Karena Nila Setitik rusak susu sebelanga. Yang makan nangka seorang, yang terkena getahnya orang sekampung. Semua orang pasti mahfum makna ujar-ujar lama ini. Satu orang saja yang melakukan kesalahan, namun semua orang terkena imbasnya.
Penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J terus bergulir. Satu demi satu tersangka pembunuhan terungkap dari hasil penyelidikan yang dilakukan Tim Khusus bentukan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Pada Selasa, 9 Agustus 2022, Polri menetapkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka utama pembunuhan Brigadir J. Mantan Kadiv Propam Polri ini terungkap merekayasa skenario kematian Brigadir J hingga seolah-olah terjadi tembak menembak di rumah dinasnya yang menjadi TKP.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyebut Ferdy Sambo, RR, dan KM dijerat dengan Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana Subsider Pasal 338 Juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Lalu, pada Jumat, 19 Agustus 2022, Polri menetapkan pula, istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi sebagai tersangka.
Lebih dahulu dari keduanya, Bhayangkara Dua Richard Eliezer ditetapkan sebagai tersangka.
Ia diduga menembak Brigadir Yosua atas perintah dari Ferdy Sambo. Ia resmi ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, 3 Agustus 2022 lalu. Anak muda berusia 24 tahun dijerat Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Setelah Eliazer, menyusul Brigadir Ricky Rizal pada Minggu, 7 Agustus 2022 ditetapkan pula sebagai tersangka atas keterlibatannya dalam kasus kematian Brigadir Josua. Ricky adalah ajudan Putri Candrawathi. Ia disangkakan Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana Subsider Pasal 338 Juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Selain itu, Kuat Maruf, asisten rumah tangga yang juga bekerja sebagai sopir Putri Candrawathi juga ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga membantu dan menyaksikan penembakan terhadap Brigadir J, serta ia juga tidak melaporkan rencana pembunuhan tersebut. Tindakan Kuat Ma'ruf tersebut yang membuatnya menjadi salah satu tersangka yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J.
Sampai dengan saat ini, 97 personel polisi telah diperiksa oleh timsus Polri. Kapolri Jenderal Listy Sigit Prabowo mengungkapkan itu, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI Rabu, 24 Agustus 2022.
“Pemeriksaan internal terus dikembangkan. Kami telah memeriksa 97 personel, 35 personel untuk pelanggaran kode etik proefesi,” jelasnya di hadapan wakil rakyat.
Dari 97 personel yang diperiksa ini, berdasarkan pangkat, kata Kapolri terdiri atas Irjen 1 orang, Brigjen Pol 3 orang, Kombes 6 orang, AKBP 7 orang, Kompol 4 orang, AKP 5 orang, Iptu 2 orang, Ipda 1 orang, Bripka 1 orang, Brigadir 1 orang, Briptu 2 orang, Bharada 2 orang.
“Dari 35 orang yang diperiksa 18 sudah ditempat khusus sementara, yang lain masih proses pemeriksaan. 2 orang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan tinggal 16 orang ditempatkan di tempat khusus, sisanya masih tahanan berkait dengan laporan yang di Bareskrim,” ujar dia.
Sungguh, Kasus Sambo menyita perhatian khalayak ramai. Ini adalah tindak pidana yang dilakukan di halaman rumah penegak hukum. Upaya rekayasa kasus, penghilangan barang bukti dan lain-lainnya dilakukan terencana melibatkan tamtama hingga perwira. Ini namanya; Aparat penegal hukum yang melanggar hukum.
Ini bukan perkara pertama dalam kepolisian. Sepanjang sejarah Kepolisian sudah beberapa kali terjadi hal serupa; Pelanggaran hukum oleh penegak hukum.
Sebelum Sambo, pada 2013 Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo ditangkap dengan tuduhan korupsi. Dalam persidangan, Djoko Susilo didakwa terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang dengan membeli aset yang diatasnamakan orang lain. Kerugian negara akibat korupsi pengadaan alat simulator SIM mencapai 196 miliar. Awalnya, ia divonis 10 tahun penjara, namun Jaksa Penuntut dari KPK naik banding. Di tingkat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, ia dijatuhi hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp. 1 miliar serta kewajiban membayar pengganti 32 miliar.
Simak sederet kasus lain yang melibatkan Polisi sebagai pelakunya di bawah ini;
Pada 16 Februari 2016 Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi digerebek bersama 11 anak buahnya karena menggunakan narkoba jenis sabu. Perwira menengah tersebut pun harus dicopot dari jabatannya dan diproses pidana.
Pada 25 Februari 2021, Bripka CS yang dalam keadaan mabuk menembak tiga pengunjung sebuah cafe di Kemang, Jakarta Selatan hingga tewas. Salah seorangnya adalah anggota TNI Angkatan Darat.
Pada 28 Mei 2021, seorang anggota Polres Sorong Kota, Papua Barat, IP, tega membakar istrinya sendiri berinisial BD. BD meninggal dunia akibat luka bakar yang dideritanya.
Pada 14 Juni 2021, Briptu Nikmal mendapat sangkaan memerkosa anak perempuan usia belasan tahun di Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara. Pelakunya telah dipecat sebagai anggota Polri.
Pada 15 Februari 2022, Brigadir AY, anggota Satuan Samapta Polres Metro Bekasi dipecat dari Kepolisian karena mendapat sangkaan sebagai bandar Narkoba. Ia pun dihukum pidana.
Pada 28 Juni 2022 Polda Sulawesi Tengah menangkap Briptu D. Dia ditangkap saat membawa uang tunai sebesar Rp4,4 miliar. Diduga uang tersebut adalah uang suap untuk memasukan calon anggota polisi. Saat ini, Briptu D telah ditahan di Mapolda Sulteng.
Pelanggaran-pelanggaran hukum itu tentu saja mendapat perhatian para pejabat tinggi di Kepolisian. Pelakunya pun sudah dihukum. Tapi seperti kata pepatah; Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya.
Kasus Sambo benar-benar menjadi ujian berat bagi Polri. Sungguh nila setitik sudah merusak susu sebelanga. Semula, khalayak bertanya-tanya; “Pilih menyelamatkan nama institusi atau orang per orang?” Namun Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo akhirnya menegaskan sikap. Setelah desakan orang banyak yang bertubi-tubi, ditambah lagi perintah Presiden Joko Widodo, membuat Sigit harus memilih menyelamatkan institusi.
Tentu menghapus noktah hitam ini tak kan semudah membalikan telapak tangan. Namun harus dilakukan. Jangan sampai hanya gara-gara seorang yang makan nangka, getahnya mengena ke orang sekampung.
Kasus ini di waktu-waktu mendatang akan tetap menjadi bahan pembicaraan. Dari warung kopi hingga ruang kuliah hukum pidana. Bisa jadi suatu waktu akan menjadi kajian pula di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Bahkan akan menjadi materi saat pendidikan penyidik kepolisian.
Mengembalikan kepercayaan publik yang sudah kian tergerus memang butuh waktu lama. Kita menunggu saja. ***