Episode 8 Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala
Hutan luas membentang dan danau besar yang ramai dengan nelayan menyita perhatian Karavea. Ia membatin rakyat Sidenreng dan Rappang sungguhlah makmur adanya. Pendekar itu merindu pada Pujananti yang sudah berwaktu-waktu ditinggalkannya. Kali ini ia berbagi kerinduan dengan Fatimah yang meminta izin pada Ibu Permaisuri Tenri Wulang menemani Karavea berkuda. Sepanjang jalan mereka bercengkrama. Masalah gerombolan Ambo Tuo sudah pula selesai. Olehnya perjalanan kali ini terasa tanpa beban.
Kurir berkuda sudah dikirim ke Addaowang Sidenreng We Tipu Uleng dan Petta’e Rappang La Mallibureng. Mereka adalah kakak beradik, anak dari We Bolong Pattina, Addaowang Sidenreng yang pertama. Kepada kedua penguasa itu disampaikan bahwa mereka sudah berhasil melumpuhkan para perampok di antara jalur Bacukiki, Sidenreng dan Rappang. Disampaikan pula keinginan Karavea bersilaturahmi dengan kedua Addaowang ini. Adapun Ibu Permaisuri Bacukiki memang sudah lama ingin bertemu dengan raja perempuan Sindenreng, We Tipu Uleng.
Kepada Karavea dan Fatimah, Ibu Permaisuri menceritakan bahwa Addaowang Sindenreng itu adalah perempuan pemberani. Keberanian menurun dari ibunya, We Bolong Pattina yang menjadi Addaowang Sidenreng pertama. Sebagai perempuan, ia mampu memimpin Sidenreng yang luas dan ramai. Ada pula suara-suara tak puas yang tak menginginkan dia menjadi penguasa, tapi itu tidak menjadi beban pemikirannya. Ia cuma menginginkan rakyatnya makmur dan sejahtera, cukup pangan dan sandangnya.
“Sekiranya anakda Karavea bisa menjembatani selisih pendapat itu, maka itu akan ada baiknya buat kita semua.”
Harapan ibu permaisuri itu dipahami oleh Karavea sebagai perintah. Fatimah pun berharap pendekar dari Pujananti itu mampu menyelesaikan silang sengkarut itu.
“Iye, Puang. Saya akan berusaha.”
Karavea meyakinkan Ibu Permaisuri untuk membantu menyelesaikan masalah di Sidenreng sembari meminta anggota rombongan untuk bersiap-siap. Setelah istirahat dan mengisi perut, mereka melanjutkan perjalanan. Sebentar lagi mereka akan sampai di Istana Addaowang Sindereng.
Di Istana, penyambutan sudah disiapkan. Berbagai penganan enak disiapkan. Daging dan ikan berlimpah. Ada nasu palleko, cawiwi, roti berre, sokko bolong, bahkan penganan seperti becce laung disiapkan pula. Mereka menyambut Karavea laksana pahlawan yang baru kembali dari medan perang.
Menjelang petang dari kejauhan sudah terdengar sorak-sorakan rakyat Sidenreng. Karavea, Ibu Permaisuri Bacukiki, Fatimah dan rombongannya sudah tiba di ujung perbatasan wilayah kerajaan. Tidak lama lagi mereka akan sampai. Para remaja perempuan sudah menarikan Paduppa, tari khas penyambutan tamu. Mereka memegang erat bosara berisi beras kuning yang akan dihamburkan kepada tetamu. Nyanyian penyambutan juga sudah dilagukan.
“Tenna bo ri ulunna. Alla tenna bosi. Tenna bosi ri ulunna. Na lempe ri to’danna. Na lempe ri to’danna. Na mali lebbae. Na mali lebbae…”
Dengan senyum sumringah We Tipu Uleng menyambut Karavea dan rombongannya di ujung tangga istana.
“Wah, pendekar dari Pujananti ini begitu tampan. Apakah dia belum mempunyai pendamping?”
