Danau Kalimpa'a, dengan airnya yang hijau kebiruan dan pantulan pepohonan yang berdiri kokoh di sekelilingnya, telah menjadi bagian dari mitos dan cerita rakyat di desa itu selama ratusan tahun. Airnya yang tenang dan jernih seakan-akan memikat siapa saja yang mendekatinya. Namun, di balik keindahannya, danau itu menyimpan misteri yang menakutkan, sebuah rahasia yang telah membuat banyak orang hilang, ditelan dalam tenangnya.
Konon, jauh di masa lalu, danau itu bukan sekadar sebuah tempat permandian biasa. Ia adalah tempat mandi para bidadari yang turun dari kayangan. Danau itu juga tempat pertemuan seorang putri raja dengan para bidadari itu. Tersebutlah seorang putri raja yang kecantikannya melampaui semua. Namanya Putri Intan Sari. Kulitnya seputih pualam, rambutnya hitam legam terurai seperti aliran sungai, dan matanya memancarkan cahaya lembut seperti bintang. Ia adalah putri kesayangan Raja Sukawana, seorang raja sederhana namun bijaksana yang memerintah kerajaan kecil di lembah gunung.
Putri Intan Sari sangat mencintai bumi tempat ia tinggal. Ia sering memohon kepada ayahnya untuk membangun sebuah danau di kaki gunung, sebuah tempat yang tenang dan indah, di mana ia bisa mandi dan bermain setiap kali ia turun ke bumi. Raja Sukawana, yang begitu mencintai putrinya, mengabulkan permintaannya. Dengan kekuatan gaib yang dimilikinya, sang raja memerintahkan para pengawalnya untuk menggali dan membentuk danau itu.
Danau Kalimpa'a pun tercipta, sebuah surga kecil di bumi yang memancarkan keindahan alam yang tak tertandingi. Setiap sore, Putri Intan Sari dan para bidadari lainnya turun dari kayangan, menari di sekitar danau, menyanyikan lagu-lagu merdu yang menggema di seluruh lembah. Keberadaan mereka membawa ketenangan dan kebahagiaan bagi penduduk desa yang percaya bahwa putri-putri itu membawa berkah bagi tanaman dan air yang mengalir dari gunung.
Namun, semua itu berubah ketika seorang pemuda bernama Bima, seorang pemburu dari desa di kaki gunung, melihat keindahan putri-putri kayangan tersebut dari balik rimbunnya pepohonan. Bima terpesona oleh kecantikan Putri Intan Sari. Setiap hari, ia bersembunyi di balik semak-semak, berharap bisa melihat sang putri turun dan menari di tepi danau.
Rasa kagum dan cinta Bima tumbuh menjadi obsesi. Suatu hari, saat Putri Intan Sari sedang mandi di danau, Bima dengan berani mendekat, berharap bisa berbicara dengannya. Namun, saat Putri Intan Sari melihat Bima, ia terkejut dan langsung menyelam ke dalam air. Bima tidak menyerah; ia terjun ke dalam danau, berenang dengan cepat, mencoba mencapai sang putri.
Tetapi, air danau itu tiba-tiba berubah. Dari yang semula tenang dan jernih, menjadi berputar dan menghisap seperti pusaran yang kuat. Bima meronta-ronta, mencoba berenang kembali ke tepian, tetapi sia-sia. Putri Intan Sari muncul di permukaan air, matanya bersinar dengan kilatan marah. “Kau telah melanggar batas, manusia,” katanya dengan suara yang seakan-akan berasal dari dalam bumi. “Danau ini bukan tempatmu.”
Dengan satu gerakan tangan, Bima terseret ke dalam air, hilang dalam pusaran yang mengerikan. Tubuhnya tak pernah ditemukan, hanya bayang-bayang hitam yang sesekali terlihat di dasar danau ketika matahari berada tepat di atas kepala.
Sejak saat itu, Danau Kalimpa'a mulai dikenal sebagai danau yang mematikan. Setiap bulan purnama, orang-orang desa melaporkan melihat sosok bayangan perempuan bergaun putih yang berkeliling di tepi danau, menyanyikan lagu dengan suara yang lembut namun sedih. Ada yang mengatakan, putri itu mencari korban baru untuk menggantikan Bima, yang telah ia tarik ke dalam dunia bawah air sebagai hukuman karena melanggar batas dunia kayangan.
Selama bertahun-tahun, banyak yang mencoba menguji kebenaran kisah ini. Ada yang datang dengan harapan bisa melihat Putri Intan Sari, ada pula yang datang untuk menantang takhayul. Tapi setiap kali mereka mendekati danau saat malam tiba, satu per satu menghilang, lenyap tanpa jejak, seperti Bima yang ditelan oleh air.
