Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya TNI Henry Alfiandi turut angkat bicara mengenai pencarian terhadap putra Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz di Sungai Aare, Swiss.

Henry mengungkapkan beberapa faktor yang dinilainya menjadi penyebab mengapa pria yang akrab disapa Eril itu masih belum ditemukan.

Menurut Henry, derasnya air Sungai Aare merupakan hasil dari lelehan atau cairan gletser setelah memasuki musim panas.

Baca Juga: Ridwan Kamil Titipkan Eril kepada Sungai Aare Sebelum Pulang ke Indonesia: Sucikan Dia dalam Kejernihanmu

BACA INI JUGA:  Anggota Paspampres Diadang Polisi, Danpaspampres: Menyinggung Institusi Negara

“Ini kan sudah menjelang musim panas ya. Kan itu (arus) semakin kuat,” kata Henry dikutip kanal YouTube Intens Investigasi, Sabtu, 4 Juni 2022.

“Memang jernih, tapi jernihnya itu jernih yang dari lelehan salju tidak begitu bening gitu loh, kelihatannya saja. Dan dingin sekali,” katanya menambahkan.

Selain itu, dia turut menanggapi kemungkinan Eril yang akan ditemukan dalam waktu tiga minggu.

Di samping itu, ia juga mengomentari tentang metode pencarian Eril di Sungai Aare.

Berdasarkan pengamatan Henry, metode pencarian di Swiss sangat berbeda dengan di Indonesia.

BACA INI JUGA:  Majene dan Mamuju Black Out, Komunikasi Seluler pun Belum Stabil

Metode pencarian di Swiss terlihat menggunakan teropong air yang dinilai masih sangat manual sehingga membuat tim kesulitan menemukan Eril. Diperlukan teknologi canggih untuk mempercepat proses pencarian.

“Dan sistem pencarian di sana kalo saya liat dia by visual, dia menggunakan teropong air. Sedangkan di Indonesia kita sudah pakai teknologi radar,” ujarnya.

“Kita ini menggunakan peralatan yang namanya underwater searching device, itulah inovasi kita. Yang kedua, menggunakan alat aqua eye, menggunakan detektor seperti radar,” ujarnya menambahkan.

BACA INI JUGA:  ASN Wanita Digerebek Suami Saat Bersama Pria Honorer di Rumah Kosong

Alat-alat yang digunakan Basarnas diakui bisa mendeteksi target, baik itu manusia maupun hewan.

Sementara itu, metode manual di Swiss dengan menggunakan teropong kaca dinilai memiliki kelemahan ketika air sedang keruh sehingga tidak akan berfungsi dengan baik.

“Dia metodenya selama ini begitu, orang tenggelam dicari dengan cara seperti itu. Kondisi sekarang karena gletsernya mencair, cairan gletsernya malah keruh, dia enggak bisa menemukan itu, harusnya pakai device-device yang lebih canggih lagi,” tuturnya.***