Penguasa Sidenreng itu membatin saat bermuka-muka dengan Karavea yang badannya terlihat kokoh dengan wajah tampan dan menarik hati. Mau tak mau ia pun melirik Batari Fatimah. Ia sudah mendengar bahwa ada perempuan rupawan dalam rombongan Karavea, tapi belum tahu siapa gerangan dirinya.
“Kami perkenalkan pula, ini adalah Batari Fatimah, putri Datu Luwu Batara Guru. Dia menjadi teman dalam perjalanan saya. Dia juga adalah seorang pendekar.”
Karavea memerhatikan tatapan dari penguasa Sidenreng itu pada Fatimah.
Sesaat, We Tipu Uleng disergap cemburu. Ia tak menyangka bahwa perempuan ini adalah putri Datu Luwu. Ia pun tak kalah cantik, namun kehadiran perempuan ini dari waktu ke waktu di sisi Karavea tentu menjelaskan keadaannya.
“Apakah ini istri atau tunangan Panglima Karavea, baiknya akan saya tanyakan pada Ibu Permaisuri.”
Beruntung suasana penuh keriangan. Perempuan penguasa Sidenreng itu benar-benar menyiapkan penyambutan yang luar biasa. Saat rombongan besar itu menyantap aneka rupa makanan, alunan musik kecapi diperdengarkan. Iramanya syahdu dan membuai hati.
Malam hari setelah para tetamu membersihkan diri dan bersalin pakaian, mereka diundang ke ruang tengah Istana. Rupanya Karavea akan dipersembahkan gelar agung sebagai pendekar dan dianggap menjadi bagian dari Kerajaan Sidenreng.
“Saya, Addowang Sidenreng, We Tipu Uleng berdasarkan keputusan pemangku adat menghadiahkan keris pusaka lambang kebesaran Sidenreng dan memberinya gelar To Warani’e ri Pujananti kepada Panglima Karavea.”
Penyampaian Addaowang Sindenreng disambut tepuk tangan meriah. Fatimah pun Sumringah. Sekilas We Tipu Uleng melirik putri Luwu itu. Cemburu masih melintas di hatinya. Meski demikian, ia tetap tersenyum saat bersitatap dengan calon istri Karavea itu. Dari Permaisuri Bacukiki ia mendapat cerita bahwa Karavea dan Fatimah memang sudah dijodohkan sejak masih kanak-kanak oleh Pua Raja Pujananti dengan Datu Luwu.
Malam ini setelah keriuhan pesta pemberian gelar selesai, Karavea turun ke halaman memastikan pasukannya tetap bergilir jaga seperti biasanya.
“Perjalanan kita masih panjang, pastikan semuanya selalu dalam kondisi aman. Tetap waspada pada hal sekecil apapun.”
Perintahnya langsung dilaksanakan dengan patuh oleh para anak buahnya. Kekaguman pada kesaktian Karavea dan perhatiannya membuat mereka selalu setia pada Panglimanya itu hingga saat ini.
Tiba-tiba, di sampingnya penguasa Sidenreng, perempuan yang punya aura kecantikan khas itu sudah menjajarinya.
“Terima kasih sekali lagi atas bantuan Panglima mengatasi masalah di wilayah kerajaan kami. Sekian lama kami berusaha mengusir mereka, namun berkali-kali pula gagal.”
We Tipu Uleng menceritakan bagaimana pasukan mereka tak mampu menangkap satu orang pun gerombolan perampok yang dilumpuhkan Karavea itu.
“Mereka memang lihai, Puang. Sarang mereka berpindah-pindah dalam wilayah hutan itu. Pengintaian mereka dari atas pohon memang menguntungkan mereka. Bila tidak hati-hati, saat masuk ke hutan itu, kita langsung bisa dilumpuhkan.”
Panglima Pujananti ini menyampaikan bahwa sebelum turun menyerang musuh, ada baiknya pasukan mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan, baik dari para korban yang selamat dari pencegatan perampok itu atau mengirim mata-mata ke sana.
