Saya baru membaca banyak kritik atas pasar murah yang digelar Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Sulteng di halaman Pogombo, Kantor Gubernur, di Jalan Sam Ratulangi, Palu.

Kritik banyak orang itu tentu mesti mendapat perhatian. Ada pula yang membandingkannya dengan kritik atas gelaran konser amal di Jakarta. Ada juga yang membandingkannya dengan imbauan penutupan rumah ibadah.

Pada soal ini, saya memilih mengikuti paham yang dikemukakan Ketua Majelis Ulama Indonesia, Kota Palu, Dr. K.H. Zainal Abidin, MA. Ia bilang sejak awal tak segaris pikir membandingkan penutupan rumah ibadah dan penutupan pasar atau mal.

Di rumah ibadah, orang banyak, ratusan hingga ribuan bertemu bersama dalam rentang waktu tertentu, terjadwal, massif dan tanpa jarak. Di pasar, orang bertemu tak secara berbarengan dalam waktu bersamaan secara massif. Meski kerap ada godaani rabat, potongan harga di mal-mal membuat orang menyemut. Para perempuan, remaja putri hingga ibu rumah tanggalah yang paling dominan.

Beribadah, utamanya shalat bagi Umat Islam dapat dilakukan di rumah masing-masing karena ada aturan syariahnya. Lalu pasar sungguh sulit dihadirkan di rumah sendiri. Orang butuh makan. Sumber-sumber bahan makanan itu hanya bisa kita dapatkan di pasar. Itulah sebabnya pasar harus tetap dibuka.

Soal pasar murah yang digelar Disperindag Sulteng, sejauh yang saya lihat diatur dengan standar kedaruratan untuk mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19. Orang-orang diimbau mengenakan masker. Ada physical distancing, tapi pada praktiknya membludaknya warga sulit dihindari.  Siapa yang bisa ‘melawan’ ibu-ibu?! Sama dengan kebiasaan mereka menyalakan lampu sign kanan, lalu membelok ke kiri, tak ada yang bisa menegurnya. Sebab suara mereka lebih besar dari kita nantinya.

Di saat mendatang, saya kira, pasar murah semacam ini bisa dan harus terus diadakan. Ini sangat penting. Syaratnya; aturan harus diketatkan. Warga mesti mengikuti garis antrean yang sudah diatur dengan physical distancing. Bila melanggar maka mereka tidak akan dilayani.

Pasar murah adalah bentuk tanggung jawab pelayanan publik yang melekat pada Dinas terkait. Ini untuk mengintervensi pasar agar pedagang yang ‘kegenitan’ menaikan harga bahan-bahan pangan bisa diperangi.

Dinas Perindag yang menjalankan programnya dan Gubernur Sulteng pun mendukungnya. Di tengah pandemi, langkah-langkah praktis, taktis dan strategis harus sering dilakukan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan warga.

Namun, lepas dari perdebatan tadi, ini hanya pendapat saya pribadi. Saya tak mewakili lembaga atau institusi apapun. Saya pun bukan juru bicara pemerintah atau dinas terkait. Saya jurnalis televisi, karyawan perusahaan swasta yang tidak terkait pada mata rantai produksi dan perniagaan bahan pangan. ***