Seorang transgender Malaysia telah menerima ancaman pembunuhan setelah dilaporkan mengumumkan dalam sebuah video bahwa dia bermaksud untuk murtad atau meninggalkan Islam, seperti dilaporkan South China Morning Post (SCMP) dan Free Malaysia Today (FMT).

Transgender berama Nur Sajat itu mengatakan selama siaran langsung di Instagram bahwa dia ingin keluar dari Islam karena dia menjadi para anti-transgender meskipun tak melakukan kesalahan apapun. Saat ini Sajay diyakini sedang bersembunyi.

Baik SCMP dan The Star melaporkan bahwa dia tak hadir dalam sidang di Pengadilan Tinggi Syariah pada Februari lalu, dengan tuduhan menghina Islam dengan berdandan sebagai wanita sejak 2018.

Sebanyak 122 petugas sejak itu telah dikerahkan oleh otoritas agama di Selangor untuk melacak dan menangkap Sajat, menurut The Malay Mail.

Tindakan tersebut disebut oleh Justice for Sisters , sebuah kelompok hak transgender, sebagai hal ekstrim.

Organisasi tersebut mengatakan:“Kami heran dengan anggaran dan sumber daya manusia yang dialokasikan untuk operasi pencarian dan penangkapan terhadap Sajat. Semua tindakan JAIS (Departemen Agama Islam Selangor) ini ekstrim dan menunjukkan terlalu bersemangatnya mereka dalam menangkap dan menahan Sajat dengan segala cara karena hanya mengekspresikan dirinya dan identitas gendernya.”

Mantan menteri Urusan Islam negara itu, Mujahid Yusof Rawa, menyerukan kepada masyarakat untuk tidak bereaksi berlebihan, tetapi meyakinkan dia untuk tidak pindah agama.

Dia berkata, “Siapakah kita untuk menghakiminya? Daripada menghukumnya, kita harus terus membujuknya dengan baik untuk tidak pindah agama. Itu adalah reaksi yang tepat.”

Sejumlah organisasi nonpemerintah di Malaysia mengecam aksi perburuan Sajat itu. Sebuah pernyataan dari Sisters in Islam menyerukan agar ancaman pembunuhan terhadap Sajat ditanggapi serius oleh pihak berwenang, serta pemimpin komunitas dan agama.

Organisasi itu juga mengutip Pasal 506 KUHP Malaysia yang mengkriminalisasi ancaman pembunuhan dan menambahkan bahwa itu “memilukan” ketika para pemimpin agama dan pihak berwenang memilih untuk tetap diam atas masalah semacam itu.

Sementara itu, Thilaga Sulathireh, yang merupakan pendiri Justice for Sisters, menyebut reaksi publik itu: “Ekstrim”.

Sulathireh seperti dikutip oleh FMT menjelaskan: “Tindakan ekstrim mereka dilegitimasi oleh interpretasi patriarki agama dan hukum yang mengkriminalisasi orang berdasarkan identitas gender, keyakinan agama, kebebasan berekspresi dan semacamnya.”

Dia menambahkan bahwa ada kekhawatiran seruan untuk kekerasan dan ancaman kematian dapat dikeluarkan dengan “impunitas tingkat tinggi” di negara itu dan bahwa situasi Sajat tidak boleh dianggap enteng. ***