Malam itu, yang tak disangka oleh Karavea maupun We Tipu Uleng, sepasang mata mengawasi mereka dari beranda istana. Mata itu milik Batari Fatimah. Kecemburuannya tak bisa disembunyikan.
“Kakanda, jatuh hati pada Puang Raja itu ya?”
Fatimah langsung menyergap Karavea dengan pertanyaan itu sesaat setelah Panglima Pujananti ini naik ke pendapa istana. Kecemburuan Putri Datu Luwu itu dibalas Karavea dengan senyum lalu tawa kecil.
“Saya melihat Kakanda betah berlama-lama bercakap-cakap dengan Puang Raja Sidenreng, bahkan saya melihat Kakanda tertawa.”
Fatimah belum mengendurkan serangannya.
“Adindaku tercinta, Puang Raja itu adalah tuan rumah. Sambutannya pada kita pun luar biasa. Untuk memelihara adab kesopanan tentu saya harus melayaninya bercaka-cakap.”
“Tak mungkin, saya mengkhianatimu, mengkhianati ayahanda Pua Raja Pujananti dan Datu Luwu.”
Karavea meyakinkan Fatimah lagi.
Perempuan kesayangan Datu Luwu itu hanya bersungut-sungut, tapi dalam hatinya senang bukan kepalang. Meski masih diliputi cemburu, ia berpamitan untuk beristirahat. Ia tidur sekamar dengan Ibu Permaisuri Bacukiki malam ini.
Masalah di Sidenreng ternyata belum selesai. Pagi hari, pemangku adat sudah menghadap Addaowang Sidenreng. Mereka mengadukan ketidaksenangan sebagian rakyat atas We Tipu Uleng.
“Mereka bukan tak puas apa yang sudah Puang Raja lakukan, tapi mereka tidak mau dipimpin oleh perempuan. Hanya itu saja. Di luar soal itu tak ada,” kata salah seorang pemangku adat.
Karavea yang semula tak ingin mencampuri urusan itu akhirnya diajak berembuk. Ia sudah dianggap sebagai bagian dari Kerajaan ini setelah pemberian gelar. Setelah mendengar seluruh keterangan dari pemangku adat, ia pun mengusulkan tukar kerajaan.
“Ini bila disepakati akan berdampak baik. Oleh karena Addaowang Sidenreng dan Petta’e Rappang bersaudara kandung maka tukar kerajaan adalah jalan tengah yang dapat ditempuh, namun itu harus dibicarakan dengan pihak Kerajaan Rappang. Ini adalah perkara tak mudah.”
Usul Karavea pun dibicarakan bersama. Mereka berpikir bahwa cara itu adalah jalan tengah menghindari selisih. Adapun rakyat kedua kerajaan mereka yakin akan menerima keputusan itu.
Maka mereka pun berangkat menuju Rappang. Apa yang dibicarakan di Sidenreng disampaikan di sana. Di luar dugaan, Petta’e Rappang La Mallibureng langsung menyetujui usulan itu.
Syahdan, tak berapa lama, Addaowang Sidenreng menjadi Petta’e Rappang dan begitu pula sebaliknya. Perpindahan dan pelantikan raja kedua kerajaan bersaudara itu berlangsung meriah.
Saat pelantikan, We Tipu Uleng dan La Mallibureng bersama-sama mengucapkan sumpah; “Mate ele’i rappang, mate awengngi Sidenreng, lettu paddi monrinna teppinra-pinra.”
Sementara itu, pemangku adat dan para pengurus kerajaan lainnya pun bertukar. Karavea dan rombongan pun mengikuti We Tipu Uleng ke kerajaan barunya. Dua purnama lamanya, Karavea dan Fatimah beserta pasukannya berada di Rappang. Adapun Ibu Permaisuri telah kembali lebih dulu ke Bacukiki.
