Barangkali tak banyak yang tahu tentang NV Cultuur-en Handel Maatschappijke. Bila kini puluhan hektare lahan kelapa sawit kemudian mengisi bentang alam Pasangkayu, tentu kita harus mahfum adanya. Sejarah budidaya kelapa dalam, kelapa hibrida hingga kelapa sawit terus menyambung sampai jauh di wilayah ini. Dari maskapai perdagangan dan perkebunan Belanda itulah hikayatnya bermula.
Seorang lelaki jangkung berkulit putih dan berhidung mancung, tampak berada di bawah pokok-pokok kelapa yang tinggi menjulang. Ia terlihat bersama sejumlah orang yang kelihatannya pekerja. Ya, lelaki ini tengah berada di areal perkebunan kelapa dalam di Lariang, Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Ia bukan pelancong. Pada 1926 – 1933, lelaki berkebangsaan Belanda itu adalah Administratur NV. Cultuur-en Handel Maatschappij, maskapai perdagangan dan perkebunan Belanda di wilayah Pasangkayu. Namanya Marinus Adriani. Oleh warga setempat, ia disapa Meneer atau Tuan Adriani.
Belakangan, Adriani menikah dengan perempuan setempat bernama Fase. Dari perempuan itu ia mendapatkan dua orang anak, yang perempuan bernama Banri Gaoe Djopan, dan lelaki bernama Pasamalangi Adriani.
Saat itu, oleh karena datarannya yang luas di pesisir, Pasangkayu dijadikan salah satu areal pengembangan kelapa oleh Belanda. Mereka menyebutnya Kokos Onderneming. Komoditas kopra ketika itu menjadi primadona selain rempah-rempah dari belahan Nusantara lainnya.
Peralatan modern, semisal traktor didatangkan untuk mengolah lahan. Mesin motor perahu pun ada. Perahu bermotor dipakai untuk mengontrol perkebunan dengan membelah Salo Lariang.
Tak ada catatan yang menyebutkan berapa luasan areal perkebunan kelapa milik Belanda di sekitar wilayah Pasangkayu itu. Namun ditaksir lebih dari 10 ribu hektare mengingat bukti-bukti tegakan pokoknya yang kini masih ada.
Saat itu, Adriani dibantu oleh warga setempat yang terdiri dari orang Mandar, Bugis dan Kaili. Mereka yang mengerjakan pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pasca panen. Kopra diolah di perkebunan lalu diangkut kapal ke Pelabuhan Donggala dan kemudian ke Surabaya.
Jadi, bila kini puluhan hektare lahan kelapa sawit kemudian mengisi bentang alam Pasangkayu, tentu kita mahfum adanya. Sejarah budidaya kelapa dalam, kelapa hibrida hingga kelapa sawit terus menyambung sampai jauh di wilayah ini.
Dari data Direktorat Jenderal Perkebunan diketahui, luasan perkebunan kelapa sawit milik swasta dan masyarakat di Sulawesi Barat sampai dengan 2021 mencapai 158.398 hektare. Sementara produksi minyak sawit mencapai 358.048 ton.
Aktifitas Adriani dan pekerjanya di Kokos Onderneming itu bisa dilihat dalam foto-foto koleksi digital dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, lit (KITLV). Ini adalah Institut Bahasa, Geografi dan Etnologi Kerajaan Belanda yang mengkhususkan diri pada studi Asia Tenggara dan Karibia. Saat ini KITLV berada di bawah Leiden University, Netherland.
Saat ini, kelapa dalam hanya diusahakan oleh masyarakat setempat. Mengingat harga kopra kembali naik. Sementara, perusahaan-perusahaan besar mengembangkan kelapa sawit. Salah satu yang terbesar adalah perkebunan kelapa sawit milik PT Astra Agro Lestari Tbk (Perseroan).
Dari laman astra.co.id, diketahui perusahaan ini mulai mengembangkan industri perkebunan di Indonesia sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Berawal dari perkebunan ubi kayu, kemudian mengembangkan tanaman karet, hingga pada 1984, dimulailah budidaya tanaman kelapa sawit di Provinsi Riau.
Kini, Perseroan itu terus berkembang dan menjadi salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas areal kelola mencapai 287.604 hektar. Lahannya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
PT. Pasangkayu, PT Mamuang, PT Letawa, PT Surya Raya Lestari dan PT Bhadra Sukses, adalah lima di antara anak usaha perkebunannya yang beroperasi di Sulawesi, tepatnya di Pasangkayu, Sulawesi Barat.
“Sementara PT. Lestari Tani Teladan di wilayah Donggala, Sulawesi Tengah dan ada pula di Morowali,” sebut Hermanto Rudi, Community Development Officer PT. Mamuang.
Untuk menjaga keberlangsungan usaha, selain mengelola lahan perkebunan kelapa sawit, mereka juga mengembangkan industri hilir yang terkait. Perseroan telah mengoperasikan pabrik pengolahan minyak sawit di Pasangkayu, Sulawesi Barat, dan di Dumai, Riau.
“Produk minyak sawit olahan yang dikelola oleh PT Tanjung Sarana Lestari di Ako, Pasangkayu itu dieksport dalam bentuk olein, stearin, dan PFAD. Ini untuk memenuhi permintaan pasar ekspor antara lain dari Tiongkok, Filiphina, Vietnam dan India,” sambung I Gede Oka Arimbawa, Community Development Area Manager PT. Astra Agro Lestari.
Nah, di luar upaya-upaya pengembangan itu, masalah yang dihadapi oleh perkebunan skala besar adalah pendudukan lahan oleh masyarakat.
