Save the Children merilis hasil Asesmen Pemulihan Pasca Bencana di Sulawesi Tengah. Hasilnya, hanya kurang dari 15% rumah tangga yang sudah pulih sepenuhnya, baik secara fisik maupun ekonomi.
Kondisi masyarakat semakin parah akibat perubahan iklim dan pandemi COVID-19. Saat ini, 40 desa di Sulteng berisiko tinggi terdampak krisis iklim; 9 kabupaten rawan banjir dan longsor, termasuk Palu, Sigi, dan Donggala.
Di Donggala, banjir rob masih mengkhawatirkan dari waktu ke waktu dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Kegiatan ekonomi hingga akses anak-anak ke sekolah terkendala. Lebih jauh lagi, hanya 45% rumah tangga yang memiliki fasilitas WASH (sumber air minum dan toilet) yang memadai.
Kondisi ini membuat masyarakat di Donggala semakin rentan terpapar penyakit menular–salah satu penyebab utama stunting.
Sementara itu, Sigi menghadapi sistem irigasi yang terganggu dan kelangkaan air menjadi tantangan masyarakat. Hanya 50% rumah tangga di Sigi yang memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik.
Belum lagi, masyarakat Sigi harus menghadapi banjir yang mengganggu area perkebunan dan menjadi penyebab kegiatan pertanian di Sigi belum pulih sepenuhnya.
Child Campaigner
Riziq (18), salah seorang anggota Child Campaigner Sulawesi Tengah yang tinggal di Kabupaten Sigi, membenarkan hal tersebut. Pada September lalu, desa tempat Riziq tinggal terendam banjir karena curah hujan yang tinggi.
“Belum lama ini, pada bulan September, kami merasakan curah hujan di daerah kami cukup panjang sehingga mengakibatkan sawah-sawah terendam banjir. Salah satunya di daerah saya, Desa Pakuli Utara, Kabupaten Sigi. Curah hujan yang tinggi tu menyebabkan sungai yang ada meluap dan menghantam pemukiman warga,” tutur Riziq.
Ia juga menceritakan, lahan-lahan pertanian warga yang berada di bantaran sungai terendam banjir. Hasil pertanian seperti padi, jagung, tidak bisa dijual warga ke pasar. Hal itu menyebabkan tidak ada penghasilan yang didapatkan. Di daerahnya, mayoritas pekerjaan masyarakatnya adalah petani.
“Berangkat dari masalah-masalah lingkungan ini, Save the Children menggerakkan anak-anak di Sulawesi Tengah agar memiliki kesadaran yang kuat tentang bahaya krisis iklim,” jelas Dewi Sri Sumanah, Media & Brand Manager Save the Children Indonesia.
Pentas Seni Krisis
Dewi menyebutkan, pada Mei 2022, Save The Children memfasilitasi inisiasi anak dan orang muda yang tergabung dalam Child Campaigner Sulteng dan Forum Anak Labean. Mereka melakukan aksi bersih pantai dan menanam bakau di Pantai Mapaga, Kabupaten Donggala. Dan, Minggu (9/10/2022), mereka menginisiasi Pentas Seni Krisis Iklim di Palu.
Pentas itu digelar oleh anak-anak yang tergabung dalam Child Camapigners Sulawesi Tengah. Gelaran ini merupakan aktivitas kampanye Aksi Generasi Iklim sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dampak krisis iklim bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan orang muda.
Pentas itu menampilkan musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan monolog, serta diskusi mengenai krisis iklim bersama anak-anak. Acara-acara dengan pendekatan kontemporer ini diharapkan mampu menjadi cara baru untuk memperkuat peningkatan kesadaran terkait isu krisis iklim karena dikemas dengan hal-hal yang menarik.
“Melalui kampanye Aksi Generasi Iklim ini, kami berharap anak-anak yang melihat kampanye ini jadi lebih tahu tentang apa itu krisis iklim, bagaimana mitigasi dan adaptasi dari dampak perubahan iklim, dan tentunya anak-anak jadi lebih siap melewati tantangan dan rintangannya. Karena mungkin dampak krisis iklim ke depannya akan jauh lebih besar dirasakan oleh anak-anak,” imbuh Riziq.
Save the Children mendukung penuh kegiatan Aksi Generasi Iklim ini.
Saat ini, sudah ada lima wilayah yang memiliki Child Campaigner, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jakarta.
Dalam payung kampanye Aksi Generasi Iklim, anak-anak dan orang muda diberikan peningkatan kapasitas terkait bahaya krisis iklim. Mereka juga didorong untuk menularkan pengetahuan mereka dengan cara-cara yang menarik massa, serta melakukan suatu perubahan kecil untuk menjaga bumi kita. ***