Episode 7: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala

Keberhasilan Karavea memberangus gerombolan bajak laut di hutan Bacukiki tersiar sampai jauh. Sampai-sampai utusan dari Addaowang Sidenreng dikirim ke Bacukiki untuk meminta bantuan Karavea. Di sana gerombolan perampok merajalela. Belantara antara wilayah Bacukiki hingga Sidenreng tak aman. Rombongan saudagar yang membawa bahan makanan, pakaian dan kebutuhan rakyat lainnya selalu menjadi korban.

“Besar harapan kami kiranya Panglima Karavea bisa membantu kami untuk menghentikan ulah para perampok itu.”

Itu permintaan utusan dari Addaowang Sidenreng saat bermuka-muka dengan pendekar dari Pujananti ini. Ia pun sudah meminta izin kepada Puang Mattaya.

“Saya akan membantu. Beri saya waktu menyiapkan perbekalan karena saya berencana setelah dari Sidenreng akan langsung ke Luwu bertemu dengan Datu Luwu Batara Guru.”

Karavea mengiyakan permintaan utusan itu.

Pada waktu yang sudah ditentukan, Karavea beserta rombongannya berangkat menuju Sidenreng. Kali ini beserta dengan Permaisuri Bacukiki Tenri Wulang.  Adapun Fatimah semula akan berkuda bersama Karavea, namun karena Permaisuri turut serta, ia harus menumpang pedati.  

Rombongan mereka tidak kurang dari seratusan orang ditambah dengan Pasukan Khusus yang mendampingi Karavea sejak dari Pujananti. Ada pula pasukan dari Kerajaan Bacukiki. Ini yang memang diinginkan Karavea. Rombongan besar akan memancing perampok. Bila mereka berani mencegat, maka itu kesempatannya untuk meringkus gerombolan perampok itu.

Dihadiahi kuda-kuda terbaik oleh Raja Bacukiki membuat perjalanan Karavea terasa lebih ringan. Kuda-kuda itu diternakkan di Bacukiki sejak lama. Bibitnya didatangkan dari Bima. Kerajaan ini memang sudah lama berhubungan dengan para peternak kuda di Sumbawa. Banyak orang-orang Bugis yang merantau ke Sumbawa lalu beranakpinak di sana. Sesekali mereka kembali ke kampung halamannya. Dari merekalah Puang Mattaya mendapat kabar bahwa kuda-kuda di sana kuat dan kencang bila berpacu.   

Walhasil, perjalanan kali ini mereka lalui dengan tenang, namun tetap dengan kewaspadaan tinggi. Jarak dari Bacukiki ke Sindenreng diperkirakan ditempuh sehari semalam. Apalagi ada permaisuri dalam rombongan. Mereka sudah menghitung waktu-waktu makan dan melepas lelah sejenak. Itu juga kesempatan kendaraan tunggangan mereka mengaso dan merumput.

Menjelang matahari terbenam, saat rombongan hendak mencari tempat beristirahat, tiba-tiba dari atas pohon meluncur belasan orang bertampang sangar. Di tangan mereka sudah terhunus kale’hang. Rupanya mereka mengintai para pelintas dari atas pohon. Mereka menggunakan tali-tali hutan untuk bergelantungan dan meluncur ke tanah.

“Berhenti!. Tidak ada siapapun yang bisa melewati tanah ini tanpa bayar sima. Ini daerah kekuasaan saya.”

Seorang lelaki bertubuh tambun dengan kumis dan cambang tak terurus berteriak.

Karavea sudah mengira keadaan ini. Sepanjang jalan memasuki hutan ini, ia sudah mengirim pesan kepada anggota pasukannya. Hanya mereka yang punya kekuatan batin mumpuni mendengar pesannya itu. Sejak tadi mereka sudah waspada. Tetapi Karavea meminta mereka jangan bertindak apapun.

“Kita menanti bagaimana aksi mereka. Bila mereka menyerang barulah kalian turun tangan.”

Para anggota pasukan khusus itu pun paham pesan panglimanya. Mereka sudah lama mendampingi Karavea dari pertarungan ke pertarungan.

“Bagaimana bila kami tak mau membayar sima?”

Karavea berseru langsung menatap lelaki tambun yang tampaknya memimpin gerombolan ini.

“Itu artinya kalian mencari gara-gara dengan kami. Serang! Habisi mereka dan rampas semua hartanya.”

Perintahnya langsung diikuti oleh anak buahnya.

Pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Denting senjata beradu terdengar riuh. Permaisuri sudah dijaga oleh Fatimah. Ia yakin situasi ini bisa dikendalikan oleh calon suaminya itu.

Kelihaian para perampok ini lumayan. Cara mereka bermain kelewang sungguh luar biasa. Menusuk, menebas dan memutar senjatanya seperti kitiran mengingatkan Karavea pada Ramon, bajak laut asal Mindanao yang ditundukkannya di Bacukiki. Sepertinya mereka berhubungan.

Tentu saja Karavea memilih berhadapan langsung dengan pemimpin gerombolan itu. Meski bertubuh tambun, ia lincah bergerak. Ia mampu berjumpalitan dan langsung menusuk kale’hangnya ke lawan. Sasarannya leher dan dada lawan. Namun ia tak tahu bahwa lelaki yang menjadi lawannya kali ini adalah pendekar tanpa tanding.

Sementara Karavea melayaninya dengan tenang dan tak terburu. Sudah puluhan jurus mereka bertarung. Karavea membawa lelaki itu menjauh dari rombongan. Ia terus bergerak menjauh. Itu agar pertarungan mereka dengan pengerahan tenaga dalam kuat tidak akan mengganggu permaisuri.