Di Indonesia, pendudukan lahan bukan barang baru. Sejumlah perkebunan dari Sabang sampai Merauke berhadapan dengan masalah serius ini. Tuduhannya beragam. Yang paling menonjol adalah, perusahaan dipersalahkan karena dianggap menguasai atau merampas tanah milih masyarakat untuk pengembangan lahan budidayanya.
Di Pasangkayu, anak usaha Grup Astra Agro pun menghadapi masalah serupa. Yang terbaru adalah aksi protes hingga pendudukan lahan yang dilakukan oleh Komunitas Adat Suku Kaili Tado di Kabuyu. Mereka mengklaim bahwa PT. Mamuang telah merampas tanah ulayatnya.
“Dan itu harus dikembalikan kepada kami. Menjadi hak kami untuk kami kelola sendiri,” kata Dedi Sudirman Lasadindi, 28 tahun.
Pemuda yang mengaku hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama itu, didapuk oleh komunitasnya sebagai pemimpin aksi mereka.
Sayangnya, klaim soal tanah ulayat ini susah dibuktikan. Tidak ada tanda fisik bekas perkampungan tua atau artefak tertentu yang biasanya dimiliki suku asli lainnya di Sulawesi.
Sekarang, mereka menuntut penyediaan lahan plasma 20 persen dari hak guna usaha yang dimiliki perusahaan. Mereka merujuk pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha juncto Surat Edaran Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 11/SE-HK.02.02/VIII/2020 tertanggal 27 Agustus 2020 tentang Pelaksanaan Kewajiban Perusahaan dalam Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat.
Saat ini, untuk menegaskan sikap mereka, sejumlah masyarakat Kabuyu membangun sebuah tempat pertemuan seluas kurang lebih 8 x 10 meter di ujung Afdeling India, milik PT. Mamuang. Di rumah kayu tanpa dinding itu, mereka beraktifitas.
Mereka menetapkan larangan bagi pekerja kebun untuk melakukan aktifitas di kawasan itu.
“Pernah ada yang minta izin memupuk, lalu saya bilang, ya silahkan supaya tanamannya cepat besar. Setelah itu kami yang ambil,” kata Dedi berkelakar.
Soal protes yang berujung pada pendudukan macam itu dicatat dengan baik oleh Timothius, Kepala Desa Mertasari pada 1993 hingga 2000.
Dari seorang sumber dicatat bahwa masyarakat biasanya mendapat informasi akan ada pengembangan di suatu lahan. Kemudian, mereka beramai-ramai membuka lahan itu dan menanaminya. Ketika Perusahaan datang untuk melakukan untuk membersihkan lahan, mereka menemui lahan tersebut dalam penguasaan masyarakat bahkan ditanami. Pembayaran penggantian biaya budidaya tanaman dan permukiman pun ditempuh sebagai jalan tengah.
“Saya mencatat masa puncak okupasi atau pendudukan lahan itu terjadi pada 2006. Kemudian beberapa kali pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang. Saya yang selalu diminta memediasi masalah itu. Mereka diberikan penggantian biaya,” imbuh Timothius.
Lelaki berusia 57 tahun itu menjadi penyaksi pengembangan perkebunan sawit ini dari waktu ke waktu.
Sejauh ini, dialog dengan Pemerintah setempat dan juga Perusahaan belum mendapatkan titik temu. Pemerintah bersikeras, agar masyarakat dapat memenuhi bukti-bukti yang menegaskan itu adalah tanah ulayat mereka. Sedang perusahaan tetap bersikukuh bahwa mereka mengembangkan lahan seperti yang ditetapkan sebagai hak guna usahanya.
Dari penelusuran dokumen terkait kukuhnya perusahaan berdasar pada Rekomendasi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mamuju bernomor 522.12/828/IV/94/Ekon tertanggal 30 April 1994 tentang Keterangan Tanah Tidak Bermasalah pada Areal Perkebunan PT. Mamuang yang terletak di Desa Martasari, Kecamatan Pasangkayu.
Rekomendasi itu tak serta merta lahirnya. Itu terbit setelah proses permohonan hak guna usaha yang diajukan oleh PT. Mamuang ditindaklanjuti oleh Panitia Tetap Penyedia Tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju dengan meninjau lokasi lahan yang dimohonkan oleh Perusahaan pada 28 April 1994. Saat itu ditemukan sebagian tanah tanah telah dikuasai oleh masyarakat Kabuyu untuk pemukiman dan kebun kakao.
Lalu atas kesepakatan antara Pemohon HGU dengan Tim Penyedia Tanah. Isinya; Lahan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan juga dipergunakan untuk pencadangan lokasi seluas kurang lebih 250 hektare dikeluarkan dari permohonan HGU.
Kemudian, kesepakatan ini dituangkan dalam Berita Acara bertanggal 28 April 1994 tentang Hasil Peninjauan Lapangan Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT. Letawa (Ltd) dan PT. Mamuang oleh Panitia Tetap Penyedia Tanah Pemda Tingkat II Mamuju.
Timothius yang menyaksikan waktu demi waktu pengembangan sawit di kawasan ini berani memastikan itu. Sebagai aparatur desa, ia terlibat proses demi proses dalam urusan lahan itu.
Usai itu, kata dia, PT. Mamuang terus mengembangkan lahan-lahan milik mereka dengan mendasarkan diri pada keputusan Pemerintah setempat.
Dan, roda kehidupan sosial ekonomi di kawasan ini terus berderak lancar. Masyarakat setempat sudah merasakan dampak positifnya.
Nah sekarang, di mana simpul masalah ini akan terurai? Agaknya itu butuh waktu dan niat baik para pihak yang terlibat. ***