Oleh: Jafar G Bua (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)
“Kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat janji, dan menepatinya.” (Hannah Arendt, 1906-1975)
Mereka berdiri berbaris rapi. Di halaman kantor Gubernur yang rumputnya menipis karena sering terinjak sepatu dan sandal. Ratusan wajah menengadah ke langit. Menggenggam erat map plastik, mengilap seperti masa depan yang semalam mungkin mereka mimpikan. Hari itu, SK itu tiba. Selembar kertas. Tapi sungguh, tak semua kertas serupa nilainya dengan ini.
Seragam mereka biru. Bermotif batik, penuh lekuk-lekuk floral yang indah dilihat, hampir menyerupai lika-liku kehidupan. Di antara motif itu tergambar logo berupa pohon rimbun bersayap delapan. Empat di masing-masing sisi. Mengapit balairung dengan lima pilar. Itu bukanlah sekadar logo. Ia mengandung sebuah pengakuan: bahwa mereka yang memakainya adalah anggota Korps Pegawai Republik Indonesia atau Korpri. Korpri adalah organisasi yang mewadahi aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan pegawai lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
Saya teringat filsuf dan ahli sejarah Amerika kelahiran Hanover, Jerman, Hannah Arendt (1906-1975). Ia pernah bilang, bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat janji, dan menepatinya. Barangkali, untuk para ASN baru atau P3K itu, negara akhirnya—meskipun terlambat—telah menepati janji. Janji yang pernah diucapkan diam-diam di ruang kelas honorer, di sudut puskesmas yang sepi, atau di tengah ladang pertanian yang dijaga oleh penyuluh yang gajinya hanya cukup untuk makan sepekan.
Mereka telah lama bekerja. Sekian purnama sudah berpeluh. Bahkan sebelum negara mengakui keberadaannya.
Lalu tiba-tiba hari itu, mereka dipanggil namanya. Di podium, suara Gubernur terdengar seperti doa yang telah lama mereka kirim ke langit. Mereka disambut dengan tepuk tangan. Tapi bukan tepuk tangan yang teatrikal. Ini adalah bunyi yang datang dari kerendahan hati: “Kita akhirnya diakui.”
Saya membayangkan seorang guru sekolah menengah atas dari Lembah Napu, misalnya yang menempuh berjam-jam perjalanan demi menerima SK-nya. Saya membayangkan petugas pengairan dari Sausu yang mengenakan seragam biru itu untuk pertama kalinya dan berkata dalam hati: “Ini bukan soal gaji, ini soal harga diri.”
Batik Korpri menjadi jubah yang membuat mereka tampak berbeda. Tapi di baliknya, tetap orang-orang yang sama: yang akan bangun lebih pagi dari ayam kampung, menyeberangi sungai kecil dengan sandal basah, memeriksa suhu anak-anak di pelosok, atau mencatat hasil panen sambil duduk di lumbung.
Yang berubah hanya satu – meminjam bahasa Gubernur Anwar Hafid, sekarang mereka resmi. Diakui negara.
Tapi saya tak ingin terjebak dalam euforia. Seperti biasa, pengakuan negara datang dengan birokrasi yang panjang. Surat pengangkatan hanyalah awal dari sebuah perjalanan baru—dengan SPT, SPJ, dan SAKIP yang rumit. Tapi biarlah. Tak semua perjalanan harus mulus. Asal kita tahu ke mana tujuan kita melangkah.
Saya percaya, seragam itu bukan kostum. Ia simbol. Simbol bahwa negara bukan hanya istana dan presiden, gubernur atau Bupati dan wali kota, melainkan para pegawainya di lapisan paling bawah – yang bekerja tanpa sorotan, tapi menopang seluruh bangunan balairung kekuasaan dari dasar.
Maka, mari kita doakan mereka: para ASN baru di Sulteng, yang kini berjalan dengan kepala lebih tegak. Bukan karena gaji, bukan karena status. Tapi karena di punggung batik mereka ada kalimat yang diam-diam menjadi janji: “Pegawai Republik Indonesia”. Dulu, bahkan ada tulisan yang lebih jelas di bawah logo Korpri: “Abdi Negara.”
Dan republik, sesungguhnya, hidup dari mereka.
Yang tak selalu disebut, tapi selalu bekerja. ***