Selain dari dalam negeri, sumber utama penyelundupan senjata ke Poso berasal dari Philipina.
Dari kesaksian sejumlah tersangka kasus terorisme di Pengadilan Negeri Palu 2003, didapat keterangan pintu penyelundupan penting lain adalah Tawao – Nunukan, dengan senjata bersumber Filipina Selatan. Seorang bekas tokoh Jemaah Islamiyah (JI) berkebangsaan Malaysia, Nasir Abas menyatakan bahwa jaringan organisasi ini pernah memanfaatkan penyelundupan melalui jalur ini.
Ketika itu, bersama Zulkarnain (seorang tokoh JI lainnya), mereka mengirimkan empat pucuk senjata laras panjang dan empat pucuk senjata laras pendek ke Ambon. Nasir mengakui cerita ini di depan sebuah sidang pengadilan di Palu,4 Oktober 2003.
Muhammad Nasir bin Abas (34 tahun) alias Sulaiman alias Leman, alias Maman, alias Khairudin, alias Malik, alias Nasir Abas, alias Adi Santoso, alias Edy Mulyono, alias Maa’ruf sendiri lahir di Singapura, 6 Mei 1969. Ia berkewarganegaraan Malaysia. Ia mengenyam pendidikan terahir di Sekolah Menengah Datu Jafar Johor Baru, Johor Malaysia. Sebelum ditangkap, alamat terahirnya adalah BTN Palupi Permai Blok D Nomor 19, Kota Palu.
Nasir Abas (berkebangsaan Malaysia) adalah ipar Muhamad Gufran alias Muchlas, salah seorang tersangka peledakan bom Bali. Nasir Abas pernah menjadi instruktur di bidang senjata di Akademi militer Mujahidin Afganistan 1989-1991. Sejak April 2001,ia dilantik sebagai Ketua Mantiqi Tsalis (Wilayah III), yang mencakup Sabah Malaysia, Kalimantan Timur Indonesia, Palu Sulawesi Tengah Indonesia, dan Mindanao Filipina Selatan (termasuk kamp latihan Hudaybiyah) menggantikan Mustapha.
Lain Natsir, lain pula Alfarouk. Sosok yang dikenal sebagai pentolah Alqaeda di Asia ini sekitar 2001 – 2002 dilaporkan pernah bermukim di Poso.
Bahkan bekas Ketua DPRD Poso Akram Kamaruddin pernah diperiksa Polisi terkait dengan Alfarouk lantaran didapat informasi rumahnya dikontrak oleh pentolan Alqaeda ini. Namun kasusnya kemudian tidak berlanjut, karena Polisi kesulitan mendapatkan saksi. Diduga Alfarouk yang tewas ditembak tentara Inggris pada September 2006, pernah melatih penggunaan senjata pada anak-anak muda di Poso.
Dari informasi intelijen Kepolisian diketahui, jalur masuknya senjata illegal ke Poso juga melalui jalur laut Philipina Selatan, menuju Kepulauan Sangihe, Sangir Talaud, lalu ke Bitung. Setelah kemudian dibawa melalui jalur darat di wilayah Pantai Timur Parigi Moutong. Sesampainya di Toboli, titik masuk ke Palu dan Poso, senjata-senjata itu kemudian dibagi. Sebagian dibawa ke Palu, sebagian dibawa ke Poso.
Rata-rata senjata yang diselundupkan adalah AK-47 yang memang tergolong senjata tahan cuaca. Bahkan terendam dalam jaring-jaring di bawah perahu saat diselundupkan dari Philipina pun senjata jenis ini tetap berfungsi baik.
Jadi, tokoh dari kelompok bersenjata baik di pihak Muslim maupun Kristen, Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah, JI dan aparat keamanan (Polri dan TNI), menjadi aktor utama di balik peredaran senjata di Poso sepanjang 2000-2002.
Kemampuan membuat senjata rakitan, diajarkan oleh alumni kombatan Moro dan Afghanistan. Dari merekalah keterampilan merakit senjata dipelajari anak-anak muda di Poso. Senjata buatan mereka benar-benar presisi.
Kenapa Polisi sulit mengusutnya? Pada beberapa kasus sejumlah senjata standar Polri dan TNI yang ditemukan rata-rata nomor registrasinya dihapus. Padahal dengan mengetahui nomor registrasinya asal senjata akan diketahui. Pada kasus lain, senjata-senjata itu memang berasal dari sumber luar negeri. Pada beberapa kasus lagi, meski nomor registrasinya sudah diketahui, namun penyelidikan buntu di masing-masing kesatuan baik TNI maupun Polri.