Sahabat saya, Kamshat Abdiraiym, editor Mangystau Media dari Kazhazktan selalu memastikan makanan yang disajikan di warung-warung makan yang kami jumpai di seantero Singapura berlabel halal. Ia akan selalu menelisik gambar tempel berlabel Halal sebelum masuk ke warung makan tertentu.

Saat kunjungan lapangan, biasanya kami tak lagi sempat pulang makan siang di apartement. Maka jalan satu-satunya adalah mencari Hawker Center atau Pusat Jajanan yang tersebar merata di public housing atau perumahan rakyat. 

Did you see the halal sticker on this restaurant, Jafar? Pertanyaan itu selalu diajukkan Kamshat. Saddia Mazhar,  jurnalis dari Daily Parliament Times, Islamabad pun begitu. Ia harus berhati-hati memilih makanan. 

Maklum, dari 16 peserta Asia Journalism Fellowship 2019 di Institute of Policy Studies, Singapura, hanya saya, Kamshat dan Saddia yang Muslim. Tentu saja, kami tak eksklusif. Kami cuma berusaha menaati ajaran agama kami.

Bagaimana caranya? Nah itu tadi. Kami harus memastikan rumah makan yang kami datangi memasang gambar tempel berlabel halal. Label Halal di negara yang dijuluki Red Little Dot City ini dikeluarkan oleh Majelis Ugama Islam Singapura. 

Label Halal Resmi MUI

Suatu ketika, kami ingin membeli Breadtalk di Jurong East Mall, ternyata produsen kue yang popular di Indonesia ini tidak mengantongi sertifikasi halal dari MUIS. Begitu pun suatu ketika, saya ingin membeli kue isi di Starbuck di seputaran Orchard Road. Tak ada label halalnya pula. 

MUIS mempunyai kewenangan besar untuk mengeluarkan label itu. Ada ahli agama, ahli kesehatan, ahli gizi dan bahan pangan menjadi anggotanya. Soal label Halal, seperti juga di Malaysia negara ini sangat ketat. Selain dipasang pada rumah makan, pada kotak makanan harian atau cepat saji pun wajib memasang label Halal. MUIS sudah mengsertifikasi 5.000 tempat makan dan 55 ribu jenis produk makanan yang dibuat di kota ini. 

Nah, bagaimana dengan Amerika Serikat? Suatu waktu, saat saya sedang berada di Cleveland, Ohio, saya masuk swalayan setempat dan mencari makanan halal. Rupanya tiada. Saya lalu dianjurkan untuk mencari label Kosher. Itu merujuk pada makanan halal versi Yahudi. Kaum Nabi Daud Alaihisalam ini tak memakan daging dari hewan yang diharamkan.

Bila beruntung kita pun bisa mendapatkan makanan berlabel halal. Label Halal di negara adidaya ini dikeluarkan oleh Islamic Service of Amerika yang berbasis di Iowa.

Nah, bagaimana dengan di Thailand? Meski Islam hanya 5 persen dari mayoritas warga Negeri Gajah Putih itu, sertifikasi Halal sangat diperhatikan. Di sana ada Central Islamic Council of Thailand (CICOT) yang memiliki otoritas mengeluarkan label Halal itu.

Di destinasi wisata pusat kota, kita pun dengan mudah menemukan label Halal terpasang di restoran. Biasanya karena kita berwajah melayu, mereka dengan sigap berseru; Halal…Halal…Jadinya kita langsung tahu akan makan di mana.

Sebenarnya apa saja yang bisa menentukan sebuah produk halal atau tidak? Bahan yang digunakan dalam proses produksi terdiri atas, bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong seluruhnya wajib halal. Termasuk alat-alat yang digunakan dan tempat penyimpanan. 

Semua bahan yang berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, biologi, atau proses rekayasa genetik harus dapat dipastikan Halal melalui serangkaian uji. 

Bagaimana dengan Indonesia? Mulai Rabu (15/10/2019) Otoritas lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal bukan lagi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia tapi Badan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama RI. 

Hanya saja LPPOM MUI masih mengajukan keberatan pada pengambilalihan itu. Saya pun berpikir itu langkah yang tak perlu, sebab pranata yang dimiliki LPPOM MUI sudah lebih dari cukup dan berpengalaman. 

Tapi itu soal lainnya. Yang jelas bila aturan ditegakkan, sudah semestinya mulai 17 Oktober 2019 semua produk pangan, obat-obatan dan Kosmetika harus berlabel Halal. Bahkan ke depannya, label halal tak cuma pada bahan atau makanan jadinya tapi pada tempat yang menyediakannya, semisal produsen makanan, rumah makan atau restoran besar. 

Bagaimana hendak mendapatkan sertifikat halal itu? Hubungi Kementerian Agama setempat. Biayanya berkisar Rp1 juta – Rp3,5 juta bergantung pada skala produksinya.

Meski pengetatannya terlambat dari negara lain semisal Amerika Serikat, Jepang, Korea Utara dan tetangga dekat kita Singapura dan Malaysia, langkah ini harus didukung penuh. 

Buat para Muslim dan Muslimah, mulai sekarang berhati-hatilah membeli makanan, obat-obatan dan kosmetika tanpa label Halal. Apalagi bila berada di luar negeri. Utamanya bahan makanan olahan pabrik atau bahan pangan olahan dalam kemasan. Perhatikan pula label halal yang resmi.

Kecuali dari pedagang makanan yang benar-benar kita kenali apa agamanya, kita tak perlu harus mencari tahu label halal itu. Di Indonesia yang mayoritas Muslim, kita tentu tak perlu ragu bila membeli makanan dari warung-warung makan di sekitar kita.

Sayangi kesehatan diri dengan menjaga syariat agama kita. ***

Ikuti jafarbuaisme.com di Google News.