https://youtu.be/g-haeN5-6dA

Saya memanggilnya Ayah Kian, mengikuti nama anak perempuan pertamanya. Bisa pula Ayah Rafa. Namanya sendiri: Salim. Di Sulawesi, sebagai bagian penghormatan, kita kerap memanggil seorang lelaki yang sudah berkeluarga dengan panggilan begitu. 

Saya mengenalnya sebagai orang yang sangat kreatif. Sebelum gempabumi, tsunami dan likuifaksi meluluhlantakan Kota Palu, ia membuka usaha. Namanya Rafa Jaya Aquarium. Rafa merujuk pada nama anak lelakinya yang terakhir. 

Saya sudah kerap melihat aquarium di mana-mana, tapi buatannya sungguh hidup. Tanaman yang berpadu dengan ikan hias dalam satu aquarium benar-benar terlihat hidup. Ia mampu menghadirkan kehidupan nyata ikan-ikan dan tanaman itu dalam sebuah tabung kaca. 

Sayangnya, pasca bencana. Ia tak lagi meneruskan usaha aquariumnya. Semua kotak aquariumnya pecah berantakan. Sekarang, di sela-sela rintisan usaha barunya: Kaledo Stereo – cabang ketiga – di Jalan Yos Sudarso, Palu Timur, ia membuat terarium.

Ya terarium. Ini baru buat saya. Mungkin juga buat Anda. Biasa dikenal pula sebagai Virarium. Dan kini Salim, lelaki beranak empat itu menekuninya. 

“Buat saya ini sama saja dengan membuat aquarium. Tapi bedanya ini cuma pakai tanaman saja. Tanpa ikan ” kata dia, saat saya menyela keasyikannya menata lumut di pokok kayu di kotak kaca terariumnya.

Terarium berwadah kotak kaca atau plastik. Ini diperuntukkan bagi beragam kebutuhan, semisal penelitian atau dekorasi dalam ruang. Menurut laman ensiklopedi Wikipedia.org terarium tak ubahnya biosfer buatan. Fungsi biologisnya tentu serupa yang berlaku di alam. Ini persis laboratorium biosfer mini.

Membayangkan berjalan di tengah rimba belantara. Di bawah naungan kanopi pohon-pohon di hutan hujan tropis. Suara burung meningkahi simfoni alam. Mencipta harmoni.

Lalu kita keluar dari bingkai imaji. Mundur selangkah. Lalu kita melihat sebuah tabung kaca serupa akuarium di depan kita. Ada tanaman yang tumbuh di dalamnya. Ada pokok kayu berselimut lumut. Tetesan air dari kanopi dedaunan pohon. Ada air yang menggenang di rawa. Inilah Terarium itu.

Sebuah cara menikmati alam di sebuah tabung kaca. Menikmati biosfer tanpa perlu beranjak dari rumah.

Cara unik memelihara tanaman di kotak kaca ini, pertama kali diperkenalkan di Inggris. Diawali dengan rumah kaca mini di Kerajaan Inggris dan kaum bangsawan kemudian terarium menjadi terkenal di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Yang sedang dibuat oleh Salim adalah tiruan hutan hujan tropis. Ada lumut yang tumbuh di pokok pohon. Permukaan tanah yang lembab. Juga efek hujan yang datang sesekali dari instalasi air yang dibuatnya. Sungguh unik dan memikat. 

Saya teringat masa-masa kuliah saat masih aktif bergabung di kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Sagarmatha, di Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. 

Di awal-awal 1993 – 1996, saya kerap mendaki Gunung Nokilolaki. Gunung yang berlokasi di Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ini menyajikan pesona Istana Lumut di Shelter II sebelum kita menggapai puncaknya. Tercatat Gunung Nokilolaki berada pada ketinggian 2.357 meter di atas permukaan laut setara dengan 7.733 kaki. 

Kondisi alam di Istana Lumut itulah yang dihadirkan Salim di terariumnya. Lengkap dengan genangan air tak ubahnya rawa. Sayang, ia belum berniat mengomersilkannya. 

Tapi bila Anda tertarik, coba-cobalah bertandang ke Kaledo Stereo di Jalan Yos Sudarso, Palu Timur.

Tentu lebih nikmat bila Anda menikmati Kaledo terlebih dahulu. Apalagi di sini ada empat varian sajian Kaledo. Ada Pading: Kaledo Paru Daging, lalu ada Talang: Kaledo Tanpa Tulang dan Kaledo spesial dengan tulang kaki penuh sumsum. ***