Episode 6: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala
Kedatangan Karavea di wilayah Kerajaan Soreang sudah tersiar. Itu bukan cuma karena ia berasal dari Pujananti, kerajaan makmur di timur Celebes, tapi lantaran ia berhasil menundukkan bajak laut di Selat Mandar. La Sumpala adalah salah seorang yang menaruh perhatian. Wajar saja, ia adalah pimpinan para bajak laut yang diringkus itu. Pegunungan di wilayah timur Kerajaan Bacukiki adalah daerah kekuasaan.
Sepagi itu, Sumpala sudah mengumpulkan tidak kurang seratus anak buahnya. Ia merencanakan akan menyergap Karavea dan rombongannya bila hendak melintasi wilayahnya. Ia sudah mendapat informasi bahwa rombongan dari Pujananti itu akan berkunjung ke wilayah kerajaan Bacukiki. Jebakan-jebakan berupa jerat dengan jala di atasnya sudah disiapkan. Seratus anak buahnya yang dipilih adalah yang terbaik di antara gerombolan bajak laut ini. Bendera gerombolan yang dipimpin Sumpala bergambar naga laut dengan lidah api berwarna merah sudah berkibar.
“Kita tunggu Karavea di sini. Kita balaskan sakit hati saudara-saudara kita yang ditangkap. Adapun yang sudah berkhianat kita bunuh hingga tak ada yang mengenali mereka lagi.”
Kata-kata setengah teriakan dari Sumpala disambut sorak-sorai para bajak laut itu.
Sementara di lain pihak, Karavea sudah pula menyiapkan pasukannya. Dari mata-mata yang dikirim Aru Soreang sebelumnya diperoleh informasi soal kesiapan Sumpala dan pasukannya. Mata-mata yang dikirim Puang Mattaya, raja Bacukiki menyampaikan informasi sama. Olehnya sehari waktu mereka setelah tiba di wilayah Kerajaan Bacukiki dimanfaatkan pendekar dari Pujananti itu untuk mengatur strategi penyerangan ke sarang bajak laut ini. Agar anggota pasukannya benar-benar tahu medan yang mereka hadapi, Karavea meminta bantuan kepada anggota pasukan Kerajaan Bacukiki untuk menggambarkannya.
“Anakda Karavea, kami berharap bisa melumpuhkan gerombolan bajak laut itu. Tidak ada lagi saudagar-saudagar dari tanah seberang yang mau berniaga dengan kami lantaran mereka ketakutan melintasi Selat Mandar.”
Demikian harapan Puang Mattaya kepada Karavea saat bertukar tanda mata di Istana Bacukiki.
“Iye, Puang. Saya akan membantu Puang meringkus para bajak laut itu. Bila pemimpinnya sudah dilumpuhkan, mudah buat kita mengurusi sisa gerombolannya.”
Itu janji Karavea kepada raja tua yang sangat dihormati oleh rakyatnya itu. Ia mengatakan bahwa penyerangan ke sarang bajak laut akan dilaksanakan dinihari. Sebelumnya, mata-mata yang menyaru sebagai pedagang ballo sudah dikirim. Puluhan bumbung bambu ballo berukuran sedepa orang biasa diborong habis oleh mereka. Itu artinya saat dinihari mereka masih dalam keadaan mabuk. Ini akan memudahkan pasukan Karavea yang dibantu para pendekar dari Kerajaan Bacukiki melumpuhkan mereka.
Kali ini, Fatimah atas permintaan Ratu Bacukiki, Tenri Wulang tidak ikut dalam penyerangan itu. Karavea pun setuju. Ia tahu, bila dirinya yang meminta, pastilah Fatimah menolaknya. Beruntung Ratu sudah berinisiatif melarang Putri Luwu itu ikut.
“Ini pasti akal-akalan Kakanda Karavea kan?! Itu supaya saya tidak ikut.”
Begitu ia memprotesnya. Tapi tentu tak mungkin ia menolak permintaan Puang Ratu.
