Suara gemuruh dari laut Teluk Parigi pada dinihari 20 Mei 1938 masih hidup dalam ingatan kolektif masyarakat pesisir Parigi. Gelombang besar datang setelah guncangan keras, menyapu rumah panggung nelayan, menghanyutkan perahu, bahkan menggerus kampung-kampung di sepanjang teluk. Tercatat gelombang besar itu didahului gempa bumi magnitudo 7,6 pada pukul 01.08 WITA.

Di masa itu, kata “tsunami” belum dikenal luas. Surat kabar Hindia Belanda menyebutnya sebagai vloedgolf atau “gelombang pasang”. Namun, bagi orang-orang Parigi, air laut yang naik mendadak itu adalah bencana besar yang merenggut nyawa dan menghancurkan kehidupan sehari-hari.

Almarhum kakek saya, Ismail Saribu menceritakan soal itu. “Saya sedang melaut saat itu di Maleali, tiba-tiba gelombang pasang. Beruntung saya memegang batang kelapa erat-erat dan bisa selamat setelah air laut surut,” tuturnya.

Ia juga bercerita bahwa dulunya Pulau Makakata, pulau kecil di lepas pantai Parigi dapat ditempuh dengan jalan kaki bila air surut. Sekarang sudah menjadi bagian laut Parigi.

Dalam laporan Soerabaijasch handelsblad, koran Belanda yang terbit di Surabaya pada edisi 9 Juni 1938 menuliskan peristiwa itu lebih rinci. 

Soerabaijasch handelsblad melaporkan: 

DE AARDBEVINGSRAMP.

Aneta verneemt nog het volgen-de omtrent de jongste aardbevingen op Celebes.

Donggala 31 Mel 1938. Volgens betrouwbare gegevens uit Parigi kunnen wij nog het volgende melden aangaande de aardbevingsramp, die zich onlangs in Celebes heeft voor-gedaan. De toegebrachte schade wordt getaxeerd op ongeveer 80 mille, welke schatting wel wat aan den lagen kant is.

Het mag welhaast een wonder hee-ten, dat bij deze aardbevingen slechts cen’ 17-tal menschen omkwamen en dat het aantal gewonden zeer miniem is.

Sommige kustgedeelien bij Kampong Ampibabo zijn verzakt en in deze streek staan zelfs klapperboomen in zee.

Op 19 Mel ji. bevonden zich de assistent-resident van Donggala en de gezaghebber van Parigi zich te Kampong ‘Toriboeloe, wachtende op de Kkomst van het Gouv. ss. Reiger”. BY terugkomst van de Reiger” te Manado op 23 Mel dav. embarkeerden aldaar de waarnemend resident en me: disch personeel en voer de Reiger” terug naar de Tomini-bocht. 

De Dolago-rivier werd door bergstortingen afgedamd en toen deze afdamming doorbrak, kwam het water met zulk een kracht en vaart naar beneden, dat hierdoor een groote paniek in Parigi en Kp. Dolago veroorzaakt werd, die echter geen ongelukken ten gevolge had. Dit is echter wel het geval geweest met de Toroeé-rivier, meer be-zuiden Dolago gelegen. Hier stroomde het water dwars door de kampong en werden er 13 huizen meegesleurd.

Op het _oogenblik is de weg Donggala-Paloe-Tawaeli-Doboli-Parigi per as berijdbaar, doch tusschen Km. 86 en 96 is dit gedeelte absolut onberijd-baar.

De post voor Parigi-Posso-Tomini=bocht wordt dan aok over een lengte van 10 Km. gepikeld en moeten pas-saglers te voel verder gaan, om na km. 96 weer door te rijden tot Parigi.

Dit onberijdbaar gedeelte is bergter-rein, alwaar.groote steenstortingen hebben plaats gehad.

Op 20 Mei aanvaardden de Assistent-Resident en de gezaghebber de terugreis en hebben ze Toboli met moeite bereikt.

De gezaghebber vertrok naar Parigh en de Assistent-Resident keerde terug naar Donggala. Laatstgenoemde moest vanuit Toboli tot Tawaeli een afstand van 50 km. te voct, soms zelfs kruipend afleggen.

De Ass.-Resident arriveerde den 21-sten Mei op zijn plaats van bestem-ming en vertrok den 23  Mei weer van Paloe dwars over de bergen naar Parigl, alwaar nog vele bevingen voor-komen. In Paloe komen de bevingen minder voor en in Dongzala slechts nu en dan.

Vernomen wordt, dat er een comité zal worden gevormd ter verstrekking van geldelijken steun aan de door de-ze ramp getroffencn.

BENCANA GEMPA BUMI.

BACA INI JUGA:  Sepasang Remaja Rekam Video Saat Berbuat Tak Senonoh di Hutan, eh, Malah Viral

Aneta telah melaporkan hal berikut tentang gempa bumi baru-baru ini di Sulawesi.

Donggala, 31 Mei 1938. Berdasarkan informasi terpercaya dari Parigi, kami dapat melaporkan hal berikut mengenai bencana gempa bumi yang baru-baru ini terjadi di Sulawesi. Kerusakan yang ditimbulkan diperkirakan sepanjang 80.000 mil, yang merupakan perkiraan yang agak rendah.

Hampir merupakan suatu keajaiban bahwa hanya sekitar 17 orang yang meninggal dalam gempa bumi ini dan jumlah korban luka sangat minim.

Beberapa wilayah pesisir di dekat Kampung Ampibabo telah surut, dan di wilayah ini, bahkan terdapat pohon kelapa di laut.

Pada tanggal 19 Mei, Asisten Residen Donggala dan Gubernur Parigi berada di Kampung Toribulu, menunggu kedatangan Gouv. SS. Reiger. Sekembalinya “Reiger” ke Manado pada tanggal 23 Mei, residen sementara dan staf lainnya naik ke kapal dan berlayar kembali ke Teluk Tomini.

Sungai Dolago dibendung oleh longsoran batu, dan ketika bendungan ini jebol, airnya mengalir deras dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa sehingga menyebabkan kepanikan besar di Parigi dan Kp. Dolago, meskipun tidak ada kecelakaan yang terjadi. Namun, hal ini terjadi di Sungai Toroee, yang terletak lebih jauh di selatan Dolago. Di sini, air mengalir langsung melewati desa dan 13 rumah tersapu.

Saat ini, jalan Donggala-Paloe-Tawaeli-Doboli-Parigi dapat dilalui kendaraan, tetapi antara kilometer 86 dan 96, ruas ini sama sekali tidak dapat dilalui.

Pos untuk Tikungan Parigi-Posso-Tomini juga akan ditutup sepanjang 10 kilometer. Para penumpang tertusuk dan harus melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, dan baru dapat melanjutkan perjalanan ke Parigi setelah kilometer 96.

BACA INI JUGA:  Kerjasama Bank Sulteng dan Bina Artha Prima Menguntungkan dan Sesuai Aturan, Malah Berujung Pidana

Ruas yang tidak dapat dilalui ini merupakan daerah pegunungan, di mana longsoran batu besar telah terjadi.

Pada tanggal 20 Mei, Asisten Residen dan Letnan Gubernur memulai perjalanan pulang mereka dan tiba di Toboli dengan susah payah.

Letnan Gubernur berangkat ke Parigi, dan Asisten Residen kembali ke Donggala. Asisten Residen harus menempuh jarak 50 km dari Toboli ke Tawaeli, terkadang bahkan merangkak.

Asisten Residen tiba di tujuannya pada 21 Mei dan berangkat lagi pada 23 Mei dari Paloe melintasi pegunungan ke Parigi, tempat gempa bumi masih sering terjadi. Di Paloe, gempa bumi lebih jarang terjadi, dan di Donggala hanya sesekali.

Diketahui bahwa sebuah komite akan dibentuk untuk memberikan bantuan keuangan dan dukungan bagi mereka yang terdampak bencana ini.

Jejak Tsumami Teluk Parigi di Koran Belanda dan Jerman

Arsip digital koran Belanda menyimpan potongan sejarah yang nyaris terlupa.

Zaans Volksblad (3 Juni 1938) melaporkan “Te Parigt werden nog lichte schokien gevoeld. Het totale aantal vernielde huizen bedraagt 942. De schade is getaxeerd op 750.000. Arsip di Delpher

Selengkapnya koran ini menulis: 

De aardbeving op Celebes

Bijna 1000 huizen vernield

Parigi (Celebes), — Te Parigt werden nog lichte schokien gevoeld. Het totale aantal vernielde huizen bedraagt 942. De schade is getaxeerd op 750.000,—. Een goe-dang van de KP.M. is totaal vernield. De verbinding tussen Parigi en Paloe Is over een lengte van 14 kim. onbegaanbaar. De kampong Taroee ten zuiden van Parigl is verdwenen. Deze kampong is door de zee wegge-spoeld. De heuvel achter Taroee is gedeeltelifk ingezakt. (Gempa bumi di Sulawesi. Hampir 1.000 rumah hancur. Parigi (Sulawesi), Getaran ringan masih terasa di Parigi. Jumlah total rumah yang hancur adalah 942.Kerugian diperkirakan mencapai €750.000. Sebuah properti milik KP.M. hancur total. Koneksi antara Parigi dan Paloe tidak dapat dilalui sepanjang 14 kilometer. Desa Taroee di selatan Parigi telah menghilang. Desa ini telah tersapu oleh laut. Bukit di belakang Taroee sebagian runtuh)

Algemeen Handelsblad (3 Juni 1938) menulis tentang gempa besar di Celebes bagian timur, dengan korban jiwa dan kerusakan rumah yang signifikan. Jurnal perdagangan umum Hindia Belanda itu menulis: “De Aardschokken op Celebes. Aneta seint uit Posso, aan ‘t ,NWS.” datte Parigi nog steeds lichte schokken wor-den gevoeld. Het totaal aantal geheel ver-De verbindings tusschen Parigi en Paloe is over een afstand van 14 KM. onbegaan-baar. De kampong Taroes ten Zuiden van Parigi is verdwenen. Voorts zakte achter | Taroe# een heuvel gedeeltelijk in. (“Gempa Bumi di Sulawesi.Aneta melaporkan dari Posso, di arah Barat Laut Selatan, bahwa getaran ringan masih terasa di Parigi. Koneksi antara Parigi dan Paloe tidak dapat dilalui sejauh 14 kilometer. Desa Taroes di selatan Parigi telah lenyap. Selain itu, sebuah bukit runtuh sebagian di belakang Taroe.) (Arsip di Delpher) 

BACA INI JUGA:  Malam Ini, Poso Diguncang Gempa Bumi Susulan Magnitudo 4.2

Nieuwe Utrechtsche courant, koran berbahasa Jerman, 3 Juni 1938 juga menuliskan soal peristiwa dahsyat ini. Mereka melaporkan: “DE AARDBEVING OP CELEBES. PARIGI, 3 Juni. (Aneta). — Te werden nog lichte schokken gevoeld. Het: totale aantal vernielde huizen bedraagt 942. De schade is getaxeerd op { 50000. Een goedang van de K.P.M. is totaal vernicid. De verbinding tusschen Parigi en Paloe is over cen lengte van 14 km onbegaanbaar, De kampong Taroee ten Zuiden van Parisi. is verdwenen; deze kampong is door de zee weggespoeld.” (GEMPA BUMI DI CELEBES. PARIGI, 3 Juni (Aneta). Getaran ringan masih terasa. Total rumah yang hancur mencapai 942. Kerusakan diperkirakan mencapai 50.000. Sebuah gudang KPM hancur total. Jalan antara Parigi dan Paloe tidak dapat dilalui sepanjang 14 km. Desa Taroee, di selatan Parigi, telah lenyap; desa ini telah tersapu oleh laut.) (Arsip di Delpher)

Melalui potongan berita itulah kita bisa melihat bagaimana tragedi di Teluk Parigi diberitakan ke Eropa: singkat, padat, dan sering kali lebih menyoroti angka kerusakan ketimbang kisah manusia di baliknya.

Ilmu Modern Menyebut “Tsunami”

Delapan dekade kemudian, para ahli geofisika meneliti ulang peristiwa itu. Dalam Geophysical Research Letters (2019) disebutkan bahwa gempa berkekuatan magnitudo 7,5 di Teluk Tomini pada 20 Mei 1938 menimbulkan tsunami setinggi 2–3 meter yang menghantam Parigi hingga Toribulu.

Kajian modern juga mengaitkan peristiwa itu dengan aktivitas Sesar Sausu, salah satu patahan aktif yang melintasi wilayah Parigi Moutong. Artinya, ingatan lisan warga yang berbicara tentang “laut surut lalu naik membawa gelombang” sejalan dengan sains modern.

Ingatan yang Harus Dirawat

Catatan kolonial menyebut lebih dari 22 orang tewas, belasan hilang, serta hampir 1.000 rumah roboh akibat bencana di Teluk Parigi itu. Dermaga Parigi dan menara suar hancur, sebagian kampung hilang diterjang air.

Meski tragedi ini kalah populer dibanding tsunami Aceh 2004 atau Palu 2018, bagi masyarakat Parigi ia adalah luka kolektif yang diwariskan lewat cerita orang tua.

Hari ini, Teluk Parigi yang menjadi bagian Teluk Tomini tentu saja kembali tenang. Perahu nelayan berlayar, anak-anak bermain di pantai, dan rumah-rumah berdiri di bibir laut. Tetapi dalam arsip koran tua di Belanda, serta dalam memori orang-orang tua di Parigi, gelombang 1938 tetap hadir sebagai pengingat bahwa sejarah bencana tidak boleh dilupakan. Ingatan akan bencana itu harus dirawat. Itulah basis pengetahuan mitigasi bencana yang sesungguhnya. ***