Pada 9 Februari 2020 ini, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dimotori Wartawan Indonesia (PWI) akan menggelar puncak peringatan Hari Pers Nasional. Akronimnya HPN.
Meski banyak yang menanyakan keabsahannya, namun sejak 1985 hingga kini peringatannya tetap dilaksanakan juga. Para pejabat mulai dari Presiden hingga Bupati, juga pejabat lain bahkan hadir dalam acara yang biasanya gemerlapan ini. Dana penyelenggaraannya pun tak sedikit.
Lalu mengapa banyak orang menanyakan keabsahannya? Penetapan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Tanggal 9 Februari sesungguhnya merupakan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia. Organisasi yang pernah ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi resmi wartawan di Indonesia itu berdiri 9 Februari di Solo, Jawa Tengah.
Tentu saja itu mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.
Budayawan Tafik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Ia lalu menelusurinya. Ia kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100 Tahun Pers Nasional. Ia kemudian membuat simpulan bahwa mestinya hari kelahiran pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan Prijaji pada 1 Januari 1907.
Dari penelusuran Taufik diketahui Medan Prijaji, koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Koran ini adalah Koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Karenanya, menurut Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1 Januari.
Itu memang bukan koran yang pertama kali terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di Hindia Belanda, nama Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama. Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang pertama menggunakan bahasa Melayu.
Pendapat Taufik dibantah oleh peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda. Ia mengatakan Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda. Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah menerbitkan enam koran berbahasa Melayu.
Jadi, mesti dari mana kita menandai kelahiran pers nasional kita? Ini pertanyaan yang susah-susah gampang menjawabnya.
Andreas Harsono, seorang penulis kesohor yang memelopori jurnalisme sastrawi, dalam blognya yang beralamat di http://andreasharsono.blogspot.com/2007/10/polemik-sejarah-pers-indonesia.html juga menulis perdebatan-perdebatan soal hari kelahiran pers Nasional ini. Ia menuliskan bagaiman novelis
Pramoedya Ananta Toer, menokohkan Tirto Adhi Soerjo, bidannya Medan Prijaji. Pram menandai Medan Prijaji sebagai pers nasional terkemuka ketika itu.
Bahkan, Andreas juga menuliskan pendapat Suryadi, peneliti dari Leiden itu. Suryadi berpendapat, jasa Tirto tak lebih besar dari Dja Endar Moeda, atau Abdul Rivai yang menerbitkan Bintang Hindia, sebuah koran yang kritis pada Pemerintah Belanda namun terbit di Amsterdam pada 1903-1907.
Adapula Nasrul Azwar yang berpendapat bahwa Bintang Timoer, koran berbahasa Melayu lebih tua daripada Medan Prijaji. Bintang Timoer sudah dibaca oleh orang Minang sejak 7 Desember 1864.
Jadi pada tanggal berapakah kita mesti merayakan hari kelahiran Pers Nasional? Saya belum punya jawabannya. Namun semestinya, tidaklah bisa disebut terlambat jika kita ingin mengkajinya kembali.
Sebab bisa-bisa anggota Aliansi Jurnalis Independen, PWI Reformasi atau Ikatan Jurnalis Televisi dan lusinan organisasi wartawan lainnya yang lahir di awal Reformasi akan selalu enggan merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari ini. Pasalnya semua mahfum adanya itu sejatinya adalah hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia. Organisasi yang pernah menjadi satu-satunya organisasi wartawan yang diakui Pemerintah.
Olehnya, dengan semangat itu, saya mesti mengucapkan: “Selamat Hari Jadi PWI. Semoga Pers Indonesia makin Jaya.” ***