Jelang malam yang tenang di Bacukiki dilewatkan dengan penuh ketegangan. Sejak sore tadi perut pasukan sudah diisi dengan makanan dan kue-kue yang enak. Tidak ada satupun yang diperkenankan meminum ballo. Mereka diminta menghabiskan urusan buang hajat dan segala macamnya sebelum bergerak. Tak berapa lama setelah matahari benar-benar hilang di ufuk barat, pasukan sudah bersiap. Mereka meringkas waktu. Jarak ke Bacukiki tak berapa lama. Hanya makan waktu paling lama tiga jam.
Mereka bergerak senyap. Beruntung pula ini waktu bulan gelap sehingga membantu pergerakan pasukan. Adapun jaraknya, bagi anggota pasukan terlatih itu bukanlah masalah. Perkiraannya menjelang tengah malam mereka sudah sampai di batas terdekat dengan sarang gerombolan bajak laut itu.
Mereka bergerak lurus dan sesampainya di dekat wilayah kekuasaan Sumpala lalu menyebar setengah lingkaran. Lingkarannya dibuat dua lapis. Para pemimpin pasukan berada di depan. Tidak kurang tiga ratus anggota pasukan disiapkan menyerang para bajak laut ini. Dua ratus orang berada di garis depan, dan seratus orang disebar menutup jalur keluar. Diharapkan tak ada seorang pun gerombolan bajak laut ini melarikan diri. Dari informasi mata-mata, jumlah mereka tak lebih dari dua ratusan orang. Ada pula perempuan dan anak-anak. Karavea sudah mengingatkan untuk tak mengganggu perempuan dan anak-anak.
Dari jauh, mereka sudah mendengar riuh rendah suara anggota gerombolan bajak ini. Mereka seperti menggelar acara Mappadendang. Ada yang menyanyi diiringi kecapi. Ada yang berteriak-teriak tak karuan. Gerak senyap pasukan yang dipimpin Karavea tak bisa mereka endus. Agaknya mereka sudah mabuk. Ballo yang dibawa mata-mata memang sudah dicampur segala macam dedaunan yang memabukkan.
Karavea sudah mengamati langsung pimpinan gerombolan ini. Ia melihat Sumpala dikeliling perempuan-perempuan yang mungkin gundiknya. Kehidupan para bajak ini sungguh luar biasa. Di meja panjang mereka ada beraneka makanan. Mulai dari ikan sampai dedagingan. Bumbung bambu ballo terlihat sudah berserakan.
Dengan perintah senyap, Karavea memerintahkan anggota pasukannya bergerak dan meringkus mereka. Karavea pun langsung mendekati Sumpala. Yang lain pun kalang-kabut. Setengah sadar, setengah mabuk tak ada daya mereka melawan. Tadinya mereka berpikir akan ada perlawanan sengit, ternyata kiriman ballo menjadi senjata ampuh melumpuhkan mereka. Beberapa jerat jala yang mereka pasang sebelumnya sudah diputuskan oleh anggota pasukan. Jadi tak sama sekali perlawanan berarti. Hanya perempuan dan anak-anak terdengar riuh menjerit dan menangis. Mereka ditenangkan oleh pasukan.
“Kami tidak akan mengganggu indo-indo, to makunrai dan ana-ana. Tenang. Tenang. Jangan menangis.”
Mereka lalu dikumpulkan di tempat lain, terpisah dari anggota gerombolan yang sudah diikat ke belakang tangannya. Setelah dihitung mereka hanya ada seratus orang. Dari laporan sebelumnya lebih dari seratus atau tak lebih dari dua ratus orang. Itu sudah termasuk yang disergap saat hendak melarikan diri.
“Cari di mana sisa gerombolan ini. Jangan sisakan mereka. Kita lumpuhkan bila melawan. Tidak ada yang membunuh.”
Karavea memberi perintah kepada para pimpinan pasukan. Ia pun turun tangan. Dimintanya salah seorang mata-mata dari Kerajaan Bacukiki menjadi penunjuk jalan. Karavea sempat melihat sekilas pergerakan ke arah timur sarang gerombolan ini. Olehnya dia mengejar ke arah itu. Mata-mata yang juga ahli melihat jejak itu menyambar obor di tiang rumah. Ia pun menelusuri jejak orang yang dilihat Karavea sekelebat itu.