Mereka ditahan karena Petta’e Rappang ingin punya pasukan khusus pengawal raja. Ia ingin mereka dilatih dengan teknik pertahanan dan serangan yang dikuasai oleh para pendekar itu.
Tak mudah menyusun pasukan hanya dalam waktu singkat. Karavea lalu memilih seratus pemuda yang gagah dan belum berkeluarga untuk dilatih. Kepada mereka diajarkan teknik bertarung dan bertahan, baik dengan senjata maupun tangan kosong. Sementara Fatimah mengajari mereka bagaimana memanah. Dibuatlah busur-busur panah yang baru dan bagus atas petunjuknya. Untuk sesaat, perempuan ini melupakan kecemburuannya. Ia tampak bersemangat.
Sedang anggota pasukan lainnya mengajari calon anggota pasukan khusus ini teknik mengintai musuh dan menyerang di malam hari termasuk bagaimana merusak jebakan.
Karavea juga meminta di sekeliling Istana dibuatkan benteng parit. Lebarnya sepuluh tombak. Parit dialiri air dari sungai Rappang. Di dua sisi parit ditanam pohon bambu batu. Dibuatkan pula satu rumah pengintai di samping istana yang menjangkau seluruh sudut istana.
Di sebuah kamar malam itu, penguasa baru Rappang dan Fatimah tengah bermuka-muka membicarakan isi hati mereka masing-masing.
“Saya tahu adinda Fatimah cemburu, saya pun cemburu padamu. Kita menyukai lelaki yang sama. Semua apa yang ada pada Panglima Karavea, kakandamu itu, sungguh padanan sempurna dalam diri seorang lelaki yang ada di benak saya.”
“Iye, Kakanda Puang Raja. Saya mengerti.”
Cemburu tentu saja tak akan pupus, ini soal perasaan hati. Tetapi kedua perempuan yang kecantikannya setara itu sudah saling memahami.
Pagi ini, di halaman istana, mata Petta’e Rappang memerah basah. Hari ini, ia dan rakyat Rappang akan melepas kepergian Karavea, Fatimah dan rombongannya.
“Apa yang Panglima dan adinda Fatimah serta seluruh anggota pasukan sudah lakukan di sini sungguh tak akan pernah kami lupakan. Ingat bahwa Panglima adalah bagian kerajaan ini. Pusaka lambang kebesaran kami dan gelar Panglima akan terus melekat. Panglima, adinda Fatimah beserta sesiapapun yang bertandang kembali ke sini akan kami terima dengan lapang dada.”
Diiringi beberapa orang pasukan pengawal kerajaan hingga ke perbatasan, Karavea dan rombongannya kini menuju ke Tana Luwu. Kuda-kuda mereka pun dirawat dengan baik selama di Sidenreng dan Rappang. Tampak wajah Karavea dan Fatimah berseri-seri. Sesekali Panglima Pujananti itu memandang Fatimah sembari tersenyum. Begitu pun Putri Luwu itu. Mereka berbicara dengan senyuman.
Entah apa di benak keduanya, namun yang pasti, seperti yang dikatakan Karavea kepada Fatimah semalam, perbuatan baik itu akan selalu meninggalkan kenangan manis. Buah yang manis hanya akan mungkin lahir dari pohon yang baik.
Bersambung ke Episode 9: Membara Cemburu Fatimah pada Arung Cinnotabi’ – Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala
Keterangan:
Tenna bo ri ulunna. Alla tenna bosi. Tenna bosi ri ulunna. Na lempe ri to’danna. Na lempe ri to’danna. Na mali lebbae. Na mali lebbae: Andaikan hujan di gunung, maka hujanlah, banjir di muara menghajutkan kotoran-kotoran, persis yang kamu simpan itu yang kamu simpan,
Mate ele’i rappang, mate awengngi Sidenreng, lettu paddi monrinna teppinra-pinra: Bila Rappang mati di pagi hari, maka Sidenreng akan menyusul pada sore harinya sampai kemudian hari tidak berubah sedikitpun.