Di antara rentang tahun 1990-an hingga 2010, warga di Maku, Dolo, Sigi, Sulawesi Tengah mengenal seorang lelaki paruh baya bernama Hong. Tak ada yang tahu nama lengkapnya. Mereka memanggilnya Mister Hong. Dia diketahui berasal dari Korea Selatan.

Di Maku yang jaraknya 17,9 kilometer dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Mr. Hong membeli lahan rumah dan pekarangannya seluas 3 hektare.

Di lahan itu, ia membangun rumah semi permanen dari beton dan papan. Pekarangannya penuh tanaman pepohonan dan bebungaan. Ada pula kelapa hybrida dan salak. Di samping kanan dan belakang bangunan rumahnya, ia membangun kolam ikan berkonstruksi beton. Ada pula berdinding dan beralas tanah.

Ia memelihara ikan nila di kolamnya. Ada pula Monyet Sulawesi (Macaca tonkeana) dan Elang Sulawesi (Nisaetus lanceolatus) dipelihara di pekarangannya. Yang menarik perhatian warga di Jalan Poros Palu – Kulawi itu, Mr. Hong memelihara ular dan buaya. Peliharaannya yang terakhir itu kerap jadi tontonan warga setempat.

Adalah Jamaluddin Marjun, warga setempat yang membantu Mr. Hong memelihara buaya itu. Kata lelaki berusia 47 tahun itu, ia memberi nama buaya peliharaan Mr. Hong sebagai Aco dan Ece.

“Kalo saya panggil namanya, kepala buaya-buaya itu terangkat. Mereka mengerti. Saya yang memberi mereka makan,” aku Jamaluddin pada jafarbuaisme.com beberapa waktu lalu.

Sayangnya, seekor buaya lari. Yang lari adalah Aco, sang buaya jantan. Sedang Ece, buaya betinanya ditinggal merana hingga mati. Aco hilang saat Mr. Hong masih ada. lalu pria Korea Selatan yang beristrikan perempuan dari Palolo bernama Edys itu meninggalkan Maku 12 tahun lalu.

Menurut penuturan Jamaluddin, Mr. Hong sempat bersitegang dengan pihak Kantor Imigrasi Palu. Kemungkinan besar karena Izin Tinggal Terbatasnya sudah berakhir masa aktifnya. Selama menetap di Maku, Edys memberi Mr. Hong tiga orang anak; Dua lelaki dan seorang perempuan. Namun ketika ia kembali ke Korea, istri dan tiga anaknya tidak turut serta.

“Sekarang istri dan anak-anak Mr. Hong itu ada di Palolo. Yang laki-laki tertua namanya Ferry, yang kedua perempuan saya lupa namanya, yang ketiga laki-laki Sanjin namanya,” kata Jamaluddin mengisahkan.

Jamaluddin menyebutkan, bila masih hidup, ia menaksir usia Mr. Hong saat ini sudah 72 tahun.

Lama dilupakan, kisah Orang Korea pemelihara buaya ini kembali diingat saat buaya berkalung ban muncul di aliran Sungai Palu pada 2016.

Orang lalu mengaitkanya dengan lelaki itu. Memang saat Aco hilang, Mr. Hong sempat berkunjung ke permukiman warga di seputaran Jalan Kancil, Palu Selatan. Ia memberi amaran agar warga mengawasi anaknya yang mandi di aliran Sungai Palu.

“Buaya saya terlepas,” kata Hong saat itu.

Nah, saat buaya berkalung ban muncul lalu viral, orang pun mengingatnya.

Tapi Jamaluddin menyanggahnya; “Buaya berkalung ban itu bukan milik Mr. Hong. Itu buaya lain.”

Versi lain soal buaya viral ini datang dari Haruna Hamma, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Pangi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah. Menurutnya buaya berkalung ban itu adalah buaya yang terperangkap jaring ikan nelayan di Desa Loli Tasiburi, Banawa, Donggala.

“Saat tertangkap buayanya masih kecil. Lalu mereka menaruh ban di lehernya sebagai tempat menambatkan tambang. Motifnya adalah ekonomi. Nelayan itu berharap ada yang datang menonton buayanya lalu ia dapat mengutip bea. Tapi kemudian buaya itu terlepas,” jelas Haruna yang juga Kepala Satuan Tugas Penyelamatan Satwa BKSDA Sulteng.

Sesuai amatan Andi Ma’ruf Saehana, staf BKSDA Sulteng, Sungai Palu memang habitat alami buaya muara (Crocodylus porosus). Dari Jembatan Kasubi di Kalukubula hingga Muara Sungai Palu yang berjarak sekitar 8 – 10 kilometer ada empat nesting ground atau tempat bertelur buaya. Sebelum bencana alam dahsyat meluluhlantakan Kota Palu pada 28 September 2018, populasi buaya masih tercatat sekitar 37 ekor. Sekarang yang terpantau cuma sekitar 13 ekor saja, termasuk buaya berkalung ban.

Karena ini habitat alami, tentu saja kehadiran buaya-buaya itu bukan masalah. Warga dan para nelayan pun tak merasa terganggu akan kehadiran buaya.

“Biasa kalau sore atau malam ada delapan sampai sepuluh ekor buaya naik. Kami tidak takut. Kalau kita tidak mengganggu mereka, mereka juga tidak mengganggu,” aku Lasmiatun, warga Jalan Raja Moili, di bantaran Sungai Palu.

Syafruddin, warga setempat sampai mengaku rutin memberi makan hewan predator itu, termasuk buaya berkalung ban.

“Dulu ekornya saya tangkap-tangkap. Tidak apa-apa,” kata lelaki yang mengaku usianya berkisar antara 60 – 70 tahunan itu.

Nah sekarang, setelah episode perburuan ‘buaya berkalung ban’ tamat, bagaimana penanganan buaya-buaya di Sungai Palu dan muara Teluk Palu itu? Apakah akan dibiarkan atau dipindahkan ke penangkaran? Sebab kehadirannya mulai menjadi ancaman bagi warga Kota, utamanya yang kerap melewatkan waktu menikmati indahnya panorama Teluk ini, para pemancing dan orang-orang yang memilih berenang di ‘kolam alam’ itu. ***

https://youtu.be/aS7FWsf2E08