Sejarak limapuluhan tombak sudah ia mencari dan tiba-tiba dari sisi kanan tebasan kale’hang menghentikan langkahnya. Beruntung pendekar Pujananti ini bukanlah orang sembarangan. Dalam gelap ini langsung mencabut guma menangkis tebasan parang panjang Bugis itu. Pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Mata-mata Bacukiki tadi tetap bersiaga di tempatnya. Ia merasakan angin pukulan kedua orang ini bertiup dan mematikan obornya. Bertarung dengan senjata dalam gelap sungguh baru kali ini dilihatnya. Apalagi di bawah tutupan daun-daun lebat pepohonan.
“Sepertinya lelaki inilah yang menjadi pimpinan gerombolan bajak laut ini. Ilmunya tak bisa dibilang rendah.”
Karavea membatin selama dia melayani adu ilmu beladiri dengan anggota bajak laut ini. Ia yakin bahwa Sumpala cuma boneka. Lelaki di hadapannya inilah yang berada di balik bajak laut ganas itu.
Berkali-kali bunga api memercik dari guma dan kale’hang yang bermuka-muka. Baru kali ini Karavea menemui lawan hampir setanding. Sudah puluhan jurus dibuka, orang itu masih terus bertahan. Pendekar Pujananti itu pun meladeni. Ia selalu menganggap pertarungan adalah kesempatan belajar dari orang lain.
Mata-mata yang menyaksikan pertarungan itu sudah tak mampu lagi melihat sosok keduanya. Yang ada hanya bayang-bayang lantaran kecepatan gerakan keduanya.
Karavea makin kagum pada keterampilan bermain kale’hang yang ditunjukkan lelaki ini. Permainan silatnya begitu indah. Ia bisa memutar senjatanya seperti kitiran, lalu tiba-tiba menusuk lurus ke depan. Kitiran senjata itu pun dimaksudkan sebagai benteng pertahanan dari serangan lawan. Baru kali ini putra Raja Pujananti melihat olah senjata yang sungguh indah seperti itu.
Adapun Karavea dengan lincahnya menghindari tebasan dan tusukan senjata lawan. Ia menunjukkan kelihaiannya. Saat menangkis dengan guma, ia berusaha menangkis ujung kale’hang. Itu bisa membuat senjata lawan bergetar dan mendengung. Di lain saat, ia memukul pergelangan lawan dengan sarung guma. Pendekar tanpa tanding ini benar-benar memanfaatkan pertarungan ini untuk belajar dari lawan.
Sudah seratusan jurus keduanya masih bertarung. Bedanya, lawannya sudah mulai hampir kelelahan, Karavea terlihat mampu mengatur nafasnya meski peluh membasahi tubuhnya. Kebiasaannya menyelam berlama-lama menahan nafas di dalam laut terasa faedahnya. Ini bukan pertarungan ringan. Berkali-kali nyaris saja bilah tajam senjata lawan memotong lengan, kaki atau badan Karavea. Bahkan beberapa pohon sebesar tubuh manusia di sekitar arena pertarungan itu tumbang karena sabetan senjata lawan.
“Awas serangan!”
Teriakan Karavea begitu mengejutkan. Pengerahan Ilmu Panggagaranya langsung memengaruhi lawan. Mata-mata Bacukiki yang terus mengawasi pertarungan itu tersentak. Ia merasakan keringat dingin mengalir di badannya. Sementara lawan Karavea tergetar badannya. Senjatanya terjatuh. Ia pun terduduk setelah Karavea memukul pangkal paha dan pangkal lengannya dengan sarung guma yang dilapisi kuningan.
Karavea melumpuhkan titik-titik kekuatan di tubuh lawan. Kelak, meski tetap sehat seperti sedia kala, ia tidak lagi punya kekuatan untuk bertarung seperti saat ini. Pelajaran dari seorang saudagar sekaligus tabib dari Zhōngguó sungguh berguna. Ilmu menotok jalan darah atau tiam hiat hoat dipelajari oleh Karavea dengan tekun dari Liu Yaoshan, saudagar dan tabib yang juga menjadi sahabat Pua Raja Pujananti.
“Melawan orang jahat itu bukan untuk membunuh mereka. Tapi untuk menyadarkan mereka akan kesalahannya. Bila kita membunuh, maka apa bedanya kita dengan mereka?”
