Di tengah lautan luas, beratus mil dari daratan terdekat, ada sebuah pulau yang nyaris terlupakan. Pulau itu menyimpan rahasia berusia ratusan tahun: hanya sepuluh jiwa yang menempati kampungnya, tidak lebih, tidak kurang. Jika ada yang lahir, satu nyawa akan hilang. Jika ada yang mati, satu bayi akan lahir kembali.

Suatu hari, sekelompok peneliti dari kota datang, ingin mempelajari dampak letusan gunung berapi kuno pada tanah, flora, dan fauna pulau itu. Awalnya, semuanya tampak biasa: rumah-rumah kayu reyot, lapangan sunyi, dan batu-batu yang hangat menyimpan sisa panas masa lalu. Tapi malam pertama segera memperlihatkan sesuatu yang mengerikan, bisikan yang memanggil nama mereka, sosok tinggi kurus muncul dari kabut, dan ritual penduduk yang membuat darah mereka beku.

HUJAN DERAS MENGGUYUR pulau sepanjang malam. Petir menyambar di balik puncak gunung, menyinari sesaat wajah-wajah pucat yang berdiri di lingkaran itu.

Rika menahan napas di balik jendela. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya, Soni, rekan yang baru kemarin bercanda dengannya, kini berdiri sejajar dengan penduduk pulau, menunduk hormat pada tubuh lelaki yang baru mereka angkat dari tanah.

Lelaki itu masih basah oleh lumpur, tapi bibirnya bergerak… berbisik kata-kata yang tidak dimengerti. Saat matanya perlahan terbuka, Rika melihat warna aneh di sana: hitam pekat, tanpa sedikit pun putih.

Rika mundur, tersandung kursi, membuat suara keras. Sembilan kepala itu menoleh bersamaan ke arah jendelanya. Tatapan mereka menusuk. Tidak ada amarah, tidak ada senyum—hanya kesadaran… bahwa ia sudah melihat terlalu banyak.

Pagi berikutnya, Rika menemukan Soni duduk di beranda, tubuhnya kering, bajunya bersih, seakan semalam hanyalah mimpi buruk.

“Son…” Rika duduk di sebelahnya. “Apa yang terjadi semalam? Siapa orang itu?”

Soni menoleh perlahan, senyumnya kosong. “Dia… pengganti.”

“Pengganti?”

“Sepuluh orang… harus selalu sepuluh. Kalau satu mati, satu lahir… atau muncul. Kadang dari rahim… kadang dari tanah.”

Rika merasakan darahnya dingin. “Kau sadar nggak, kedengarannya gila?”

Soni menunduk, lalu berbisik pelan sekali, “Kau akan mengerti. Semua orang mengerti… pada akhirnya.”

Hari itu, Profesor Guntur mengajak Rika dan Damar memeriksa gua di kaki gunung. Sementara mereka berjalan, Rika memperhatikan langkah Profesor yang kini terasa berbeda, lebih berat, tapi pasti, seolah ia tahu persis kemana mereka harus pergi, meskipun peta tidak menunjukkannya.

Mulut gua itu lebar dan gelap, seperti rahang binatang purba. Udara di dalamnya panas lembab, beraroma mineral bercampur sesuatu yang amis.

Damar menyalakan senter, sinarnya memantul pada dinding batu yang penuh guratan. Guratan itu bukan sekadar retakan alamiah, mereka seperti simbol-simbol yang diukir dengan niat. Lingkaran, tanda silang, dan… sepuluh garis vertikal.

“Ini… catatan?” tanya Rika.

Profesor Guntur menyentuh ukiran itu. “Bukan catatan. Ini janji. Janji yang sudah dibuat ratusan tahun lalu… dan masih ditepati.”

Di ujung gua, mereka menemukan sesuatu yang membuat napas Rika tercekat. Sebuah altar batu, di atasnya terletak tengkorak manusia, tapi bagian atasnya terbuka, memperlihatkan rongga kepala yang terisi tanah hitam pekat.

Di sekitar altar, ada sepuluh batu pipih yang disusun melingkar. Masing-masing batu memiliki ukiran wajah samar, tidak sempurna, tapi cukup untuk dikenali sebagai manusia. Dan di salah satu batu… ukiran itu mirip sekali dengan wajah Soni.

Damar melangkah mundur. “Ini… nggak mungkin kebetulan.”

Profesor Guntur tidak mengalihkan pandangannya dari altar. “Ini bukan kebetulan. Di sini… tidak ada yang kebetulan.”

Rika memperhatikan wajah Profesor. Matanya yang biasanya tenang kini seperti menyala samar di kegelapan.

Ketika mereka kembali ke permukiman satu-satunya di pulau itu, lelaki yang muncul dari tanah semalam sudah duduk di beranda rumah perempuan tua yang mereka temui di hari pertama. Penduduk pulau sibuk mengelilinginya, memberi makan dan minum, seolah ia adalah tamu agung.

Yang membuat Rika nyaris muntah adalah menu makanannya: semangkuk tanah liat basah yang dicampur dedaunan dan serpihan batu. Lelaki itu memakannya lahap, suara giginya menggerus butiran keras terdengar jelas.

Damar berbisik pada Rika, “Dia makan itu kayak… kita makan sup.”

“Aku tahu,” jawab Rika, suaranya tercekat.

Malam ketiga, Rika bermimpi aneh lagi. Kali ini ia berada di tengah lapangan, sendirian. Tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan air. Dari dalamnya, suara-suara memanggil: Rika… Rika… waktumu akan datang.

Tiba-tiba tanah itu pecah, dan sesuatu yang hangat melilit pergelangan kakinya. Ia berusaha berteriak, tapi udara seperti membeku di paru-parunya. Saat ia akhirnya berhasil mengeluarkan suara, ia terbangun… mendapati tangannya berlumur tanah basah.

Ia bangkit panik, hanya untuk melihat bahwa pintu rumahnya terbuka sedikit, dan jejak lumpur menuju ke luar.

Di luar, kabut menutupi kampung. Rika berjalan pelan mengikuti jejak itu, sampai tiba di pinggir hutan. Dari balik kabut, ia melihat Soni berdiri di samping perempuan tua yang memimpin kampung ini.

Perempuan itu berbicara, tapi suaranya tidak keluar dari mulut, suara itu muncul di kepala Rika, bergema: “Sembilan sudah ada. Tinggal satu lagi. Kau… yang akan melengkapinya.”

Rika mundur satu langkah, tapi tanah di bawahnya terasa hangat… dan berdenyut. Ia menunduk, dan menyadari bahwa tanah itu… bernafas.

Keesokan paginya, Damar hilang.

Penduduk pulau mengatakan ia pergi memeriksa lereng gunung sendirian. Tapi Rika tahu itu bohong, ia menemukan sepatu Damar tergeletak di belakang rumah, penuh tanah basah di bagian dalamnya.

Saat ia mencari ke lapangan, jantungnya nyaris berhenti: kini ada wajah Damar yang terpahat di salah satu batu pipih di gua itu, tepat di samping ukiran wajah Soni.

Babak Empat: Wajah Kesepuluh