Bila rakyat, pemuda, mahasiswa, buruh dan tani tak berdemonstrasi pada 1998 hingga Presiden Soeharto mundur, maka hingga kini Polri tetap berada di bawah TNI. Tidak mandiri. Penyatuan itu pun membuat Polri sulit berkembang.
Maka sudah seharusnya, jajaran Kepolisian Republik Indonesia berterimakasih pada para demonstran. Dan mereka mestinya memperlakukan demonstran seperti saudara mereka sendiri.
Saat itu, prakondisi menuju demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998 sudah dimulai sejak 1995. Massa demonstrasi kala itu lebih besar daripada saat ini. Lebih militan pula. Polisi pun garang di lapangan. Penggunaan peluru karet pun diizinkan. Proses demi proses pematangan gerakan people power yang akhirnya memaksa Pak Harto mundur dilakukan sejak lama.
Jauh sebelumnya pada 5 Mei 1980, Ali Sadikin, pensiunan Marinir yang dulu disebut Korps Komando (KKO) dan Gubernur DKI Jakarta 1966 – 1977 menandatangani apa yang dinamakan Petisi 50. Sejak saat itu perlawanan atas Pak Harto dimulai. Puncaknya adalah Mei 1998.
Sebelum Reformasi 1998, kedudukan Polri selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno hingga masa Orde Baru di bawah Soeharto bergabung dengan TNI di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) atau Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab).
Namun, sejak Jenderal TNI Soeharto terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pada 1968, jabatan Menhankam atau Pangab berpindah kepada Jenderal M Panggabean.
Ketatnya birokrasi dan hal-hal administratif dalam penyatuan tersebut menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Polri sulit membenahi diri secara mandiri.
Akan tetapi keadaan berubah pasca reformasi dijalankan.
Soeharto yang turun tahta digantikan wakilnya, BJ Habibie pada 1998, membuat gerakan demokratis dan sipil tumbuh subur mengganti peran militer dalam keterlibatan politik di Indonesia. Hasilnya Dwifungsi ABRI dihapuskan.
Reformasi ini juga melibatkan penegak hukum dalam masyarakat sipil umum, yang mempertanyakan posisi polisi Indonesia di bawah payung angkatan bersenjata.
Reformasi ini telah menyebabkan pemisahan kepolisian dari militer pada 2000.
Sesuai dengan Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran Polri, Polri secara resmi kembali berdiri sendiri dan merupakan sebuah entitas yang terpisah dari militer. Nama resmi militer Indonesia juga berubah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi kembali Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tribunnews.com metulis lewat penandatangan Undang-undang (UU) Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tugas dan kewajiban Polri terpisah dengan TNI hingga saat ini.
Melihat itu, maka sudah semestinya Polisi dari semua satuan apapun berterimakasih pada para demonstran dan kekuatan sipil lainnya. Berkat mereka Polri menjadi entitas yang mandiri secara kelembagaan dan pembiayaan. Berkat gerakan reformasi 1998.
Bila kini demonstrasi kembali marak, maka terimalah sebagai bagian dari proses demokrasi. Tak mesti harus dihadapi dengan pentungan, meriam air dan gas air mata, apalagi pemukulan, penangkapan dan pemenjaraan.
Hadapilah para demonstran itu seperti saudara atau sahabat, Sebab apa yang mereka perjuangkan kini menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk Polri di dalamnya. Sebab Omnibus Law yang kini sudah disahkan oleh Pemerintah, rupanya tak seindah kabarnya. ***