“Life’s but a walking shadow, a poor player that struts and frets his hour upon the stage And then is heard no more…”
Di sebuah panggung teater klasik, ada tokoh bernama Macbeth, seorang jenderal yang takut kehilangan kuasa. Dalam kisah tragedi William Shakespeare itu, ambisi yang membakar membuatnya menusuk dari belakang, mencurigai setiap sekutu, dan perlahan, membunuh jalur regenerasi yang sehat. Macbeth, dalam kegilaan dan ketakutannya, didorong oleh Lady Macbeth, istrinya yang tamak, terus-menerus mengganti dan menyingkirkan siapa pun yang berpotensi menjadi bayangan di balik kuasanya. Semua jadi samar. Kekuasaan bukan lagi amanah, melainkan arena paranoia.
Saya teringat Macbeth ketika membaca pesan ini: Konon di sebuah negeri ada seorang panglima angkatan bersenjata yang keranjingan mutasi. Ia suka menggeser para jenderal bawahannya dari “benteng” ke “benteng” yang selini, berkali-kali, orang-orang yang sama, kerap melompati jenjang generasi demi menjaga lingkungan tetap “akrab”, aman, dan terkendali. Sementara ia, tampak berambisi terus menjadi panglima, seperti raja yang enggan turun dari tahta.
Dalam angkatan bersenjata, mutasi sejatinya adalah denyut kehidupan. Ia memastikan kaderisasi berjalan, memberi kesempatan pada regenerasi, menyebarkan semangat meritokrasi. Tapi bila mutasi berubah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan, ia menjadi kebalikan dari yang seharusnya. Ia mengunci potensi, menyempitkan ruang tumbuh, dan menciptakan lingkaran kekuasaan yang steril dari kritik.
Dalam kisah The Prince, politikus dan diplomat Italia, Niccolò Machiavelli (1469-1527) menasihati seorang penguasa agar bijak memilih pejabat di sekelilingnya: bukan mereka yang hanya setia, melainkan mereka yang cakap. Seorang pangeran, kata Machiavelli, harus cukup cerdas untuk mengenali perbedaan antara loyalitas yang membangun dan kesetiaan yang mematikan akal sehat. Tapi bagaimana jika sang pangeran justru takut pada kecakapan? Bagaimana jika ia merasa terancam oleh siapa pun yang lebih muda, lebih cemerlang, dan lebih segar?
Di zaman monarki Eropa, para raja memang kerap mengelilingi diri dengan bangsawan-bangsawan tua yang loyal tapi lelah. Mereka takut pada kaum muda atau perwira berpikir maju yang membawa semangat perubahan. Ia memilih para perwira hanya yang dikenalinya atau miliki kedekatan emosional dengannya. Begitu pula yang tampaknya terjadi di sini: seolah-olah tiada lagi yang lain yang layak tampil. Padahal sejarah besar peradaban selalu lahir dari keberanian memberi ruang bagi yang baru atau bagi mereka yang benar-benar cakap.
Bila kita buka lembar kisah klasik, kita temukan pula mitos Raja Midas. Ia mengubah segalanya menjadi emas, termasuk anak perempuannya. Tapi di balik kemilau kuasa, ada ironi: tak ada yang bisa disentuh tanpa musnah. Maka dalam ketamakan, ia kehilangan kehangatan. Sang raja tetap berkuasa, tapi sendirian. Sunyi. Sepi.
Demikian pula seorang pemimpin yang menahan arus regenerasi. Ia bisa saja memperpanjang masa jabatannya, mengelilingi dirinya dengan orang yang sama, orang-orang yang “dimutasi” dari satu jabatan ke jabatan lain seperti pion-pion pada papan catur kecil. Tapi pada akhirnya, ia kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: kepercayaan dan kesetiaan. Karena setiap mereka yang tersisih akan membawa luka. Dan setiap luka dalam institusi adalah retakan dalam bangunan kepercayaan.
Apa artinya menjadi pemimpin kalau tak siap ditinggalkan, tak rela digantikan? Di dunia para ksatria, seorang pemimpin adalah orang pertama yang maju ke medan perang, dan orang terakhir yang pulang. Tapi ia juga orang pertama yang tahu kapan harus turun, memberi tempat pada yang lebih muda, dan bangga melihat penerusnya lebih hebat dari dirinya.
Kita bisa bilang: “Panglima sejati tak mewariskan kursi. Ia mewariskan keberanian.”
Hari-hari ini, keberanian itu terasa langka. Kita melihat terlalu banyak kalkulasi, terlalu banyak lompatan politik, terlalu banyak manuver yang menciptakan elit-elit yang muter-muter di antara kursi, tapi lupa bahwa di luar sana ada ratusan ksatria yang menunggu giliran. Mereka bukan sekadar menunggu jabatan, tapi menanti kesempatan untuk menunjukkan kualitasnya. Tapi bagaimana bisa muncul jika yang lama tak mau hilang?
Akhirnya, kita pun kembali ke Shakespeare, dan mendengar Macbeth bergumam sendiri di atas panggung kosong:
“Life’s but a walking shadow, a poor player
That struts and frets his hour upon the stage And then is heard no more…”
Betapa menyedihkan menjadi pemimpin yang hanya memainkan peran kecil dalam sejarah besar bangsanya. Bukan karena masa jabatan yang pendek, tetapi karena ia tak pernah memberi ruang pada generasi yang lebih segar dan cakap untuk mengubah kisah.
Regenerasi, dalam angkatan perang maupun dalam kehidupan, bukan soal mengganti. Ia adalah tentang memastikan cerita tidak berakhir hanya karena seorang tokoh tak mau turun panggung. Sebab sejarah selalu membutuhkan aktor baru, dan setiap pemimpin harus tahu kapan waktunya menjadi pandita, orang bijak tempat meminta nasihat. ***