Pesan Liu Yaoshan itu yang diingatnya hingga kini. Itulah mengapa dalam pertarungan hidup mati sekalipun, Karavea tak pernah menjatuhkan tangannya membunuh lawan. Ia lebih suka lawan bertobat, menjadi pengikutnya atau dihukum. Bagi yang dikuatirkannya akan berbuat kembali hal-hal buruk di masa depan, ia memilih jalan menghilangkan kekuatan mereka, tanpa melumpuhkan tenaga kasarnya.
Sementara langit mulai terang. Karavea pun melihat jelas lawannya yang kini terduduk lelah itu. Sepertinya ia bukan orang Bugis. Wajahnya memang seperti Melayu tapi bola matanya agak kebiruan. Rupanya, dialah selama ini yang berada di balik bajak laut yang beraksi di Selat Mandar. Ia menggunakan Sumpala sebagai topengnya. Orang banyak tahu bahwa lelaki Bugis itu yang memimpin gerombolan ini, ternyata bukan demikian adanya.
Lelaki yang sudah pandai berbahasa Melayu ini mengakui dirinya memang bukan berasal dari Tanah Bugis. Ia adalah pelarian dari Malaka. Di Malaka ia bergabung dengan bajak laut yang sering merompak di Selat Malaka. Suatu waktu mereka salah sasaran. Mereka mencegat Jung yang mereka pikir ditumpangi saudagar asal Zhōngguó, ternyata itu adalah pasukan pemberantas bajak laut yang dikirim Raja Malaka Parameswara. Maka kocar-kacirlah mereka. Ada yang terbunuh, ada yang ditangkap, sedang dia melarikan diri.
“Sahaya berasal dari Mindanao, di selatan Filipina. Nama saya Ramon, tapi orang di sini memanggil saya Ramang, sesuai lidah mereka.”
Begitu pengakuan pemimpin bajak laut asal Mindanao ini. Di masa itu memang para bajak laut asal Mindanao terkenal di seluruh perairan laut di wilayah ini. Mereka beraksi sepanjang perairan Sulu, Filipina, Selat Jawa, Selat Makassar, Selat Mandar hingga ke Benua Hitam. Berbekal kampilan dan bedil mereka memang sulit dilawan. Baru kali inilah dia menemukan lawan sebanding.
Hari itu, semua anggota gerombolan bajak laut yang menguasai wilayah timur Bacukiki dilumpuhkan. Jumlahnya seratus sembilan puluh orang. Mereka digiring ke Istana Bacukiki. Di halaman istana Puang Raja dan tidak kurang tiga ratus rakyatnya sudah menunggu. Mereka sumringah. Perniagaan mereka dengan saudagar-saudagar dari tanah seberang akan kembali lancar setelah lepas dari gangguan para lanong ini. ***
Keterangan:
Ballo: Tuak dari sari sadapan Pohon Enau (Arenga pinata) atau Pohon Lontar (Borassus flabellifer Linn). Bila dicampur dengan dedaunan tertentu seperti daun ubi jalar akan berefek memabukkan. Bila belum diolah untuk dijadikan minuman beralkohol terasa manis.
Mappadendang: Upacara syukuran panen padi yang adat masyarakat bugis sejak dahulu kala. Biasanya dilaksanakan setelah panen raya biasanya memasuki musim kemarau pada malam hari saat bulan purnama. Pesta adat itu diselenggarakan dalam kaitan panen raya atau memasuki musim kemarau.
Indo-indo: Ibu-ibu (Bahasa Bugis)
To Makunrai: Perempuan (Bahasa Bugis)
Ana-ana: Anak-anak (Bahasa Bugis)
Kale’hang: Kelewang atau pedang panjang.
Guma: Pedang khas Suku Kaili dan sejumlah suku asli di Sulawesi Tengah.
Zhōngguó: Nama Tiongkok di masa lalu.
Kampilan: Pedang panjang khas Bangsa Filipina.
Lanong: Ini adalah kapal besar yang digunakan perompak dari Mindanao, Filipina Selatan. Namun karena kerap digunakan perompak atau bajak laut, akhirnya warga setempat menyebut bajak sebagai lanong.