Buaya berkalung ban di Palu, Sulawesi Tengah kian viral, tak cuma di seantero Indonesia, tapi dunia. Sejak 2016 ia menampakan diri ke khalayak bak artis yang tengah disorot liputan televisi hiburan.
Berikut ini fakta-fakta penting seputar buaya yang di jajaran Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah hingga Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebut sebagai B3. Itu akronim dari Buaya Berkalung Ban.
1. Buaya berkalung ban adalah jenis buaya muara. Nama ilmiahnya: Crocodylus porosus. Dinamai demikian karena buaya ini hidup di sungai-sungai dan di dekat laut. Buaya ini juga dikenal dengan nama buaya air asin, buaya laut, dan nama-nama lokal lainnya. Kecepatannya berenang mencapai 24 – 29 km/jam.
2. Buaya muara ini kali pertama muncul di Sungai Palu pada Agustus 2016. Warga melihatnya di sekitar aliran Sungai Palu di bawah Jembatan I, Jalan Gajah Mada, di bawah Jembatan II, di Jalan I Gusti Ngurah Rai, di bawah Jembatan III, di Jalan Raja Moili dan Jembatan IV di Jalan Cumicumi, Teluk Palu. Kemunculannya pertama kali langsung menjadi tontonan warga. Kerap juga memacetkan kendaraan yang melintas jembatan.
3. Sepanjang 2017, sejumlah upaya penyelamatan dilakukan. Mulai dari melibatkan masyarakat hingga pecinta reptil lokal hingga mancanegara, upaya penyelamatannya tak membuahkan hasil.
4. Pada Januari 2018, Panji Petualang yang disponsori Jawa Post dan didampingi paranormal Ki Kusumo berupaya menyelamatkan buaya ini, sayang, upaya itu gagal lagi.
5. Setelah sempat menghilang pasca gempabumi dan tsunami Palu, 28 September 2018, buaya viral ini muncul lagi pada 1 Mei 2019. Kali ini terperangkap di pukat nelayan bernama Kisman, di Desa Loli Tasiburi, Kecamatan Banawa, Donggala. Tapi karena kuatir merusak pukat miliknya, ia melepas buaya itu.
6. Pada 1 Februari 2020, Badan Konservasi Sumber Daya Alam, BKSDA, Provinsi Sulawesi Tengah menggelar sayembara menyelamatkan buaya ini. Tapi baru dua tiga hari diumumkan, sayembara itu ditutup.
7. BKSDA Sulteng dan Direktorat Konservasi Keanekaragam Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutana RI Membentuk Satuan Tugas Konflik Buaya unntuk menyelamatkan buaya berkalung ban. Satgas dibentuk pada Senin, 3 Februari 2020.
8. Satgas Konflik Buaya mulai bekerja pada Kamis, 6 Februari 2020. Satgas ini beranggotakan 16 petugas dari BKSDA Sulteng, 2 petugas dari BKSDA Nusa Tenggara Timur, 2 petugas di KKH, Kemen LKH dan didukung 10 personil Polairud Polda Sulteng.
9. Satgas menggunakan jaring menghalangi pergerakan buaya. Jaring dibentangkan dari sisi timur ke sisi barat Sungai Palu. Para penangkap buaya menggunakan harpun, tombak berkait dengan tambahan tali untuk menangkap buaya. Buaya akan ditombak dengan harpun lalu dibiarkan lelah selama kait harpun melekat di badan buaya. Lalu setelah lelah digiring ke daratan agar bannya mudah dilepaskan. Setelah itu dirawat di BKSDA lalu dilepasliarkan kembali.
10. Terkait ban sepeda motor matic yang melilit leher buaya, ada dua versi yang beredar. Pertama, buaya itu memang sengaja dikalungi ban oleh seorang penangkar buaya berkebangsaan Jepang di Desa Maku, Dolo, Kabupaten Sigi. Buaya peliharaannya terlepas saat banjir Sungai Palu merusak kolam penangkarannnya. Sedang versi dari BKSDA sendiri, ban itu ditaruh di leher buaya oleh seorang nelayan di Loli yang menangkap buaya ini saat masih kecil karena terjaring di pukat ikan miliknya. Ia sengaja ingin memelihara itu, namun terlepas.
Demikian fakta-fakta penting buaya berkalung ban yang viral itu. ***