Masker medis adalah artefak yang tidak biasa. Ia punya sejarah sendiri.
Sepanjang sejarah dan di seluruh dunia, sebagian besar topeng telah berfungsi untuk menyamarkan, menyelubungi atau mengubah identitas, baik dalam situasi khusus ritual dan teater, kelanjutan kejahatan atau pelindung wanita. Masker medis, sebaliknya, dimaksudkan berfungsi untuk kebaikan.
Dikutip dari bloomberg.com, ini adalah sejarah singkat evolusi masker.
Eropa abad ke-17
Kala itu para dokter yang menangani wabah memperkenalkan kostum yang mencakup penutup kepala dengan paruh panjang dan runcing persis paruh burung. Di paruhnya ditetesi aromatik atau parfum untuk menyamarkan bau tak sedap. Diyakini pula itu dapat memerangi penularan wabah yang dibawa oleh udara buruk. Contoh masker ini masih dapat dilihat di Museum Deutsches Historisches di Berlin.
Model lain kemudian diadopsi dalam industri fashion untuk para wanita. Mereka mengenakan penutup kepala berenda untuk menutupi sapuan debu. Ini juga dipengaruhi dengan ditemukannya mikroskop yang dapat melihat kuman dari debu di udara.
Dalam sebuah artikel bertahun 1878 yang dicetak di Lembaran Rumah Sakit dan di Scientific American, AJ Jessup, seorang dokter di Westtown, New York, merekomendasikan masker kapas untuk membatasi penularan selama epidemi kolera di masa itu. Filter kapas itu dikenakan menutup mulut dan hidung.
Awal abad ke-20
Meskipun studi pertama yang menganjurkan penggunaan masker selama operasi diterbitkan pada 1897, masker belum begitu populer seperti saat ini.
Pada 1905, dokter Chicago Alice Hamilton menerbitkan sebuah artikel di Journal of American Medical Association, melaporkan percobaan yang mengukur jumlah bakteri streptokokus yang dikeluarkan ketika pasien demam berdarah batuk atau menangis. Dia juga mengukur bakteri radang dari dokter dan perawat yang sehat ketika mereka berbicara atau batuk, membuatnya menyarankan masker selama operasi.
“Saya diberitahu oleh seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi kedokteran di Chicago,” tulisnya, “bahwa ia sering memperhatikan di klinik seorang ahli bedah tertentu bahwa, ketika cahaya dari arah tertentu, ia bisa melihat, dari tempat duduknya. di amfiteater, semprotan air liur terus menerus yang keluar dari mulut ahli bedah sementara ia berkhotbah ke kelas dan melakukan operasinya. Jelas, perlindungan mulut, untuk menangkap dan kesan tetesan dahak, harus menjadi tindakan pencegahan rutin untuk ahli bedah dan perawat bedah selama operasi. “
Pada 1910, epidemi wabah pneumonia menyerang Manchuria. Ditunjuklah oleh Pemerintah Tiongkok untuk memimpin upaya anti-wabah, seorang dokter kelahiran Li, Penang yang berpendidikan Cambridge, Wu Lien-Teh (Wu Liande). Ia berpendapat bahwa penyakit ini ditularkan melalui kontak udara. Untuk mencegah penyebarannya, ia mengembangkan masker untuk dikenakan oleh tenaga medis dan masyarakat umum.
Selama epidemi flu global 1918, tenaga medis secara rutin memakai masker untuk melindungi diri mereka sendiri, dan banyak kota mengharuskan pemakaiannya di tempat umum. Di Seattle, tempat trem mengharuskan semua pengendara memiliki masker. Palang Merah setempat mempekerjakan 120 pekerja untuk memproduksi 260.000 masker dalam tiga hari.
Pada 1920-an, masker adalah hal standar di ruang operasi. Selama abad berikutnya, peneliti medis terus bereksperimen dengan desain dan bahan.
Ditulis oleh Virginia Postrel, Kolumnis Opini Bloomberg, pada Januari 2010, sebulan sebelum kematiannya karena bunuh diri, perancang busana Alexander McQueen menunjukkan koleksi busana pria berjudul “An bailitheoir cnámh,” (pengumpul tulang di Gaelic) yang menampilkan topeng wajah dan balaclava. Di waktu berikutnya ini menjadi mode fashion umum.
Pada 2018, penyanyi Ariana Grande memasukkan masker wajah di jajaran merchandise yang mendukung album “Sweetener”-nya.
Bila Postrel menyebut ini sebagai artefak, maka dalam alam kebatinan Asia, saya melihat ini seperti azimat atau jimat.
Dulu di masa kecil saya, para sesepuh, tetua adat, ninik mamak, biasa membekali bayi yang baru lahir dan perempuan yang baru melahirkan serangkaian azimat. Ada yang dikalungkan di leher, ada pula yang dipakai sebagai gelang, bahkan ada yang dilingkarkan di pinggangkan. Isinya rajah berbahasa Arab atau Melayu yang ditulis di kain atau kertas yang diyakini sebagai penolak bala. Selain itu ada juga berupa kayu-kayuan atau dedaunan yang diletakan di atas talam di dekat kepala bayi atau ibunya.
Sekarang, jimat itu sudah bersalin rupa. Ia sudah menjadi sepotong kain berukuran persegi panjang, kubus atau lonjong dengan tali karet. Bahan dan coraknya pun beragam. Dari kain tak bermotif hingga batik. Masker namanya. Ini adalah jimat zaman milineal. Kala mantra sihir sudah berubah menjadi coding dan berujud aplikasi. Dan saya berpikir, jimat ini akan bertahan lama hingga beberapa tahun ke depan atau selamanya, meski kerap sesak nafas kita dibuatnya.
Kita akan terus memakainya sampai ‘Topeule, Pongko, Parakang, Leak atau Kuyang’ berujud wabah Covid-19 ini sirna. Seperti laku makhluk mitos itu yang terbang mengintai mangsa, Covid-19 pun airborne. Ia bak penerbang yang lihai di atas pesawatnya. Olehnya jangan lupa #pakaimasker dan #jagajarak. ***