aku sampai di markas tentara dan melaporkan kejadian itu. Tapi kali ini aku mesti terkejut lagi. Mereka pun menanyakan, kepada siapa aku memihak.

Ku tahu mereka bertanya lantaran melihat tubuhku yang tercabik-cabik ini penuh warna-warni. Warna-warni Indonesia. Aku pun mengambil kesimpulan, ada bahaya lagi mengancamku di sini.

Apalagi aku melihat laras senapan mereka, ada yang diikat kain putih dan kain merah. Benar saja, belum usai lamunanku, kembali senapan yang sejak tadi mereka todongkan padaku menyalak. Lubang di tubuhku bertambah. Darah seperti tak henti-hentinya mengalir. Masih tetap berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu.

Aku pun kembali mengambil langkah seribu. Ku terjang saja verboden di hadapanku. Ku ambil salah satu jip mereka, kukendarai selaju mungkin agar aku lepas dari kejaran tentara-tentara garang itu. Sampai kemudian jip yang kubawa itu terjungkal masuk ke jurang, membawa tubuhku yang tercabik-cabik ini. Aku pun tersadar ketika sang malakul maut menghadang langkahku ketika akan keluar dari rongsokan itu.

“Aku akan mencabut nyawamu untuk kedua kalinya,” kata dia garang.

“Aku kan sudah bilang ketika kau menjadi hantu kau harus memihak,” imbuh dia lagi. Aku tak bisa mengelak kali ini. Waktu ketiga buatku untuk menjadi hantu mungkin akan memihak. Aku tak ingin lagi tercabik-cabik oleh timah panas tak bermata itu.

“Aku harus berpihak,” teriakku pada sang malakul maut yang meninggalkanku, seperti berjanji.

Di kejauhan kaok ratusan gagak hitam, sayup terdengar, seperti mengamini pilihanku. Dan bau amis darah kian menyegat hidungku. Kita mungkin memang tak punya pilihan lain, selain memihak. Itu kalau kita tak ingin disebut banci dan pengecut. Sebab ternyata kebenaran kini sudah terpahat di moncong-moncong senapan.

Hingga Kita sudah tak punya hak lagi seperti tokek di puing-puing rumah yang habis terbakar itu. Putih atau merah, putih atau merah, putih atau merah, merah putih, putih merah.

Poso, Kota Hantu Februari 2001.