Di Balik Kabut Pegunungan Nirmala. Rumah Sunyi di Ujung Dunia. Sebuah rumah kayu berdiri di tepi jurang. Tak ada jalan menuju ke sana kecuali melalui jembatan akar yang hanya tumbuh saat embun jatuh tepat di detik ke-21 setelah fajar.
Di dalamnya tinggal seorang gadis remaja buta, berambut panjang seperti air sungai dan kulit seputih bulan pagi. Namanya Kiara.
Ia bukan pendekar. Ia bahkan tak bisa melihat. Tapi setiap langkah bumi, desah napas dedaunan, dan retakan batin manusia—ia dengar semua. Ia bukan pendekar… tapi penyambung roh para leluhur silat.
Ia adalah anak terakhir Mahesa, lahir dari perempuan yang hanya dikenang dengan sebutan: Nyi Bening, murid spiritual yang memilih hening dibanding kekuasaan.
Hari Itu. Sagara Datang Membawa Angin Perang. Sagara muncul di depan rumah, membawa aura tekanan seperti badai. Kiara hanya duduk tenang, memintal benang tipis yang mengikat roh kupu-kupu.
“Kau sudah tahu aku akan datang,” ujar Sagara.
“Tentu,” kata Kiara lembut. “Kau membawa angin yang gemetar. Kau bukan api, Kakak. Kau dendam yang dibakar terlalu lama.”
“Dunia akan terbakar. Dan hanya kita, anak-anak Mahesa, yang bisa menahannya—atau menguasainya.”
Kiara mengangguk.
“Kalau kau ingin menguasainya, kau harus melewati satu hal: aku. Tapi jika kau ingin menyelamatkannya, kau harus mendengarkan suara bumi… bukan amarahmu.”
Malam Itu. Kiara Bermimpi Buruk. Dalam tidurnya yang sunyi, Kiara melihat tiga naga:
Naga putih, tubuhnya retak oleh luka batin.
Naga hitam, matanya menyala api benci.
Dan naga ketiga—transparan, tak punya bentuk. Ia mengalir… berubah-ubah, antara terang dan gelap.
“Naga ketiga itu… adalah aku?” bisik Kiara.
“Atau dunia ini… yang tak bisa memilih satu warna saja?”
Ia terbangun, peluh membasahi dahinya. Tangan kirinya gemetar.
Dari jari telunjuknya… muncul jejak cahaya emas—bukan ilmu silat, tapi roh Mahesa yang perlahan merasukinya.
Keesokan Paginya – Kiara Turun Gunung. Di hadapan roh Nyi Bening yang muncul dari cahaya pagi, Kiara bersimpuh.
“Ibu… aku tidak ingin menjadi senjata.”
“Dan kau tak akan,” jawab Nyi Bening. “Tapi dunia tidak menunggu. Jika kau tak berjalan di antara Satria dan Sagara, maka keduanya akan hancur, dan dunia ikut runtuh.”
“Apa aku cukup kuat?”
“Kau bukan kuat karena tanganmu. Tapi karena jiwamu tidak ingin menjadi siapa-siapa. Dan itulah kekuatan yang bahkan Mahesa tak pernah punya.”
Di Kota Cendana. Satria Merasakan Perubahan. Satria sedang melatih jurus lanjutan Bayangan Ketiga saat dadanya bergetar tiba-tiba. Bukan serangan. Bukan gangguan. Tapi sinyal dari darah.
“Ada sesuatu yang mendekat,” katanya.
“Bukan musuh. Tapi bukan teman juga.”
Shinta menatapnya. “Kau bicara seperti…”
“Seperti adikku baru saja turun dari langit.”
Sementara Itu. Di Ruang Rapat Rahasia Sarah Widyawati. Sarah menghentikan pertemuan. Di meja kerjanya, kristal penanda garis darah Mahesa yang telah mati selama bertahun-tahun… menyala lembut. Ia berdiri, wajahnya pucat untuk pertama kalinya dalam dua dekade.
“Tiga darah Mahesa kini aktif. Dan Kiara… gadis itu turun dari persembunyiannya.”
“Perang tak lagi bisa dicegah. Yang tersisa hanya… siapa yang masih bisa memilih untuk tak membunuh saudaranya sendiri.”
Tiga Cahaya di Langit Cendana. Malam itu, langit di atas Kota Cendana memunculkan tiga cahaya aneh—putih, hitam, dan transparan berkilau seperti air.
Penduduk mengira itu bintang jatuh. Para pendekar tahu: Itu tanda, bahwa keseimbangan yang lama telah pecah. Dunia akan segera memilah siapa penjaga, siapa penguasa, dan siapa yang akan hilang.
Bersambung ke Episode 22: Tiga Bayang, Satu Jalan…