Oleh: Jafar G Bua*

Sejarah, berwatak insaniah, tak pernah sepenuhnya bisa adil. Ia bisa memuja seseorang hingga terbang ke langit hari ini, lalu mencampakannya sampai jatuh ke tanah esok pagi. Begitulah juga yang terjadi pada Soeharto, sosok Presiden ke-2 Indonesia.

Kini, dua puluh lima tahun setelah kepergiannya, bangsa ini kembali berdebat: layakkah Soeharto disebut Pahlawan Nasional?

Pertanyaan itu lebih dalam dari sekadar gelar. Ia adalah soal bagaimana bangsa ini berdamai dengan masa lalunya.

Soeharto lahir di Kemusuk, sebuah dusun kecil di Yogyakarta, tahun 1921. Anak petani miskin yang tak pernah menyangka akan menuntun sebuah republik yang baru lahir. Ia bergabung dengan militer, berjuang di garis depan, memimpin pasukan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, peristiwa yang membuat dunia tahu bahwa Indonesia masih ada ketika itu.

Ia bukan politisi yang pandai berpidato. Ia lebih mirip petani yang terbiasa diam, bekerja, lalu menunjukkan hasil. Dan dari kesenyapan itulah, kekuasaannya tumbuh kuat dan mengakar.

BACA INI JUGA:  Dogiyai, Papua Tengah Mencekam, Kantor Pemerintahan dan Rumah Warga Dibakar

Tempo negeri ini terjerembab dalam kekacauan 1965, Soeharto datang sebagai penata. Diakui atau tidak. Ia mengambil alih arah negara, mengganti Sukarno yang mulai kehilangan dukungan sebab Nasakom; Nasional, agama dan Komunis-nya, kemudian menegakkan apa yang kita kenal sebagai Orde Baru. Dalam genggam kuasanya, Indonesia menemukan kembali stabilitas, dan juga mungkin menumbuhkan semacam “ketakutan” pada lawan, utamanya kaum komunis.

Tapi mari kita jujur: di bawah Soeharto, Indonesia bangkit dan berdaulat.

Anak-anak, hingga di pelosok negeri, bisa sekolah. Petani punya pupuk cukup. Anak Negeri kenyang. Tak lagi kelaparan seperti awal 1960-an. Jalan raya dibangun, listrik menyala, dan dunia mulai menghormati Indonesia. Ia menegakkan kedisiplinan, meski lewat indoktrinasi, menanamkan kepercayaan diri pada bangsa yang baru keluar dari masa suram.

Benar, kekuasaannya panjang. Tiga puluh dua tahun lamanya. Dan ya, ada catatan tak elok yang ditinggalkan. Tapi apakah semua itu bisa jadi dalih untuk meniadakan jasanya?

BACA INI JUGA:  Ini Daftar Harta Presiden RI, Ternyata Gus Dur dan SBY di Urutan Bawah

Bangsa yang dewasa tahu menilai dengan kepala dingin dan hati lapang, bukan dengan dendam.

Ada pihak yang masih bersuara dengan nada keberatan. Mungkin mereka masih terperangkap masa lalu. Mereka menolak usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto.

Ini bukan soal tragedi sejarah an sich. Ini soal bangsa.

Soeharto bukan malaikat, tapi ia juga bukan makhluk monstru seperti yang sering dikisahkan. Ia manusia yang berbuat untuk bangsanya dengan caranya sendiri: keras, tapi nyata. Dan mungkin, jika ia tak memegang kendali pada masa paling genting republik ini, kita tak akan punya negeri yang utuh hari ini.

Kita boleh mengkritik, tapi tak boleh lupa berterima kasih. Kita boleh mengingat luka, tapi tak boleh melupakan jasa.

Mungkin, bangsa ini terlalu sering menilai masa lalu dengan kacamata dendam. Kita lupa bahwa membangun negara bukan hanya soal siapa yang bersih, tapi siapa yang bekerja.

Jasa Soeharto jauh lebih panjang dari sekadar yang bisa kita ingat. Ia menegakkan padi di sawah, membuka jalan ke pelosok, menyalakan lampu di desa, dan menumbuhkan rasa percaya diri sebuah bangsa muda.

BACA INI JUGA:  Cuaca Indonesia Super Hot, Kenapa Bisa?

Dan jika hari ini kita masih bisa berbicara bebas tentang dirinya, itu juga, sebagian, karena negeri ini pernah punya fondasi kuat yang ia bangun.

Soeharto sangat pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional. Oleh sebab, kemungkinan besar, tanpa tindakan cepatnya pada 1965, kita tak akan pernah sampai pada tahap bisa mematut dan mengokohkan diri sendiri sebagai bangsa yang kuat secara ideologis.

Dan kepada mereka yang masih menyimpan dendam, barangkali sudah waktunya untuk menyadari: pahlawan sejati bukan yang sempurna, tapi yang pernah berbuat besar bagi bangsanya, meski dengan segala khilafnya yang azaliyah.

Selamat Hari Pahlawan 10 November 2025.

*Eks Produser Lapangan CNN Indonesia, Alumni Asia Journalism Fellowship (AJF) Temasek Foundation – National University of Singapore, 2019