Laut yang Tidak Menerima Nama. Di ujung selatan Kepulauan Pasai, tersembunyi sebuah perairan yang tak tercatat di peta manapun. Lautnya biru kelam seperti mata yang kehabisan harapan. Di kedalaman 700 tombak, terdapat Kolam Tak Bernama, tempat air laut berhenti mengalir dan suara tenggelam tak pernah naik kembali.
Itulah tempat tersembunyi Pecahan Keenam Mata Jiwa Mahesa, dijaga oleh sosok yang sudah lama meninggalkan bentuk manusianya—Ajisaka Ruhmaya, murid kelima Mahesa, yang dulu bersumpah menjaga keheningan laut… meski tubuhnya tak lagi utuh.
Perjalanan Satria, Kiara, dan Bagas ke Laut Pasai. Dengan perahu kecil, mereka menyeberangi ombak sunyi yang anehnya tak berbuih. Kiara duduk bersila di haluan, menutup mata dan mendengarkan getar ombak.
“Laut ini seperti menyimpan janji yang tak ditepati…” gumamnya.
Bagas menengok ke bawah.
“Airnya tidak memantulkan cahaya, tapi memakan bayangan.”
Satria hanya menggenggam kelima pecahan yang telah dikumpulkannya. Di ujung jari-jarinya, ia merasakan hawa panas, dingin, hening, dan sakit—satu demi satu emosi Mahesa.
“Tinggal dua lagi…” katanya.
“Dan aku makin tak tahu… apakah kita sedang menyelamatkan dunia, atau membangkitkan sesuatu yang tak seharusnya hidup kembali.”
Penyelaman. Masuk ke Dunia Tanpa Arah. Mereka menyelam. Tak ada arus. Tak ada suara. Di kedalaman 100 tombak, warna biru berubah menjadi hitam. Di 500 tombak, gravitasi mulai hilang—mereka mengambang tanpa kendali. Dan di 700 tombak… mereka tiba.
Kolam itu tampak seperti cermin bundar. Tidak dalam. Tapi siapa pun yang menyentuhnya… masuk ke dalam dirinya sendiri. Dan benar saja. Saat Satria menyentuh permukaannya… ia tersedot ke dalam.
Di Dalam Kolam. Pertemuan dengan Ruhmaya. Satria tiba di dunia yang tak memiliki daratan. Ia mengambang dalam air, namun bisa bernapas. Di sekitarnya, mengelilingi, adalah bayangan-bayangan dirinya; Satria yang membiarkan ayahnya mati…Satria yang menjadi penguasa kejam…Satria yang menyerah sebelum berjuang…Satria… yang mencintai Shinta tapi mengkhianatinya…
Tiba-tiba, dari tengah pusaran, muncul Ajisaka Ruhmaya. Tubuhnya tak utuh. Separuh dada dan wajahnya adalah air yang membeku, dan bagian lainnya seperti cangkang tiram raksasa.
“Kenapa kau datang?” suara Ruhmaya terdengar seperti seribu gelembung yang pecah.
“Aku ingin menyelesaikan apa yang dimulai Mahesa. Aku ingin menjaga keseimbangan,” jawab Satria.
“Keseimbangan?” Ruhmaya tertawa pelan.
“Mahesa memecahkan jiwanya bukan untuk menjaga dunia. Tapi… karena ia takut pada dirinya sendiri.”
“Itu sebabnya aku harus menyatukannya kembali. Agar tidak lagi jadi bom waktu.”
Ruhmaya mendekat, dan berkata lirih:
“Maka ucapkan sumpah ini: Jika kau mengumpulkan ketujuh pecahan… kau rela mengorbankan siapa pun—bahkan orang yang kau cintai—demi dunia.”
Satria terdiam. Matanya berguncang. Ia memikirkan Kiara. Ia memikirkan Shinta. Ia memikirkan Eyang Kala Kembara.
“Aku tak bisa bersumpah untuk mengorbankan mereka. Tapi aku bisa bersumpah… untuk tidak menjadikan mereka tameng dari rasa takutku.”
Ruhmaya menatapnya lama.
“Mungkin kau… lebih siap dari Mahesa dulu.”
Dari tubuhnya sendiri, Ruhmaya memisahkan sebutir kristal air yang membeku, berisi kilatan cahaya dan suara gelombang.
“Ambil. Tapi jika kau menggunakannya untuk membangkitkan Mahesa…
pastikan kau tahu siapa yang akan bangkit: Ayahmu… atau Dewa yang sudah lupa pada manusia.”
Kembali ke Permukaan. Satria terbangun di atas pasir pantai, dikelilingi Kiara dan Bagas. Tangannya menggenggam Pecahan Keenam—bergetar lembut seperti detak jantung yang belum lahir.
Kiara tersenyum tipis.
“Dia memberikannya padamu?”
Satria mengangguk.
“Tapi dia tak memberiku harapan… hanya peringatan.”
Sementara itu, di Markas Gelap Tujuh Pemecah Cahaya. Di ruang bawah tanah yang penuh cermin retak, Sagara Widjaya berdiri di depan altar batu. Enam pecahan lainnya—hasil rampasan dan tipu daya—tersusun dalam formasi bintang berdarah.
Lantara mendekat, menyeringai.
“Kita hampir selesai, Sagara…”
Sagara menatap pecahan terakhir yang kosong.
“Tapi aku ingin adikku sendiri… yang mengantar potongan terakhir.”
Enam telah dikumpulkan. Tinggal satu pecahan tersisa. Dan dunia mulai membisikkan nama Mahesa—bukan sebagai legenda… tapi sebagai ancaman. Dan pertanyaannya kini bukan lagi “siapa yang akan bangkit,” tapi “siapa yang akan gugur… sebelum semuanya lengkap?”
Bersambung ke Episode 29: Ruang Pemutus Cahaya…