empat tahun lalu, gempa bumi berkekuatan magnitudo 7.4 mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah. Gempa itu diikuti dengan tsunami dan likuefaksi. Sebanyak 4.500 jiwa menjadi korban tiga rangkaian bencana geologis yang terjadi bersamaan itu. Hari ini pula, setelah empat tahun, ratusan penyintas masih bertahan di hunian sementara. Para alumni gempa bumi magnitudo 7.4 itu tersebar di sejumlah huntara di Kota Palu.
Salah satu maskot kota, Patung Kuda Putih di bibir laut Teluk Palu menjadi menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami pasca gempa bumi magnitudo 7.4 itu.
Pada 28 september 2018, ratusan orang yang tengah yang menjadi partisipan Festival Palu Nomoni menjadi korban. Sehari itu adalah sehari penuh ketidakpastian. Semua jaringan listrik black off. Saluran komunikasi pun terputus.
Jenazah-jenazah masih terhampar di bibir laut Teluk Palu. Ada yang dalam keadaan telanjang. Sedangkan yang terluka segera dievakuasi. Tindakan awal malam ini, selain keluarga, Satuan Brimobda Sulteng di bawah pimpinan AKBP Guruh Arif Darmawan memimpin proses evakuasi warga yang terluka.
Pagi hari, 29 September 2018 tindakan evakuasi awal dilakukan oleh kelompok masyarakat. Aparat juga mengevakuasi sejumlah anggota kepolisian yang menjadi korban amuk tsunami itu.
Pada 28 september 2022, hari ini, Kota Palu mulai berbenah. Tapi sisa-sisa amuk gempa bumi, tsunami dan likuefaksi itu masih terlihat.
Ratusan Penyintas Bertahan di Huntara
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Kota Palu tidak kurang 700 kepala keluarga masih bertahan di huntara di Kelurahan Petobo, Talise dan Kayumalue.
Adapun penyintas lainnya, saat ini, sudah menetap di hunian tetap Gawalise, Balaroa dan Tondo serta Pombewe.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, BPBD Palu, Muhammad Bambang Sabarsyah menyatakan kendala belum bermukimnya para penyintas bencana di hunian tetap lantaran mekanisme peminjaman anggaran dari World Bank yang terbilang rumit. Ditambah lagi persoalan lahan dan regulasi. Bahkan adapula permintaan para penyintas untuk dimukimkan kembali di atas lahan mereka.
Meski demikian, sebagian besar penyintas masih berharap dapat tinggal di huntap yang lebih nyaman.
Aslima, salah seorang penyintas yang sudah empat tahun menetap di huntara Talise berharap agar tak lama lagi, ia dan keluarganya bisa mendapat huntap.
”Sudah empat tahun saya tinggal di sini. Saya dulu dari Komodo. Dulu tidak susah sekali dirasa. Tapi di sini putus-putus kerja. Biasanya jual garam, tapi seadanya saja yang didapat. Kami harap pemerintah bisa kasih kami huntap,” ujar perempuan beruasi 50 tahun ini.
Ia juga mengisahkan, selama empat tahun ini ia bertahan hidup apa adanya. Apa saja bisa dimakan sekadar menyambung hidup.
“Ada daun pepaya, itu saja kita rebus. Kita makan dengan rica. Makan dengan dabu-dabu. Saya juga bakebun. Tanam rica untuk makan,” aku dia.
Dua Tahun di Huntap
Sementara itu, Tarsiatun, warga Balaroa mengaku sudah mendapatkan huntap dua tahun lalu.
”Saya bisa dapat duluan dua tahun lalu, karena suami saya warga asli di sini. Dan kami orang Balaroa, tidak mau dipindahkan ke tempat lain. Makanya cepat dapat huntap di sini,” jelas perempuan asal Yogyakarta yang sudah 27 tahun ini menetap di Palu.
Seperti diketahui, sejauh ini, Kementerian PUPR telah membangun lebih dari 1.679 huntap. Sebanyak 4.089 unit lagi masih akan dibangun agar seluruh penyintas mendapat hunian yang layak.
Pada bulan november 2022 ini, sebanyak 599 unit huntap akan dimulakan pembangunannya di Talise. ***