Guma di tangan kanan Karavea digunakannya hanya untuk menangkis sabetan dan tusukan senjata lawan. Dia belum menyerang. Baginya lebih penting mempelajari gerakan lawan daripada langsung menjatuhkannya.  

Kuda-kuda lelaki tambun itu pun indah di mata Karavea. Dengan kaki terpancang, ia berkelok ke kanan dan kiri. Kerap ia bertumpu di jemari kakinya dan memutar senjatanya. Kuda-kuda lelaki ini kukuh. Tak mudah menjatuhkannya bila lawan tidak tahu titik kelemahannya. Sejak tadi Karavea sudah melihat itu. Saat ia melompat dan memutar bagian dalam lututnya tak terlindungi.

“Tukkk…”

Ujung sarung guma Karavea menusuk titik kelemahan di persendian bagian dalam lututnya. Lelaki itu nyaris terduduk. Ia terhuyung. Kuda-kudanya yang kuat tinggal di satu kaki. Ia terkejut. Ia sudah bermandi peluh, tapi lawan terlihat tetap tenang.

“Siapa gerangan lawan saya ini.”

Pemimpin perampok itu sudah berpikir bahwa ia salah memilih lawan. Sejak awal saat kale’hangnya bertemu dengan senjata lawan yang kecil bilahnya tapi kuat itu, tangannya bergetar dan terasa panas. Namun karena yakin menang, ia terus melanjutkan pertarungan.

“Hati-hati serangan.”

Tepat ketika Karavea mengeluarkan teriakan disertai dengan panggagara itu, pemimpin perampok ini terhuyung-huyung. Ia menutup telinganya untuk melawan kekuatan batin yang dilancarkan lawannya.

“Aduh, ilmu apalagi ini.”

Lelaki tambun itu membatin dan makin sadar bahwa lawannya bukan orang biasa. Ia pun berniat menyerah dan menghamba pada lelaki di depannya ini.

“Ampun puang. Ampun. Saya menyerah.”

Pemimpin perampok yang oleh anak buahnya dipanggil Ambo Tuo itu terduduk sambil bersimpuh di tanah. Sementara seluruh anak buahnya telah diringkus sedari tadi. Tangan mereka diikat ke belakang. Adapun Karavea tak hendak menghukum Ambo Tuo seperti itu. Ia mengambil tangan lelaki itu. Karavea juga memperkenalkan namanya.

“Berdiri.”

“Iye, Puang.”

Dia lalu dibawa ke hadapan anak buahnya. Di hadapan anak buahnya, ia menyatakan diri menyerah.

“Sekarang, saya bukan pemimpin kalian lagi. Saya sudah menyerah. Terserah kalian apakah akan mengikuti saya atau tidak.”

Ambo Tuo pun memutuskan mengikuti Karavea sebagai pesuruh. Sementara anak buahnya memilih tetap tinggal di hutan itu. Mereka langsung menyerah dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi seumur hidup.

“Kami akan membuka kampung baru di sini. Dan mulai mencari penghidupan dari apa yang disediakan hutan ini.”

Seorang lelaki yang tampak seumuran Ambo Tuo angkat bicara.

“Baguslah kalau begitu. Saya sekarang sudah memutuskan mengikuti Puang Karavea kemana pun dia pergi.”

Panglima dari Pujananti itu pun menerima keinginannya.

“Apapun puang perintahkan pada saya, saya akan mengikutinya, bahkan berkorban nyawa pun saya rela.”

Akhirnya, gerombolan perampok yang selama ini menguasai hutan-hutan di antara wilayah Bacukiki dengan Sidenreng dan Rappan ditundukkan.   

Malam terus beranjak. Anak buah perampok yang sudah berjanji menyerah dibuka ikatan tangannya. Mereka kemudian menyiapkan tempat beristirahat untuk rombongan yang datang dari Bacukiki itu. Di mata Karavea, pertobatan mereka memang keluar dari hati tulus. Pendekar tanpa tanding itu mampu membedakan, mana yang tulus dan mana yang pura-pura. Adapun Permaisuri dan Fatimah setelah makan malam dan bercengkrama lalu pamit beristirahat.

Malam sudah tua. Bintang gemintang menghiasi lengkung langit. Karavea teringat ajaran guru dan sahabat ayahandanya, Liu Yaoshan; “Keinginan kita melawan orang jahat dan kejahatannya itu bukan untuk membunuh mereka. Tapi untuk menyadarkan mereka akan kesalahannya. Bila kita membunuh, maka apa bedanya kita dengan mereka?”

Ia pun berpikir, bila saja ia membunuh seorang yang jahat, maka belum tentu ia bisa membunuh kejahatan. Kejahatan akan selalu ada, menyaru dalam berbagai bentuk. Tinggal kita bagaimana selalu berikhtiar menyadarkan mereka yang selalu berbuat kejahatan.

Karavea pun tak ingin memelihara kebencian. Ia sadari benar bahwa orang-orang itu pasti punya keluarga, punya istri dan anak-anak. Bila sampai Karavea membunuh mereka, maka ia akan menumbuhkan kebencian. Orang-orang yang membencinya bisa saja dibunuh, tapi kebencian mereka akan terus terwariskan, lalu berbuah kejahatan baru. ***

Keterangan:

Addaowang Sidenreng: Penguasa tertinggi dalam sistem Pemerintahan Kerajaan lama di Sidenreng, di wilayah Sulawesi Selatan kini.

Sima: Pajak (Bahasa Bugis).

Bersambung ke Episode 8: Mendamaikan Rakyat Sidenreng – Rappang – Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala