Di tengah lautan luas, beratus mil dari daratan terdekat, ada sebuah pulau yang nyaris terlupakan. Pulau itu menyimpan rahasia berusia ratusan tahun: hanya sepuluh jiwa yang menempati kampungnya, tidak lebih, tidak kurang. Jika ada yang lahir, satu nyawa akan hilang. Jika ada yang mati, satu bayi akan lahir kembali.
Suatu hari, sekelompok peneliti dari kota datang, ingin mempelajari dampak letusan gunung berapi kuno pada tanah, flora, dan fauna pulau itu. Awalnya, semuanya tampak biasa: rumah-rumah kayu reyot, lapangan sunyi, dan batu-batu yang hangat menyimpan sisa panas masa lalu. Tapi malam pertama segera memperlihatkan sesuatu yang mengerikan, bisikan yang memanggil nama mereka, sosok tinggi kurus muncul dari kabut, dan ritual penduduk yang membuat darah mereka beku.

PAGI ITU MATAHARI terbit dengan warna merah kusam, seperti bola mata yang iritasi. Kabut masih menggantung rendah, dan dari kejauhan gunung tampak seperti bayangan raksasa yang mengawasi.
Rika duduk di tangga rumah panggung tempat mereka menginap. Matanya mengamati Soni, yang sedang jongkok di halaman, jarinya mengorek tanah, lalu memasukkannya ke mulut.
“Kau sakit, Son?” tanya Rika dengan nada waspada.
Soni menoleh, senyum tipis di bibirnya, tapi ada serpihan tanah terselip di giginya. “Tanah di sini… manis. Kayak… buah matang.”
Rika merasa mual. “Kau dengar nggak, betapa gila kedengarannya itu?”
Soni mengangkat bahu. “Mungkin… aku cuma lapar.” Ia berjalan kembali masuk, tapi langkahnya berat, seperti seseorang yang membawa beban tak terlihat.

Profesor Guntur memutuskan hari itu mereka meneliti hutan di sisi timur pulau. Menurut peta, di sana ada area yang dulunya terkena langsung lahar panas, dan seharusnya steril dari vegetasi. Tapi laporan satelit beberapa tahun lalu menunjukkan ada kehidupan baru di sana, jenis pohon dan semak yang tidak tercatat di tempat lain.
Ketika mereka mulai memasuki hutan, Rika merasakan perbedaan aneh. Udara terasa lebih tebal, seolah mengandung butiran halus yang melayang-layang. Bau tanah di sini bukan sekadar aroma lembab, ada aroma logam tapi amis, seperti bau darah segar yang baru mengendap.
“Ini… bukan bau tanah biasa,” gumam Damar.
Profesor Guntur mengangguk pelan. “Gunung ini pernah memuntahkan lebih dari batu dan abu. Kadang… gunung membawa sesuatu dari bawah… jauh di bawah.”
Kalimat itu menggantung di udara, membuat Rika berpikir pada cerita penduduk kampung: tanah mengingat.
Mereka menemukan sesuatu di tengah hutan: batu besar berbentuk menyerupai tengkorak, sebagian tertutup akar-akar pohon. Di permukaan batu itu, ada retakan kecil yang mengeluarkan embusan udara panas.
“Itu… mengembus,” kata Rika, matanya melebar.
Damar meletakkan telapak tangannya di retakan. “Astaga… ini seperti napas. Hangat, berirama…”
Profesor Guntur mencatat di bukunya. “Aktivitas vulkanik residual. Menarik…” Tapi nada suaranya terdengar terlalu tegang untuk sekadar rasa kagum ilmiah.

Ketika mereka kembali ke kampung, suasana terasa berbeda. Semua penduduk berdiri di luar rumah, menghadap ke arah gunung, mematung seperti patung kayu. Tidak ada yang menoleh saat para peneliti lewat.
Rika mendengar salah satu dari mereka bergumam, suara serak dan rendah: “Sepuluh… selalu sepuluh… tidak lebih… tidak kurang…”
Tiba-tiba, seorang anak kecil, yang kemarin Rika lihat menggali tanah, menoleh padanya. Senyum anak itu lebar, tapi di mata hitamnya, Rika melihat sesuatu berkilat… seperti pantulan api.
Malam itu hujan turun. Atap rumah bocor di beberapa titik, membuat bunyi tik… tik… tik yang terdengar seperti detak jam. Rika terbangun karena mendengar suara langkah di luar. Ia mengintip dari celah jendela.
Soni berdiri di tengah hujan, kepalanya menengadah, mulutnya terbuka lebar, menampung air hujan bercampur tanah dari atap. Wajahnya tampak bahagia, seperti orang yang sedang minum air bersih setelah sekarat di padang pasir.
Rika ingin membangunkan Profesor Guntur, tapi sebelum sempat bergerak, ia melihat dua sosok lain keluar dari rumah penduduk: seorang lelaki tua dan seorang perempuan muda. Mereka berjalan mendekati Soni, lalu… bersamaan, mereka menggenggam tanah basah dan memakannya perlahan, gerakannya nyaris seperti ritual.
Keesokan paginya, Soni tidak bangun. Tubuhnya lemas, kulitnya pucat kekuningan. Damar yang memeriksa nadi bergumam pelan, “Dia… detaknya aneh. Lambat sekali. Seperti bukan detak jantung manusia.”
Profesor Guntur memutuskan Soni harus istirahat, sementara mereka melanjutkan penelitian di lereng barat gunung.

Namun, setibanya di lereng, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah Rika membeku. Di antara bebatuan hitam, ada sisa-sisa tulang belulang… bukan hewan, tapi manusia. Beberapa tengkorak memiliki retakan halus di dahi, seolah dibuka dengan presisi. Dan di dalamnya… bukan rongga kosong, tapi tanah. Tanah yang basah, padat, seperti dipadatkan dengan sengaja.
“Ini… siapa yang melakukan ini?” Damar berbisik.
Profesor Guntur tidak menjawab. Matanya menatap lama pada salah satu tengkorak, lalu perlahan, ia berlutut… dan menyentuh tanah di dalamnya. Jarinya bergetar, kemudian… ia menjilatnya.
Rika mundur satu langkah, napasnya tercekat. “Profesor?!”
Guntur menoleh, senyum tipis di wajahnya. “Rasanya… seperti sesuatu yang sudah lama aku cari.”
Malam itu, Rika mencoba menulis catatan penelitian di buku hariannya. Namun, pikirannya terus kembali ke Soni, ke Profesor Guntur, dan ke penduduk kampung. Ia merasa… sendirian.
Lalu, sekitar tengah malam, ia mendengar suara dari luar, suara tanah yang digali. Perlahan ia mengintip.
Di lapangan, sembilan penduduk kampung berdiri mengelilingi lubang besar. Soni berdiri di antara mereka, matanya kosong, tangannya ikut menggali.
Dari lubang itu, sesuatu perlahan muncul: bukan bayi, tapi tubuh seorang lelaki dewasa… wajahnya pucat, matanya terpejam, tapi bibirnya bergerak pelan, seperti menggumamkan sesuatu dari mimpi.
Saat lelaki itu diangkat keluar, Rika menyadari yang membuatnya benar-benar membeku: ia mengenali wajah itu. Lelaki itu adalah peneliti yang hilang dalam ekspedisi universitas… dua belas tahun lalu.