Suatu ketika, seorang pemuda dari kota bernama Anton, yang skeptis terhadap cerita-cerita hantu dan kisah rakyat, memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Anton adalah seorang peneliti muda yang berani, dengan keyakinan bahwa tidak ada hal mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Ia mempersiapkan diri dengan peralatan menyelam, kamera bawah air, dan perlengkapan lainnya. Anton berniat untuk membuktikan bahwa kisah tentang Putri Intan Sari tidak lebih dari sekadar mitos yang dikarang oleh penduduk desa.
Malam itu, Anton tiba di tepi danau, bulan purnama menggantung rendah di langit, memberikan cahaya keperakan yang menari di permukaan air. Udara malam terasa dingin, dan hening. Tidak ada suara burung, tidak ada angin. Anton merasakan ada sesuatu yang aneh, tapi ia menepis perasaan itu. Ia menyiapkan peralatannya, memasang kamera di beberapa sudut, lalu mengenakan peralatan menyelamnya.
Dengan satu tarikan napas, ia melompat ke dalam air. Suhu air terasa lebih dingin dari yang ia bayangkan, menusuk hingga ke tulang. Namun, Anton melanjutkan penyelaman, mencari-cari tanda-tanda keberadaan dunia bawah air yang pernah diceritakan. Semakin dalam ia menyelam, semakin gelap dan dingin airnya.
Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di kejauhan. Cahaya! Cahaya lembut dan hangat, memancar dari suatu tempat di dasar danau. Anton berenang mendekat, penasaran. Ketika ia tiba di sumber cahaya, ia tertegun. Di depannya, sebuah gerbang besar yang terbuat dari batu berlumut, dengan ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan para putri sedang menari.
Anton merasakan dorongan untuk masuk. Ia berenang melewati gerbang, dan tiba-tiba ia tidak lagi berada di dalam air. Ia berada di taman yang luas, dengan bunga-bunga bermekaran, udara hangat, dan matahari yang bersinar terang di langit biru. Di depannya, berdiri seorang perempuan bergaun putih. Putri Intan Sari.
“Kau datang untuk apa, manusia?” Putri itu bertanya, dengan suara lembut namun tegas.
Anton terperangah. “Aku… aku ingin tahu kebenaran tentang danau ini.”
Putri Intan Sari tersenyum tipis. “Kebenaran tidak selalu membawa kedamaian,” katanya. “Danau ini bukanlah tempatmu. Pergilah, sebelum terlambat.”
Namun Anton tidak mendengar peringatan itu. Ia merasa terpesona oleh kecantikan sang putri, seakan terhipnotis oleh matanya yang berkilauan seperti bintang. “Aku tidak bisa pergi. Aku ingin tahu lebih banyak,” jawabnya.
Sang putri menggeleng pelan, dan wajahnya berubah menjadi ekspresi kesedihan. “Kau tidak mengerti, manusia. Dunia ini bukan untukmu.”
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki Anton mulai bergetar. Cahaya di sekelilingnya meredup, dan ia merasakan tarikan yang kuat menariknya kembali ke air. Ia meronta, mencoba bertahan, tetapi kekuatan itu terlalu besar. Anton terhisap ke dalam pusaran air yang dingin dan pekat.
Anton terbangun di tepi danau, tubuhnya basah kuyup, napasnya tersengal-sengal. Dia mendapati dirinya sendirian di tepi Danau Kalimpa'a, di bawah langit yang mendung. Tidak ada tanda-tanda gerbang atau taman. Semua tampak seperti mimpi yang aneh, tetapi di tangannya, ia menggenggam sehelai bunga yang masih segar, bunga yang tidak ada di desa itu, bunga yang hanya tumbuh di taman kayangan.
Sejak saat itu, Anton menjadi pendiam. Dia tidak pernah lagi berbicara tentang penelitian atau pencarian kebenarannya di Danau Kalimpa'a. Namun, setiap kali bulan purnama tiba, dia bisa terlihat berdiri di tepi danau, memandang ke permukaan air, seolah menunggu sesuatu atau seseorang untuk kembali.
Danau Kalimpa'a yang belakangan lebih dikenal sebagai Danau Tambing, tetap tenang, menyimpan rahasianya yang abadi. Ia menyembunyikan kisah tentang Putri Intan Sari dan dunia di bawah air, menunggu jiwa-jiwa pemberani atau mungkin bodoh yang berani menantang mistisnya, yang siap untuk ditarik ke dalam pelukannya yang dingin dan abadi.***